Kejadiannya pada bulan ini, Jumadil Awal, 1423 tahun yang lalu. Bermula dari diutusnya Al-Harits bin Umair oleh Rasulullah untuk mengirim su...
Kejadiannya pada bulan ini, Jumadil Awal, 1423 tahun yang lalu. Bermula dari diutusnya Al-Harits bin Umair oleh Rasulullah untuk mengirim surat kepada pemimpin Bushra. Namun dalam perjalanan ia ditangkap pemimpin Al-Balqa dan dibawa ke hadapan kaisar Romawi. Di sana Harits dipenggal lehernya. Padahal membunuh utusan adalah kejahatan besar yang juga bermakna pengumuman perang.
Rasulullah kemudian menghimpun 3.000 pasukan untuk berperang dengan Romawi. Peperangan pertama dengan Romawi ini di belakang hari dikenal dengan nama Perang Muktah.
Kali ini Rasulullah tidak ikut berperang. Beliau berada di Madinah. Tetapi atas izin Allah, beliau bisa mengetahui jalannya peperangan dan apa yang terjadi di Muktah. Hingga satu hari, saat bersama dengan para sahabat, beliau bercerita sambil meneteskan air mata. “Zaid mengambil bendera lalu dia syahid. Kemudian Ja’far yang mengambilnya dan dia pun syahid. Lalu Ibnu Rawahah yang mengambilnya dan dia pun syahid.”
Siapa yang tidak menangis mendengar sahabat sekaligus kader terbaiknya pergi untuk selamanya. Dan kali ini, dalam satu hari tiga sahabat terbaik itu pergi: Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Ibnu Rawahah. Para sahabat yang mendengar kabar dari Rasulullah itu juga tak kuasa menahan air mata. Apalagi saat mengetahui peristiwanya secara detail.
Sesuai perintah Rasulullah, pasukan Islam dipimpin Zaid bin Haritsah dengan bendera di tangannya. 3.000 pasukan Islam melawan 100.000 tentara Romawi jelas tak seimbang. Zaid bertempur dengan gagah berani. Sampai kemudian sebuah tombak Romawi menancap di tubuhnya. Darah segar assaabiquunal awwalun tumpah di bumi Muktah. Andaikan memiliki air mata, tanah di sana sudah menangis sejak tubuh mulia itu terjatuh. Zaid tergeletak sudah. Syahid.
Bendera segera diambil Ja’far bin Abu Thalib. Kini gilirannya memimpin pasukan Islam. Sahabat yang tampan ini bertempur hebat di atas kudanya. Ketika pertempuran makin sengit, kudanya terkena senjata musuh. Ja’far terlempar. Ia segera kembali bertempur lagi. Sampai akhirnya, ada pasukan Romawi yang menebas tangan kanannya hingga putus. Darah suci pahlawan Islam tertumpah ke bumi. Ja’far belum kalah! Kini bendera Islam dipegang dengan tangan kirinya. Rupanya pasukan Romawi tidak rela bendera itu tetap berkibar. Disabetnya tangan kiri Ja’far hingga putus. Kini ia kehilangan dua tangannya. Yang tersisa hanyalah sedikit lengan bagian atas. Dengan sisa lengan itu Ja’far menahan bendera agar tetap berkibar. Namun pasukan Romawi semakin menjadi. Ada diantara mereka yang menyerang Ja’far dan membelah tubuhnya menjadi dua. Ja’far jatuh untuk yang terakhir kalinya. Syahid. Sahabat terbaik sekaligus sepupu Rasulullah ini syahid dengan lebih dari lima puluh luka di tubuhnya, luka sabetan pedang dan hujaman tombak.
Abdullah bin Rawahah segera mengambil bendera itu dan mengibarkannya. Kini ia yang memimpin pasukan. Ia memilih turun dari kudanya dan bertarung di bawah. Setelah melantunkan syair yang membakar semangat ia maju merangsek musuh dengan pedangnya. Ia bertarung sebagai seorang ksatria. Beberapa waktu kemudian pasukan Islam melihatnya terjatuh dengan darah yang menyirami bumi Muktah. Abdullah bin Rawahah syahid saat itu juga.
