Ia tidak ingin pernikahannya batal hanya gara-gara tathayyur . Bagaimana mungkin proses ke jenjang pernikahan yang sudah islami, harus dibat...
Ia tidak ingin pernikahannya batal hanya gara-gara tathayyur. Bagaimana mungkin proses ke jenjang pernikahan yang sudah islami, harus dibatalkan karena weton. Tapi itulah tekad sang paman, yang seorang kejawen. Paman ikhwah ini memang sangat berpengaruh pada keluarga besarnya. Termasuk menentukan dilanjutkan atau tidak pernikahan ini.
Tapi ikhwah ini lebih cerdas dari pamannya. Ia bahkan sudah berpikir bagaimana memenangkan dakwah di hari-hari mendatang. Maka saat paman memanggilnya untuk bicara weton calon istrinya: "Apa weton calon istrimu?" Ia telah siap dengan jawaban singkat "Kalau kamis pahing bagaimana Pakdhe?" Setelah berpikir beberapa saat, pamannya menjawab: "Kalau itu bagus sekali, Le! Teruskan, teruskan. Pakdhe setuju."
Pernikahan pun berlangsung dengan sukses. Ternyata sebelum menjawab pertanyaan beberapa tahun lalu itu, ikhwah tersebut sudah membaca buku primbon. Istrinya sebenarnya tidak lahir pada hari kamis pahing. Karenanya ia tidak menjawab "Calon istriku lahir pada hari kamis pahing." Tetapi "Kalau kamis pahing bagaimana Pakdhe?" Ia memanfaatkan tauriyah. Andaikan ia langsung menjawab pertanyaan pamannya dengan menyebutkan hari lahir istrinya, yakin pernikahan itu akan dibatalkan. Sebab paman –dan juga masyarakat sekitar- sangat percaya weton mereka "tibo pati". Bila mereka menikah, tidak lama setelah pernikahan itu salah satu dari keduanya akan meninggal.
Karena pernikahan mereka telah memasuki usia yang cukup lama, lebih dari empat tahun, maka ikhwah ini mulai meyakinkan masyarakatnya bahwa tathayyur itu hanya isapan jempol. Kematian tidak ditentukan oleh weton. Buktinya, ia dan istrinya masih hidup, bahkan keluarganya sangat harmonis. Sakinah mawaddah wa rahmah, insya Allah demikian menurut mereka. Dan, sejak saat itu masyarakat mulai percaya karena ia bicara berdasarkan bukti, bukan sekedar teori.
Di lingkungan kami tinggal juga demikian. Masyarakat masih meyakini bahwa saat ibu hamil ia harus dislameti dengan tingkepan. Jika tidak, bayi yang lahir bisa tidak selamat, cacat, atau tidak normal. Aku bersama istri bertekad bahwa kami tidak akan mengadakan tingkepan. Semula memang ada kasak-kusuk tetangga yang menanyakan "Kok keluarga itu tidak tingkepan?"
Tibalah saat bayi kami lahir. Alhamdulillah, ia lahir normal seperti bayi yang lain. Bahkan proses kelahirannya tergolong sangat cepat dan bayi kami sehat serta cakap, biidznillah. Dengan bukti semacam ini, lebih mudah meyakinkan bahwa tingkepan tidak ada hubungannya dengan keselamatan bayi. Dan, mereka percaya.
Demikianlah, dakwah memerlukan strategi dengan pendekatan yang "cerdas". Saat masyarakat kita sudah terdidik, mereka sebenarnya lebih bisa menalar daripada generasi sebelumnya. Maka ketika kita hadirkan bukti, kita ajak mereka berpikir rasional itu akan lebih efektif daripada kita berhadapan secara frontal dengan masyarakat seraya menuding mereka "ahli bid'ah", "tukang syirik", dan lain-lain. Bagaimana pendapat Antum? [Muchlisin]
Tapi ikhwah ini lebih cerdas dari pamannya. Ia bahkan sudah berpikir bagaimana memenangkan dakwah di hari-hari mendatang. Maka saat paman memanggilnya untuk bicara weton calon istrinya: "Apa weton calon istrimu?" Ia telah siap dengan jawaban singkat "Kalau kamis pahing bagaimana Pakdhe?" Setelah berpikir beberapa saat, pamannya menjawab: "Kalau itu bagus sekali, Le! Teruskan, teruskan. Pakdhe setuju."
Pernikahan pun berlangsung dengan sukses. Ternyata sebelum menjawab pertanyaan beberapa tahun lalu itu, ikhwah tersebut sudah membaca buku primbon. Istrinya sebenarnya tidak lahir pada hari kamis pahing. Karenanya ia tidak menjawab "Calon istriku lahir pada hari kamis pahing." Tetapi "Kalau kamis pahing bagaimana Pakdhe?" Ia memanfaatkan tauriyah. Andaikan ia langsung menjawab pertanyaan pamannya dengan menyebutkan hari lahir istrinya, yakin pernikahan itu akan dibatalkan. Sebab paman –dan juga masyarakat sekitar- sangat percaya weton mereka "tibo pati". Bila mereka menikah, tidak lama setelah pernikahan itu salah satu dari keduanya akan meninggal.
Karena pernikahan mereka telah memasuki usia yang cukup lama, lebih dari empat tahun, maka ikhwah ini mulai meyakinkan masyarakatnya bahwa tathayyur itu hanya isapan jempol. Kematian tidak ditentukan oleh weton. Buktinya, ia dan istrinya masih hidup, bahkan keluarganya sangat harmonis. Sakinah mawaddah wa rahmah, insya Allah demikian menurut mereka. Dan, sejak saat itu masyarakat mulai percaya karena ia bicara berdasarkan bukti, bukan sekedar teori.
Di lingkungan kami tinggal juga demikian. Masyarakat masih meyakini bahwa saat ibu hamil ia harus dislameti dengan tingkepan. Jika tidak, bayi yang lahir bisa tidak selamat, cacat, atau tidak normal. Aku bersama istri bertekad bahwa kami tidak akan mengadakan tingkepan. Semula memang ada kasak-kusuk tetangga yang menanyakan "Kok keluarga itu tidak tingkepan?"
Tibalah saat bayi kami lahir. Alhamdulillah, ia lahir normal seperti bayi yang lain. Bahkan proses kelahirannya tergolong sangat cepat dan bayi kami sehat serta cakap, biidznillah. Dengan bukti semacam ini, lebih mudah meyakinkan bahwa tingkepan tidak ada hubungannya dengan keselamatan bayi. Dan, mereka percaya.
Demikianlah, dakwah memerlukan strategi dengan pendekatan yang "cerdas". Saat masyarakat kita sudah terdidik, mereka sebenarnya lebih bisa menalar daripada generasi sebelumnya. Maka ketika kita hadirkan bukti, kita ajak mereka berpikir rasional itu akan lebih efektif daripada kita berhadapan secara frontal dengan masyarakat seraya menuding mereka "ahli bid'ah", "tukang syirik", dan lain-lain. Bagaimana pendapat Antum? [Muchlisin]