Untuk bisa terbang tinggi, burung membutuhkan dua sayapnya sekaligus. Saat satu sayapnya patah, ia tak bisa membelah angkasa lagi. Pasangan...
Untuk bisa terbang tinggi, burung membutuhkan dua sayapnya sekaligus. Saat satu sayapnya patah, ia tak bisa membelah angkasa lagi. Pasangan suami istri juga membutuhkan dua sayap cinta agar kehidupan rumah tangganya bahagia. Dua sayap cinta itu adalah mawaddah dan rahmah.
Mawaddah adalah cinta karena faktor fisik; karena gagah dan seksi, tampan dan cantik, menawan dan menarik. Tentu saja setiap orang memiliki sesuatu yang menarik secara fisik, dan sifatnya relatif-subyektif. Ada nuansa syahwat di sana. Dan umumnya masa terbaiknya adalah saat masih muda. Semakin tua, semakin ia pudar dan tak lagi mempesona.
Rahmah adalah cinta karena faktor non fisik. Bisa karena akhlaknya, ilmunya, kepemimpinannya, ibadahnya, semangat dakwahnya, dan sebagainya. Ada nuansa kasih mulia di sana. Inilah yang menumbuhkan sikap dewasa dan bijaksana. Semakin tua usia pernikahan, semakin mengenal karakter pasangan, semakin kuat kasih sayang jenis ini dan makin kokoh tertanam.
Mawaddah dan rahmah, keduanya harus ada dalam rumah tangga. Rumah tangga yang hanya didasari mawaddah tanpa rahmah, ia hanya bertahan sementara. Karena cantik dan tampan tidak bertahan lama, gagah dan seksi juga sebentar saja. Seiring bertambahnya usia, keindahan fisik semakin berkurang, dan cinta bisa terkikis hilang.
Rumah tangga yang hanya didasari rahmah saja tanpa mawaddah juga tidak sempurna. Rumah tangga seperti itu bisa menjadi rumah tangga yang sangat serius, tanpa canda, tanpa tawa, tanpa bisik mesra, tanpa romantisme, dan… seterusnya. Mungkin suami istri ketika bertemu hanya sedikit menyapa, lalu bicara agama dan ibadah. Rumah tangga serasa forum mutaba’ah.
Rumah tangga yang ideal adalah rumah tangga Rasulullah; mawaddah dan rahmah keduanya ada dengan sempurna. Rasulullah dan Aisyah yang mandi berdua, balap lari bersama, bercumbu mesra, itulah wujud mawaddah dalam rumah tangga. Saling memuliakan, menangis panjang dalam shalat Malam, merawat saat sakit datang, itulah wujud rahmah di sana.
Mawaddah sebenarnya tumbuh alami dengan sendirinya. Ia mulai bersemi bersamaan dengan hadirnya kimia jiwa. Dan itu bisa datang pada pandangan pertama atau saat ta’aruf dengannya. Selanjutnya, tinggal bagaimana menjaga dan mengembangkannya. Carilah momen-momen untuk memantiknya. Melihat segarnya istri sesudah mandi, misalnya. Atau bahkan mandi bersama.
Menguatkan rahmah bisa dilakukan dengan menyadari sisi-sisi unggul dan kelebihan pasangan kita. Mungkin ilmunya, kesabarannya, kehebatannya mendidik anak-anak, giatnya shalat malam dan membangunkan kita, dan sebagainya. Pandanglah ia saat tidur dalam kondisi lelah setelah seharian mengurus rumah tangga dan anak-anak kita dan temukan kedamaian cinta di sana.
Semakin lama usia pernikahan dan semakin tua usia kita, rahmah ini yang akan lebih dominan. Maka ia harus terus ditumbuhkan. Rahmah yang akan mengabadikan cinta, meski suami istri tak lagi kuasa berpeluk mesra. Rahmah yang akan tetap mengikat hati, meski tidur telah saling memunggungi. Rahmah yang akan menyatukan jiwa pada masa tua, di mana raga tak butuh lagi sentuhan dan kehangatan. [Muchlisin]
Mawaddah adalah cinta karena faktor fisik; karena gagah dan seksi, tampan dan cantik, menawan dan menarik. Tentu saja setiap orang memiliki sesuatu yang menarik secara fisik, dan sifatnya relatif-subyektif. Ada nuansa syahwat di sana. Dan umumnya masa terbaiknya adalah saat masih muda. Semakin tua, semakin ia pudar dan tak lagi mempesona.
Rahmah adalah cinta karena faktor non fisik. Bisa karena akhlaknya, ilmunya, kepemimpinannya, ibadahnya, semangat dakwahnya, dan sebagainya. Ada nuansa kasih mulia di sana. Inilah yang menumbuhkan sikap dewasa dan bijaksana. Semakin tua usia pernikahan, semakin mengenal karakter pasangan, semakin kuat kasih sayang jenis ini dan makin kokoh tertanam.
Mawaddah dan rahmah, keduanya harus ada dalam rumah tangga. Rumah tangga yang hanya didasari mawaddah tanpa rahmah, ia hanya bertahan sementara. Karena cantik dan tampan tidak bertahan lama, gagah dan seksi juga sebentar saja. Seiring bertambahnya usia, keindahan fisik semakin berkurang, dan cinta bisa terkikis hilang.
Rumah tangga yang hanya didasari rahmah saja tanpa mawaddah juga tidak sempurna. Rumah tangga seperti itu bisa menjadi rumah tangga yang sangat serius, tanpa canda, tanpa tawa, tanpa bisik mesra, tanpa romantisme, dan… seterusnya. Mungkin suami istri ketika bertemu hanya sedikit menyapa, lalu bicara agama dan ibadah. Rumah tangga serasa forum mutaba’ah.
Rumah tangga yang ideal adalah rumah tangga Rasulullah; mawaddah dan rahmah keduanya ada dengan sempurna. Rasulullah dan Aisyah yang mandi berdua, balap lari bersama, bercumbu mesra, itulah wujud mawaddah dalam rumah tangga. Saling memuliakan, menangis panjang dalam shalat Malam, merawat saat sakit datang, itulah wujud rahmah di sana.
Mawaddah sebenarnya tumbuh alami dengan sendirinya. Ia mulai bersemi bersamaan dengan hadirnya kimia jiwa. Dan itu bisa datang pada pandangan pertama atau saat ta’aruf dengannya. Selanjutnya, tinggal bagaimana menjaga dan mengembangkannya. Carilah momen-momen untuk memantiknya. Melihat segarnya istri sesudah mandi, misalnya. Atau bahkan mandi bersama.
Menguatkan rahmah bisa dilakukan dengan menyadari sisi-sisi unggul dan kelebihan pasangan kita. Mungkin ilmunya, kesabarannya, kehebatannya mendidik anak-anak, giatnya shalat malam dan membangunkan kita, dan sebagainya. Pandanglah ia saat tidur dalam kondisi lelah setelah seharian mengurus rumah tangga dan anak-anak kita dan temukan kedamaian cinta di sana.
Semakin lama usia pernikahan dan semakin tua usia kita, rahmah ini yang akan lebih dominan. Maka ia harus terus ditumbuhkan. Rahmah yang akan mengabadikan cinta, meski suami istri tak lagi kuasa berpeluk mesra. Rahmah yang akan tetap mengikat hati, meski tidur telah saling memunggungi. Rahmah yang akan menyatukan jiwa pada masa tua, di mana raga tak butuh lagi sentuhan dan kehangatan. [Muchlisin]