Rasulullah menangis mengetahui itu. Para sahabat di sisi Rasulullah juga tidak henti-hentinya meneteskan air mata. Tangis duka. Tangis kehilangan. Kehilangan sahabat-sahabat terbaik. Kehilangan pahlawan-pahlawan pemberani. Namun bersamaan dengan tangis itu juga ada kabar gembira bagi mereka. Bahwa ketiga orang itu kini disambut para malaikat dengan penuh hormat, dijemput para bidadari, dan mendapati janji surga serta ridha Ilahi. Secara khusus kepada Ja’far bin Abu Thalib yang terbelah tubuhnya, ia dijuluki dengan Ath-Thayyar (penerbang) atau Dzul-Janahain (orang yang memiliki dua sayap) sebab Allah menganugerahinya dua sayap di surga, dan dengan sayap itu ia bisa terbang sekehendaknya.
Kita, yang merasa bangga dengan sebutan kader dakwah, seringkali mengeluh dengan medan dakwah yang kita hadapi. Berat! Kita dalam aktifitas dakwah ini sering pulang malam. Di hari libur kita tidak bisa istirahat karena justru hari-hari itu banyak acara. Korban waktu. Korban tenaga. Bahkan mengeluarkan sebagian uang kita. Sementara masyarakat yang kita dakwahi tidak juga menyambut Islam sebagai manhaj mereka. Kita merasa sangat berat, dan seringkali mengeluh.
Kita merasa berat padahal kita tidak pernah berjihad. Kita mengeluh sering pulang malam dan kecapekan karena kita tidak pernah membayangkan mobilitas para sahabat seperti Zaid, Ja’far dan Ibnu Rawahah yang menempuh perjalanan beberapa pekan, lalu berperang beberapa pekan pula. Kita mengeluhkan hari libur yang tersita sehingga jarang berekreasi bersama keluarga karena kita tak pernah menempatkan diri seperti Zaid, Ja’far dan Ibnu Rawahah yang setiap kali berangkat jihad mereka meninggalkan wasiat pada istri dan keluarganya. Kita mengeluh korban tenaga, kehujanan, sampai terkena flu bahkan masuk rumah sakit. Karena kita tak pernah membayangkan jika kita yang menjadi para sahabat. Bukan flu yang menyerang tetapi anak-anak panah yang menancap di badan. Bukan panas dan meriang yang datang tetapi tombak yang menghujam. Bukan batuk karena kelelahan tapi sayatan pedang yang membentuk luka dan menumpahkan darah.
Kita mengeluh dengan pengeluaran sebagian kecil uang kita karena kita tidak membayangkan betapa besarnya biaya jihad para sahabat. Mulai dari membeli unta atau kuda, baju besi sampai senjata. Kita mengeluhkan masyarakat kita yang tidak juga menyambut dakwah sementara Zaid, Ja’far, dan Ibnu Rawahah bahkan tak pernah mengeluh meskipun berhadapan dengan 100.000 pasukan musuh. Kita merasa berat dan seringkali mengeluh karena kita tak memahami bahwa perjuangan Islam resikonya adalah kematian. Maka yang kita alami bukan apa-apa dibandingkan tombak yang menghujam tubuh Zaid bin Haritsah. Yang kita keluhkan tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan sabetan pedang yang memutuskan dua tangan Ja’far bin Abu Thalib dan membelah tubuhnya. Yang kita rasa berat tidak seberapa dibandingkan luka-luka di tubuh Ibnu Rawahah yang membawanya pada kesyahidan.
Lalu pantaskah kita berharap Rasulullah menangis karena kematian kita? Pantaskah kita berharap malaikat datang menyambut kita? Atau bidadari menjemput kita? Kemudian pintu surga dibukakan untuk kita?
