Hari ini adalah Hari Film Nasional yang ketiga sejak ditetapkan pada 2008 lalu. Tanggal 30 Maret diambil menjadi hari film nasional berdas...
Hari ini adalah Hari Film Nasional yang ketiga sejak ditetapkan pada 2008 lalu. Tanggal 30 Maret diambil menjadi hari film nasional berdasarkan hari pertama shooting film Darah dan Doa, yang merupakan film pertama karya anak bangsa.
Tulisan ini tidak hendak menilai film Darah dan Doa, apalagi mengajak untuk meramaikan hari film nasional. Sama sekali tidak. Tulisan ini hanya ingin mengajak kita merenung betapa film-film di negeri ini lebih banyak yang merusak alih-alih membawa nilai yang konstruktif bagi masyarakat.
Bagi Anda yang berlangganan surat kabar dan menyempatkan melihat iklan bioskop hari ini, Anda akan mendapati judul-judul Te[Rekam], The Sexy City, Dendam Pocong Mupeng, dan lain-lain. Perfilman nasional masih didominasi oleh dua genre seperti itu; horor dan porno. Sebuah perusahaan film bahkan pernah merencanakan mengundang bintang porno Jepang sebagai aktris dalam filmnya. Meskipun dibatalkan karena dikecam oleh banyak umat Islam dan para ulama, toh mereka tetap meluncurkan film Suster Keramas.
Tentu saja film-film demikian berdampak negatif bagi masa depan negeri ini. Negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Negeri yang diharapkan oleh ulama sekaliber Yusuf Qardhawi, menjadi basis kebangkitan Islam. Bukankah kebanyakan penonton bioskop adalah para pemuda dan para remaja? Jika mereka dibius dengan film-film seperti itu niscaya mental dan moralitasnya cenderung negatif.
Bukan berarti dakwah yang mencita-citakan tegaknya masyarakat Islami anti film dan bioskop. Seperti jawaban Anis Matta ketika ditanya oleh mahasiswa Kalimantan: kalau Negara dikelola dengan cara Islam, apakah bioskop-bioskop akan ditutup? “Oh, tidak”, jawab Anis Matta, “Kita bikin bioskop yang lebih besar dari sekarang” Bedanya: “Film yang Anda tonton berbeda.” Tambahnya lagi: “Pas waktu shalat semua tutup.”
Sesungguhnya, film yang “berbeda” itu sudah pernah dibuktikan. Ia juga memiliki nilai jual. Bahkan sampai membuat masyarakat antri untuk mendapatkan tiketnya. Ketika Cinta Bertasbih, misalnya. Film islami yang diangkat dari novel karya Habiburrahman El-Sirazy ini juga membuktikan bahwa masyarakat kita sebenarnya merindukan film-film berkualitas yang menyejukkan hati; selaras dengan fitrahnya. Meskipun tidak seislami novelnya, Ayat-ayat Cinta juga mencatatkan prestasi tersendiri. Pun dengan film-film inspiratif seperti Laskar Pelangi, Garuda di Dadaku, dan King. Ternyata, perfilman kita juga mampu –sebenarnya- membuat film-film laris tanpa aroma pornografi. Apalagi film Sang Murabbi yang sangat menyentuh dan memotivasi para aktifis dakwah di negeri ini.
Jika film-film tipe kedua ini yang terus dikembangkan bersamaan dengan minimalisasi film-film tipe pertama (syukur-syukur jika sampai tahap eliminasi), niscaya perfilman nasional bukan hanya berkualitas tetapi juga konstruktif membangun kemajuan negeri dan turut memperbaiki umat ini. Film bisa menjadi sarana dakwah modern karena efektifitas film dibanding sarana lain. Seperti dinyatakan pakar komunikasi bahwa satu jam film lebih berpengaruh daripada satu pekan ceramah. [Muchlisin]
Tulisan ini tidak hendak menilai film Darah dan Doa, apalagi mengajak untuk meramaikan hari film nasional. Sama sekali tidak. Tulisan ini hanya ingin mengajak kita merenung betapa film-film di negeri ini lebih banyak yang merusak alih-alih membawa nilai yang konstruktif bagi masyarakat.
Bagi Anda yang berlangganan surat kabar dan menyempatkan melihat iklan bioskop hari ini, Anda akan mendapati judul-judul Te[Rekam], The Sexy City, Dendam Pocong Mupeng, dan lain-lain. Perfilman nasional masih didominasi oleh dua genre seperti itu; horor dan porno. Sebuah perusahaan film bahkan pernah merencanakan mengundang bintang porno Jepang sebagai aktris dalam filmnya. Meskipun dibatalkan karena dikecam oleh banyak umat Islam dan para ulama, toh mereka tetap meluncurkan film Suster Keramas.
Tentu saja film-film demikian berdampak negatif bagi masa depan negeri ini. Negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Negeri yang diharapkan oleh ulama sekaliber Yusuf Qardhawi, menjadi basis kebangkitan Islam. Bukankah kebanyakan penonton bioskop adalah para pemuda dan para remaja? Jika mereka dibius dengan film-film seperti itu niscaya mental dan moralitasnya cenderung negatif.
Bukan berarti dakwah yang mencita-citakan tegaknya masyarakat Islami anti film dan bioskop. Seperti jawaban Anis Matta ketika ditanya oleh mahasiswa Kalimantan: kalau Negara dikelola dengan cara Islam, apakah bioskop-bioskop akan ditutup? “Oh, tidak”, jawab Anis Matta, “Kita bikin bioskop yang lebih besar dari sekarang” Bedanya: “Film yang Anda tonton berbeda.” Tambahnya lagi: “Pas waktu shalat semua tutup.”
Sesungguhnya, film yang “berbeda” itu sudah pernah dibuktikan. Ia juga memiliki nilai jual. Bahkan sampai membuat masyarakat antri untuk mendapatkan tiketnya. Ketika Cinta Bertasbih, misalnya. Film islami yang diangkat dari novel karya Habiburrahman El-Sirazy ini juga membuktikan bahwa masyarakat kita sebenarnya merindukan film-film berkualitas yang menyejukkan hati; selaras dengan fitrahnya. Meskipun tidak seislami novelnya, Ayat-ayat Cinta juga mencatatkan prestasi tersendiri. Pun dengan film-film inspiratif seperti Laskar Pelangi, Garuda di Dadaku, dan King. Ternyata, perfilman kita juga mampu –sebenarnya- membuat film-film laris tanpa aroma pornografi. Apalagi film Sang Murabbi yang sangat menyentuh dan memotivasi para aktifis dakwah di negeri ini.
Jika film-film tipe kedua ini yang terus dikembangkan bersamaan dengan minimalisasi film-film tipe pertama (syukur-syukur jika sampai tahap eliminasi), niscaya perfilman nasional bukan hanya berkualitas tetapi juga konstruktif membangun kemajuan negeri dan turut memperbaiki umat ini. Film bisa menjadi sarana dakwah modern karena efektifitas film dibanding sarana lain. Seperti dinyatakan pakar komunikasi bahwa satu jam film lebih berpengaruh daripada satu pekan ceramah. [Muchlisin]