Sejak kemarin malam saat membaca komentar itu, aku gelisah. Dalam berbagai kesempatan kucoba merenungkan kata-kata itu. Tak terasa saat-saat...
Sejak kemarin malam saat membaca komentar itu, aku gelisah. Dalam berbagai kesempatan kucoba merenungkan kata-kata itu. Tak terasa saat-saat tertentu mata ini telah basah.
"Kasihan kalau melihat kader di DPRa yang pusing memikirkan apa yang mau dimakan hari ini baginya dan keluarga?? Sementara para qiyadah hidup bermewah." Penggalan komentar ini, meskipun tidak jelas siapa yang mengatakan karena memakai anonim, ia tetap saja sebuah suara yang perlu kurenungkan.
Kata-kata itu membawaku kepada wajah-wajah mereka, para kader dakwah yang kukenal. Salah seorang diantara mereka biasa makan dengan nasi dan tempe atau krupuk. Bahkan kadang-kadang ia dan istrinya tidak makan karena makanan yang tersedia hanya cukup bagi anaknya. Itupun makanan jatah dari pabrik yang dibawa pulang. Tapi mereka tidak pernah mengeluh, sepanjang pengetahuanku. Dan mereka tetap aktif dalam dakwah. Ikhlas, insya Allah.
Ada kawan lain yang kini telah tiada. Semoga Allah menerima semua amalnya, mengampuni semua dosanya, dan menganugerahkan surga padanya. Semasa hidupnya ia hidup dengan kondisi ekonomi yang terbatas. Rumahnya yang sederhana, sering bocor saat hujan. Namun begitu, ia memiliki kontribusi bagi dakwah ini dan memiliki azzam besar yang belum terlaksana karena maut lebih dulu menjemputnya melalui sebuah kecelakaan di jalan raya. Satu hal yang pasti, aku belum pernah mendengar keluhannya.
Aku juga teringat pada sebuah muhasabah yang membawa kami pada tangisan yang dalam. Ketika itu kami melakukan muhasabah untuk amanah yang kami emban. Sementara kami dalam kondisi yang sangat terbatas. Maka saat diingatkan bagaimana kader dakwah yang menuntun motornya karena kehabisan bensin sekaligus kehabisan uang, diingatkan bagaimana pasangan muda kader dakwah yang masih ngontrak listriknya disegel PLN karena belum bayar tagihan, diingatkan ini dan itu... kami menangis... dan ternyata kisah-kisah itu memang dialami sebagian dari kami. Persis. Dan kupercaya, tangisan saat itu bukan karena kemiskinan, tetapi karena anugerah besar kepercayaan Allah pada kami untuk mengemban dakwah ini meski kami sangat terbatas.
Memang masih banyak kader dakwah yang hidupnya susah. Tetapi tarbiyah telah menjadikan mereka orang-orang yang lebih mulia daripada orang yang kaya raya. Memang masih banyak kader dakwah yang kekurangan dari segi ekonomi. Tetapi tarbiyah telah menjadikan mereka orang-orang yang memiliki iffah 'kehormatan diri' sehingga dipandang orang lain sebagai orang yang berkecukupan; semata-mata karena orang lain tidak pernah merasakan deritanya. Memang masih banyak kader dakwah yang miskin harta. Tetapi tarbiyah telah membuat mereka kaya hati, ikhlas dalam beraktifitas, dan tetap berinfaq untuk dakwah. Ternyata kemiskinan bukan penghalang untuk berkontribusi di jalan Ilahi.
Perenungan itu juga membawaku membayangkan wajah-wajah qiyadah yang kukenal. Ada diantara mereka yang tidak hanya terbatas secara ekonomi tetapi juga duji oleh Allah SWT dengan sakit yang cukup lama. Belum kudengar beliau mengeluh apalagi putus asa. Dalam kondisi sakitnya, beliau masih menyediakan diri saat ada yang membutuhkan beliau. Baik konsultasi agama atau keperluan lainnya.
Qiyadah yang lain pernah makan bersama sebagian kami. Kata ikhwah, beliau biasa seperti itu. Waktu itu beliau juga membungkuskan menu yang sama pada ikhwah yang masih suro di rumah peduli. Ada ikhwah yang sangat terharu karena sejak saat itu ia tahu bahwa makanannya jauh lebih baik dari makanan qiyadahnya. Ya, makanan qiyadahnya ternyata hanya berlauk tempe.
Qiyadah lain yang kukenal kini telah menjadi anggota legislatif di propinsi. Penampilannya tidak berubah sama sekali dari saat ia menjadi dosen, beberapa tahun sebelum menjadi anggota legislatif. Rumahnya? Bahkan lebih jelek dari rumah-rumah tetangganya. Maka wajar saat walikota silaturahim ke rumah beliau, tidak bisa menebak rumah yang mana padahal sudah berada di gang yang sama.