Ya Allah, jika kami memang belum pantas untuk itu semua, jangan biarkan kami mengeluh di jalan dakwah ini. Ya Allah, anugerahkanlah hidayah-Mu kepada kami, dan janganlah Engkau jadikan hati kami condong pada kesesatan sesudah Engkau memberi hidayah pada kami. Amin. [Muchlisin]
Rasulullah kemudian menghimpun 3.000 pasukan untuk berperang dengan Romawi. Peperangan pertama dengan Romawi ini di belakang hari dikenal dengan nama Perang Muktah.
Kali ini Rasulullah tidak ikut berperang. Beliau berada di Madinah. Tetapi atas izin Allah, beliau bisa mengetahui jalannya peperangan dan apa yang terjadi di Muktah. Hingga satu hari, saat bersama dengan para sahabat, beliau bercerita sambil meneteskan air mata. “Zaid mengambil bendera lalu dia syahid. Kemudian Ja’far yang mengambilnya dan dia pun syahid. Lalu Ibnu Rawahah yang mengambilnya dan dia pun syahid.”
Siapa yang tidak menangis mendengar sahabat sekaligus kader terbaiknya pergi untuk selamanya. Dan kali ini, dalam satu hari tiga sahabat terbaik itu pergi: Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Ibnu Rawahah. Para sahabat yang mendengar kabar dari Rasulullah itu juga tak kuasa menahan air mata. Apalagi saat mengetahui peristiwanya secara detail.
Sesuai perintah Rasulullah, pasukan Islam dipimpin Zaid bin Haritsah dengan bendera di tangannya. 3.000 pasukan Islam melawan 100.000 tentara Romawi jelas tak seimbang. Zaid bertempur dengan gagah berani. Sampai kemudian sebuah tombak Romawi menancap di tubuhnya. Darah segar assaabiquunal awwalun tumpah di bumi Muktah. Andaikan memiliki air mata, tanah di sana sudah menangis sejak tubuh mulia itu terjatuh. Zaid tergeletak sudah. Syahid.
Bendera segera diambil Ja’far bin Abu Thalib. Kini gilirannya memimpin pasukan Islam. Sahabat yang tampan ini bertempur hebat di atas kudanya. Ketika pertempuran makin sengit, kudanya terkena senjata musuh. Ja’far terlempar. Ia segera kembali bertempur lagi. Sampai akhirnya, ada pasukan Romawi yang menebas tangan kanannya hingga putus. Darah suci pahlawan Islam tertumpah ke bumi. Ja’far belum kalah! Kini bendera Islam dipegang dengan tangan kirinya. Rupanya pasukan Romawi tidak rela bendera itu tetap berkibar. Disabetnya tangan kiri Ja’far hingga putus. Kini ia kehilangan dua tangannya. Yang tersisa hanyalah sedikit lengan bagian atas. Dengan sisa lengan itu Ja’far menahan bendera agar tetap berkibar. Namun pasukan Romawi semakin menjadi. Ada diantara mereka yang menyerang Ja’far dan membelah tubuhnya menjadi dua. Ja’far jatuh untuk yang terakhir kalinya. Syahid. Sahabat terbaik sekaligus sepupu Rasulullah ini syahid dengan lebih dari lima puluh luka di tubuhnya, luka sabetan pedang dan hujaman tombak.
Abdullah bin Rawahah segera mengambil bendera itu dan mengibarkannya. Kini ia yang memimpin pasukan. Ia memilih turun dari kudanya dan bertarung di bawah. Setelah melantunkan syair yang membakar semangat ia maju merangsek musuh dengan pedangnya. Ia bertarung sebagai seorang ksatria. Beberapa waktu kemudian pasukan Islam melihatnya terjatuh dengan darah yang menyirami bumi Muktah. Abdullah bin Rawahah syahid saat itu juga.
