Tujuh orang itu sesenggukan menangis. Mereka hanya bisa menatap satu persatu mujahid Islam yang pergi meninggalkan Madinah. Kepergian mulia ...
Tujuh orang itu sesenggukan menangis. Mereka hanya bisa menatap satu persatu mujahid Islam yang pergi meninggalkan Madinah. Kepergian mulia yang tak bisa dipastikan kedatangannya kembali ke kota nabi ini. Tapi itulah yang menjadi keinginan semua orang, termasuk tujuh orang yang kini bercucuran air mata.
Ibnu Katsir di dalam tafsirnya mencatat nama-nama mereka: Salim bin Umair, Harami bin Amr, Abdurrahman bin Ka'ab, Salman bin Shakhr, Abdurrahman bin Yazid, Amr bin Anamah, Abdullah bin Amr Al-Muzni. Mereka sebenarnya juga memiliki niat dan kesungguhan yang sama dengan para sahabat lainnya; ber-jihad fi sabilillah. Berangkat ke Tabuk untuk meraih syahadah, atau kembali dengan kemenangan dan izzah.
Namun Tabuk bukanlah tempat yang dekat. Dibutuhkan lima belas hari perjalanan dengan kuda. Karenanya Rasulullah jauh-jauh hari telah men-"taklimat"-kan agar para sahabat siap. Siap secara fisik dan mental, siap secara finansial. Salah satu bentuk persiapan finansial itu adalah kendaraan perang; kuda. Satu kuda untuk dua orang. Itulah masalahnya.
Sampai sesaat menjelang berangkat, Rasulullah tidak juga mendapatkan kuda tambahan untuk membawa mereka. Kesedihan pun mendera mereka. Memenuhi semua relung hati dan mewujud dalam tangis dan air mata. Tangisan mereka bukan karena jatuh gengsi, tetapi karena kehilangan peluang berjihad di jalan-Nya. Tangis ini semakin menjadi, ketika mereka tahu bahwa peristiwa ini diabadikan oleh Allah SWT:
وَلَا عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لَا أَجِدُ مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ تَوَلَّوْا وَأَعْيُنُهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ حَزَنًا أَلَّا يَجِدُوا مَا يُنْفِقُونَ
dan tiada (pula) berdosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: "Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu." lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan. (QS. At-Taubah : 92)
Hari-hari ini kita mengetahui betapa Palestina sangat berduka. Masjid suci Al-Aqsha dihinakan. Sinagog didirikan di atas tanah kompleks masjid itu. Rumah-rumah muslim diratakan dengan tanah sebelum dibangun permukiman Yahudi di sana. Kehormatan umat dirampas, dan kemuliaan kaum muslimin dinistakan.
Bukankah kita juga patut menangis karena kita tidak bisa menyambut seruan perjuangan Islam ini? Bukankah kita 'wajib' menangis karena kita "tidak mendapatkan kendaraan" padahal serangan bertubi-tubi itu telah ,mengakibatkan banyak jatuh korban?
Tangis itu bukan berarti untuk dipersaksikan kepada khalayak yang tidak mengerti maknanya dan tidak membawa dampak apa-apa. Cukuplah tangis itu dalam kesendirian kita, disertai kekhusyukan doa-doa kita. Biarlah tangis-tangis muslim hanya didengar Allah, namun kekhusyukan dalam tangis dan doa itulah yang akan menggetarkan Arsy-Nya. Lalu terbukalah jalan perjuangan atau datang pembelaan-Nya dengan cara yang tidak pernah kita duga. Namun jika tidak satu pun air mata yang jatuh atau membasahi pelupuknya, jangan-jangan hati ini telah mengeras dan membatu. [Muchlisin]
Ibnu Katsir di dalam tafsirnya mencatat nama-nama mereka: Salim bin Umair, Harami bin Amr, Abdurrahman bin Ka'ab, Salman bin Shakhr, Abdurrahman bin Yazid, Amr bin Anamah, Abdullah bin Amr Al-Muzni. Mereka sebenarnya juga memiliki niat dan kesungguhan yang sama dengan para sahabat lainnya; ber-jihad fi sabilillah. Berangkat ke Tabuk untuk meraih syahadah, atau kembali dengan kemenangan dan izzah.
Namun Tabuk bukanlah tempat yang dekat. Dibutuhkan lima belas hari perjalanan dengan kuda. Karenanya Rasulullah jauh-jauh hari telah men-"taklimat"-kan agar para sahabat siap. Siap secara fisik dan mental, siap secara finansial. Salah satu bentuk persiapan finansial itu adalah kendaraan perang; kuda. Satu kuda untuk dua orang. Itulah masalahnya.
Sampai sesaat menjelang berangkat, Rasulullah tidak juga mendapatkan kuda tambahan untuk membawa mereka. Kesedihan pun mendera mereka. Memenuhi semua relung hati dan mewujud dalam tangis dan air mata. Tangisan mereka bukan karena jatuh gengsi, tetapi karena kehilangan peluang berjihad di jalan-Nya. Tangis ini semakin menjadi, ketika mereka tahu bahwa peristiwa ini diabadikan oleh Allah SWT:
وَلَا عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لَا أَجِدُ مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ تَوَلَّوْا وَأَعْيُنُهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ حَزَنًا أَلَّا يَجِدُوا مَا يُنْفِقُونَ
dan tiada (pula) berdosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: "Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu." lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan. (QS. At-Taubah : 92)
Hari-hari ini kita mengetahui betapa Palestina sangat berduka. Masjid suci Al-Aqsha dihinakan. Sinagog didirikan di atas tanah kompleks masjid itu. Rumah-rumah muslim diratakan dengan tanah sebelum dibangun permukiman Yahudi di sana. Kehormatan umat dirampas, dan kemuliaan kaum muslimin dinistakan.
Bukankah kita juga patut menangis karena kita tidak bisa menyambut seruan perjuangan Islam ini? Bukankah kita 'wajib' menangis karena kita "tidak mendapatkan kendaraan" padahal serangan bertubi-tubi itu telah ,mengakibatkan banyak jatuh korban?
Tangis itu bukan berarti untuk dipersaksikan kepada khalayak yang tidak mengerti maknanya dan tidak membawa dampak apa-apa. Cukuplah tangis itu dalam kesendirian kita, disertai kekhusyukan doa-doa kita. Biarlah tangis-tangis muslim hanya didengar Allah, namun kekhusyukan dalam tangis dan doa itulah yang akan menggetarkan Arsy-Nya. Lalu terbukalah jalan perjuangan atau datang pembelaan-Nya dengan cara yang tidak pernah kita duga. Namun jika tidak satu pun air mata yang jatuh atau membasahi pelupuknya, jangan-jangan hati ini telah mengeras dan membatu. [Muchlisin]