Qiyadah lain yang sebelumnya kami anggap cukup hidupnya, ternyata jauh di bawah perkiraan kami. Mengapa kami menganggap beliau berkecukupan? Sebab setiap kali beliau mengisi di kampus tidak pernah mau menerima "amplop" dari kami. Beliau hanya mau diantar jemput. Hanya yang mengantar jemput itulah yang tahu rumah beliau yang ternyata sederhana. Beberapa tahun kemudian aku baru tahu kalau beliau sempat tidak memiliki bahan makanan menjelang hari raya. Sekarang beliau sudah memiliki motor sendiri –sejak tiga empat tahunan yang lalu- tetapi kehidupannya masih sangat sederhana.
Memang ada qiyadah kami yang kaya, seharusnya. Gaji beliau sangat besar, menurut ukuran kami. Tetapi kehidupannya cukup sederhana dan tidak terlihat seperti orang kaya. Beli mobil pun baru akhir-akhir ini saja setelah 'dipaksa' oleh jamaah karena banyak manfaatnya. Satu yang pasti, infaq beliau juga luar biasa besarnya, di samping memiliki beberapa anak yatim asuh di daerahnya. Beliau juga yang sering membantu sebagian dari kami yang membutuhkan.
Memang aku tidak tahu secara langsung qiyadah selain di daerah dan wilayah. Tetapi mereka adalah cermin. Para qiyadah dakwah, di mana pun mereka berada, insya Allah tidak jauh berbeda dari yang kukenal. Mereka juga hidup sederhana. Kalaupun mereka kaya, itu adalah anugerah Allah yang justru lebih bermanfaat bagi dakwah ini. Bukankah harta yang paling baik adalah harta yang berada di tangan orang shalih?
Meskipun demikian, jamaah ini tetap bukan jamaah malaikat. Mungkin ada yang khilaf. Mungkin ada yang tergoda sehingga tanpa sadar kehidupannya sudah masuk kategori mewah. Kita doakan semoga Allah memberikan petunjuk padanya. Kita juga berdoa pada Allah semoga senantiasa dijaga dalam keikhlasan mengarungi jalan dakwah-Nya.
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Hasyr : 10)
Dan bercermin dari komentar dan perenungan itu, satu lagi PR bagi jamaah dakwah –yang sebenarnya PR lama- adalah pemberdayaan ekonomi umat Islam. Termasuk pemberdayaan ekonomi kader dan qiyadah dakwah.
Wallaahu a'lam bis shawab. [Muchlisin]
_________________
Komentar dimaksud ada di: http://muchlisin.blogspot.com/2009/11/pahlawan-pecinta-dan-pembelajar.html
"Kasihan kalau melihat kader di DPRa yang pusing memikirkan apa yang mau dimakan hari ini baginya dan keluarga?? Sementara para qiyadah hidup bermewah." Penggalan komentar ini, meskipun tidak jelas siapa yang mengatakan karena memakai anonim, ia tetap saja sebuah suara yang perlu kurenungkan.
Kata-kata itu membawaku kepada wajah-wajah mereka, para kader dakwah yang kukenal. Salah seorang diantara mereka biasa makan dengan nasi dan tempe atau krupuk. Bahkan kadang-kadang ia dan istrinya tidak makan karena makanan yang tersedia hanya cukup bagi anaknya. Itupun makanan jatah dari pabrik yang dibawa pulang. Tapi mereka tidak pernah mengeluh, sepanjang pengetahuanku. Dan mereka tetap aktif dalam dakwah. Ikhlas, insya Allah.
Ada kawan lain yang kini telah tiada. Semoga Allah menerima semua amalnya, mengampuni semua dosanya, dan menganugerahkan surga padanya. Semasa hidupnya ia hidup dengan kondisi ekonomi yang terbatas. Rumahnya yang sederhana, sering bocor saat hujan. Namun begitu, ia memiliki kontribusi bagi dakwah ini dan memiliki azzam besar yang belum terlaksana karena maut lebih dulu menjemputnya melalui sebuah kecelakaan di jalan raya. Satu hal yang pasti, aku belum pernah mendengar keluhannya.
Aku juga teringat pada sebuah muhasabah yang membawa kami pada tangisan yang dalam. Ketika itu kami melakukan muhasabah untuk amanah yang kami emban. Sementara kami dalam kondisi yang sangat terbatas. Maka saat diingatkan bagaimana kader dakwah yang menuntun motornya karena kehabisan bensin sekaligus kehabisan uang, diingatkan bagaimana pasangan muda kader dakwah yang masih ngontrak listriknya disegel PLN karena belum bayar tagihan, diingatkan ini dan itu... kami menangis... dan ternyata kisah-kisah itu memang dialami sebagian dari kami. Persis. Dan kupercaya, tangisan saat itu bukan karena kemiskinan, tetapi karena anugerah besar kepercayaan Allah pada kami untuk mengemban dakwah ini meski kami sangat terbatas.