Rasulullah menangis mengetahui itu. Para sahabat di sisi Rasulullah juga tidak henti-hentinya meneteskan air mata. Tangis duka. Tangis kehilangan. Kehilangan sahabat-sahabat terbaik. Kehilangan pahlawan-pahlawan pemberani. Namun bersamaan dengan tangis itu juga ada kabar gembira bagi mereka. Bahwa ketiga orang itu kini disambut para malaikat dengan penuh hormat, dijemput para bidadari, dan mendapati janji surga serta ridha Ilahi. Secara khusus kepada Ja’far bin Abu Thalib yang terbelah tubuhnya, ia dijuluki dengan Ath-Thayyar (penerbang) atau Dzul-Janahain (orang yang memiliki dua sayap) sebab Allah menganugerahinya dua sayap di surga, dan dengan sayap itu ia bisa terbang sekehendaknya.
Kita, yang merasa bangga dengan sebutan kader dakwah, seringkali mengeluh dengan medan dakwah yang kita hadapi. Berat! Kita dalam aktifitas dakwah ini sering pulang malam. Di hari libur kita tidak bisa istirahat karena justru hari-hari itu banyak acara. Korban waktu. Korban tenaga. Bahkan mengeluarkan sebagian uang kita. Sementara masyarakat yang kita dakwahi tidak juga menyambut Islam sebagai manhaj mereka. Kita merasa sangat berat, dan seringkali mengeluh.
Kita merasa berat padahal kita tidak pernah berjihad. Kita mengeluh sering pulang malam dan kecapekan karena kita tidak pernah membayangkan mobilitas para sahabat seperti Zaid, Ja’far dan Ibnu Rawahah yang menempuh perjalanan beberapa pekan, lalu berperang beberapa pekan pula. Kita mengeluhkan hari libur yang tersita sehingga jarang berekreasi bersama keluarga karena kita tak pernah menempatkan diri seperti Zaid, Ja’far dan Ibnu Rawahah yang setiap kali berangkat jihad mereka meninggalkan wasiat pada istri dan keluarganya. Kita mengeluh korban tenaga, kehujanan, sampai terkena flu bahkan masuk rumah sakit. Karena kita tak pernah membayangkan jika kita yang menjadi para sahabat. Bukan flu yang menyerang tetapi anak-anak panah yang menancap di badan. Bukan panas dan meriang yang datang tetapi tombak yang menghujam. Bukan batuk karena kelelahan tapi sayatan pedang yang membentuk luka dan menumpahkan darah.
Kita mengeluh dengan pengeluaran sebagian kecil uang kita karena kita tidak membayangkan betapa besarnya biaya jihad para sahabat. Mulai dari membeli unta atau kuda, baju besi sampai senjata. Kita mengeluhkan masyarakat kita yang tidak juga menyambut dakwah sementara Zaid, Ja’far, dan Ibnu Rawahah bahkan tak pernah mengeluh meskipun berhadapan dengan 100.000 pasukan musuh. Kita merasa berat dan seringkali mengeluh karena kita tak memahami bahwa perjuangan Islam resikonya adalah kematian. Maka yang kita alami bukan apa-apa dibandingkan tombak yang menghujam tubuh Zaid bin Haritsah. Yang kita keluhkan tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan sabetan pedang yang memutuskan dua tangan Ja’far bin Abu Thalib dan membelah tubuhnya. Yang kita rasa berat tidak seberapa dibandingkan luka-luka di tubuh Ibnu Rawahah yang membawanya pada kesyahidan.
Lalu pantaskah kita berharap Rasulullah menangis karena kematian kita? Pantaskah kita berharap malaikat datang menyambut kita? Atau bidadari menjemput kita? Kemudian pintu surga dibukakan untuk kita?
Ya Allah, jika kami memang belum pantas untuk itu semua, jangan biarkan kami mengeluh di jalan dakwah ini. Ya Allah, anugerahkanlah hidayah-Mu kepada kami, dan janganlah Engkau jadikan hati kami condong pada kesesatan sesudah Engkau memberi hidayah pada kami. Amin. [Muchlisin]