Pada bulan ini, Dzul-Qa’idah, tahun kesepuluh dari nubuwah, Rasulullah SAW kembali ke Makkah. Beliau baru saja mendakwahi penduduk Thaif. Na...
Pada bulan ini, Dzul-Qa’idah, tahun kesepuluh dari nubuwah, Rasulullah SAW kembali ke Makkah. Beliau baru saja mendakwahi penduduk Thaif. Namun, yang beliau dapatkan bukan sambutan untuk bergabung dengan agama tauhid ini, melainkan pengusiran. Pengusiran yang sangat menyakitkan, sebab bukan hanya kata-kata yang mereka gunakan mengusir Nabi, batu juga mereka lemparkan. Rasulullah pun berdarah-darah. Hatinya lebih sedih lagi. Malaikat datang menawarkan bantuan untuk menghukum mereka, tapi Rasulullah memaafkan begitu saja. Bahkan mendoakan mereka.
Kini beliau kembali ke Makkah. Seketika itu pula beliau memulai lagi dakwahnya kepada berbagai kabilah. Salah satu kabilah yang didakwahi untuk masuk Islam adalah Bani Amir bin Sha’sha’ah. Bagaimana sambutan mereka? Baiharah bin Firas, salah seorang pemuka kabilah itu berkata kepada Rasulullah, “Apa pendapatmu jika kami berbaiat kepadamu untuk mendukung agamamu, kemudian Allah memenangkan dirimu dalam menghadapi orang-orang yang menentangmu, apakah kami masih mempunyai kedudukan sepeninggalmu?”
Rasulullah menjawab, “Kedudukan itu hanya pada Allah. Dia meletakkannya menurut kehendak-Nya.”
Baiharah berkata, “Apakah kami harus menyerahkan batang leher kami kepada orang-orang Arab sepeninggalmu? Kalau pun Allah memenangkanmu, toh kedudukan itu juga akan jatuh kepada selain kami. Jadi, kami tidak membutuhkan agamamu.”
Mereka semua menolak seruan Rasulullah. Namun, Rasulullah tidak ingin agama ini dijadikan lahan bisnis duniawi. Maka beliau tidak mau menerima tawaran transaksi itu. Masuk Islam dan berjuang memenangkannya, tapi tujuannya meraih kedudukan duniawi.
Toh, tugas seorang dai hanya menyampaikan. Bukan untuk memastikan manusia mendukung dakwah sebanyak-banyaknya. Apalagi mendukung dakwah dengan motif kekuasaan. Inilah hal yang perlu disadari oleh seluruh dai penerus Rasulullah. Sehingga pada akhirnya, dakwah Islam benar-benar digerakkan hanya oleh orang-orang yang ikhlas mengembannya, bukan karena hasrat harta, jabatan, dan kekuasaan di baliknya. Maka sejarah mencatat, dakwah Islam yang menuai keberhasilan luar biasa itu diawali dari fase Makkiyah yang tidak mengenal istilah munafik di dalamnya. Para dainya adalah orang-orang yang semata-mata berjuang karena Allah. Allah pun memberkahi dakwah yang demikian itu.
Tampaknya, ini pula yang disadari oleh Hasan Al-Banna sehingga ia mengatakan kepada orang-orang oportunis yang tidak mau memberikan dukungan pada dakwah kecuali setelah mengetahui manfaat yang dapat diperoleh dan keuntungan yang dihasilkan: “Kasihanilah dirimu! Kami tidak menjanjikan apa-apa, kecuali pahala dari Allah, jika Anda ikhlas. Juga surga, jika Allah mengetahui kebaikan pada diri Anda. Kami adalah orang-orang yang tidak mempunyai popularitas dan miskin harta. Urusan kami hanyalah mengorbankan apa yang ada pada kami dan mengerahkan segala yang di tangan kami. Setelah itu kami mengharapkan keridhaan Allah Ta’ala, Dia-lah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.”
Rasulullah berlalu dari Bani Amir bin Sha’sha’ah dan mengabaikan tawaran orang-orang seperti Baiharah. Rasulullah bergegas menemui kabilah-kabilah lain, mendakwahi orang-orang yang ditemuinya. Islam yang suci ini memang hanya pantas diperjuangkan oleh orang-orang yang berhati suci pula, bukan mereka para pemburu dunia. [Muchlisin]