Memang masih banyak kader dakwah yang hidupnya susah. Tetapi tarbiyah telah menjadikan mereka orang-orang yang lebih mulia daripada orang yang kaya raya. Memang masih banyak kader dakwah yang kekurangan dari segi ekonomi. Tetapi tarbiyah telah menjadikan mereka orang-orang yang memiliki iffah 'kehormatan diri' sehingga dipandang orang lain sebagai orang yang berkecukupan; semata-mata karena orang lain tidak pernah merasakan deritanya. Memang masih banyak kader dakwah yang miskin harta. Tetapi tarbiyah telah membuat mereka kaya hati, ikhlas dalam beraktifitas, dan tetap berinfaq untuk dakwah. Ternyata kemiskinan bukan penghalang untuk berkontribusi di jalan Ilahi.
Perenungan itu juga membawaku membayangkan wajah-wajah qiyadah yang kukenal. Ada diantara mereka yang tidak hanya terbatas secara ekonomi tetapi juga duji oleh Allah SWT dengan sakit yang cukup lama. Belum kudengar beliau mengeluh apalagi putus asa. Dalam kondisi sakitnya, beliau masih menyediakan diri saat ada yang membutuhkan beliau. Baik konsultasi agama atau keperluan lainnya.
Qiyadah yang lain pernah makan bersama sebagian kami. Kata ikhwah, beliau biasa seperti itu. Waktu itu beliau juga membungkuskan menu yang sama pada ikhwah yang masih suro di rumah peduli. Ada ikhwah yang sangat terharu karena sejak saat itu ia tahu bahwa makanannya jauh lebih baik dari makanan qiyadahnya. Ya, makanan qiyadahnya ternyata hanya berlauk tempe.
Qiyadah lain yang kukenal kini telah menjadi anggota legislatif di propinsi. Penampilannya tidak berubah sama sekali dari saat ia menjadi dosen, beberapa tahun sebelum menjadi anggota legislatif. Rumahnya? Bahkan lebih jelek dari rumah-rumah tetangganya. Maka wajar saat walikota silaturahim ke rumah beliau, tidak bisa menebak rumah yang mana padahal sudah berada di gang yang sama.
Qiyadah lain yang sebelumnya kami anggap cukup hidupnya, ternyata jauh di bawah perkiraan kami. Mengapa kami menganggap beliau berkecukupan? Sebab setiap kali beliau mengisi di kampus tidak pernah mau menerima "amplop" dari kami. Beliau hanya mau diantar jemput. Hanya yang mengantar jemput itulah yang tahu rumah beliau yang ternyata sederhana. Beberapa tahun kemudian aku baru tahu kalau beliau sempat tidak memiliki bahan makanan menjelang hari raya. Sekarang beliau sudah memiliki motor sendiri –sejak tiga empat tahunan yang lalu- tetapi kehidupannya masih sangat sederhana.
Memang ada qiyadah kami yang kaya, seharusnya. Gaji beliau sangat besar, menurut ukuran kami. Tetapi kehidupannya cukup sederhana dan tidak terlihat seperti orang kaya. Beli mobil pun baru akhir-akhir ini saja setelah 'dipaksa' oleh jamaah karena banyak manfaatnya. Satu yang pasti, infaq beliau juga luar biasa besarnya, di samping memiliki beberapa anak yatim asuh di daerahnya. Beliau juga yang sering membantu sebagian dari kami yang membutuhkan.
Memang aku tidak tahu secara langsung qiyadah selain di daerah dan wilayah. Tetapi mereka adalah cermin. Para qiyadah dakwah, di mana pun mereka berada, insya Allah tidak jauh berbeda dari yang kukenal. Mereka juga hidup sederhana. Kalaupun mereka kaya, itu adalah anugerah Allah yang justru lebih bermanfaat bagi dakwah ini. Bukankah harta yang paling baik adalah harta yang berada di tangan orang shalih?
Meskipun demikian, jamaah ini tetap bukan jamaah malaikat. Mungkin ada yang khilaf. Mungkin ada yang tergoda sehingga tanpa sadar kehidupannya sudah masuk kategori mewah. Kita doakan semoga Allah memberikan petunjuk padanya. Kita juga berdoa pada Allah semoga senantiasa dijaga dalam keikhlasan mengarungi jalan dakwah-Nya.
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Hasyr : 10)
Dan bercermin dari komentar dan perenungan itu, satu lagi PR bagi jamaah dakwah –yang sebenarnya PR lama- adalah pemberdayaan ekonomi umat Islam. Termasuk pemberdayaan ekonomi kader dan qiyadah dakwah.
Wallaahu a'lam bis shawab. [Muchlisin]
_________________
Komentar dimaksud ada di: http://muchlisin.blogspot.com/2009/11/pahlawan-pecinta-dan-pembelajar.html