“Ini kelima kalinya,” kata seorang Bapak yang tengah menunggui istrinya yang koma, “Aku menungguinya beberapa hari, seperti ini” Wajah teduh...
“Ini kelima kalinya,” kata seorang Bapak yang tengah menunggui istrinya yang koma, “Aku menungguinya beberapa hari, seperti ini” Wajah teduh di depanku itu mengguratkan kesungguhan kasih sayang bersamaan dengan ceritanya yang mengajariku tentang kesetiaan.
Kesetiaan. Dalam kehidupan berumah tangga, ia imunitas yang menjaga keluarga berada dalam damai. Ia pula yang menyelamatkan keluarga dari badai. Ia yang membuat kehidupan berumah tangga menjadi baiti jannati.
Seperti yang dialami oleh Bapak tadi. Kesetiaan yang dimilikinya membuat keluarganya utuh dan berjalan damai. Kesetiaan membuat istrinya merasa lebih nyaman meski penyakit menyerangnya. Kesetiaan juga membuat beban keluarga menjadi ringan karena ditanggung bersama. Meski hidup pas-pasan namun kebahagiaan menaungi rumah mereka. Maka anak-anak pun tumbuh dengan kasih sayang. Keharmonisan orang tua membuat mereka lebih percaya diri menatap masa depan.
Kesetiaan yang hakiki lahir dari keimanan. Ia mendarah daging di atas keyakinan bahwa kesetiaan berkeluarga akan mendatangkan rahmat dan ridha-Nya. Sementara pengkhianatan dan perselingkuhan hanya akan mendatangkan murka-Nya. Kesetiaan ini akan tetap bertahan; meski sang kekasih pergi dalam waktu yang lama.
Seperti kisah seorang wanita yang di zaman Umar yang sendirian karena ditinggal berjihad suaminya selama berbulan-bulan. Dalam sepi malam sayup-sayup terdengar syairnya yang menggambarkan betapa tinggi gejolak jiwa, namun kebesaran kesetiaan yang bersumber dari iman mampu meredamnya:
Duhai Rabbi, kalau bukan karena takut kepada-Mu
Niscaya ranjang ini telah bergoyang
Tatkala kesetiaan menghilang, keluarga akan berubah menjadi petaka. Rumah tangga tidak lebih dari neraka. Saat seperti itu, harta tak lagi berguna, karir tak lagi menumbuhkan bangga.
Yang memprihatinkan adalah jumlah ketidaksetiaan ini semakin banyak. Hasil survei yang kemarin dirilis di kompas setidaknya mewakili kabar buruk ini. Hampir 25 persen istri tidak setia kepada suaminya. Sedangkan suami yang berselingkuh mencapai 40 persen. Na’udzubillah.
Bukankah pernikahan dibangun untuk mendapatkan sakinah mawaddah wa rahmah? Bukankah keluarga dibentuk agar lahir ketenangan, cinta, dan kasih sayang? Jika mawaddah atau cinta hadir dalam usia muda yang mempertemukan fisik dan jiwa; maka rahmah atau kasih sayang adalah metamorfosisnya ketika suami istri telah mencapai usia tua dan tak lagi memiliki “hasrat cinta”. Keduanya kokoh karena kesetiaan. Tanpa kesetiaan, keluarga hanya formalitas dan selebihnya adalah kesengsaraan.
Karenanya suami dan istri perlu mengokohkan imannya. Saat iman kokoh kesetiaan memperoleh akarnya, lalu batangnya akan tumbuh dan mulailah ia menguncup. Bunga keharmonisan pun mekar seketika. Memulai dari diri sendiri adalah pilihan bijak, alih-alih menuntut pasangan kita menjadi lebih baik. Saat kita setia, sesungguhnya kita menempatkan diri pantas untuk diberi kesetiaan. Di sini berlaku kadiahnya: Wanita-wanita yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk wanita-wanita yang baik (QS. An-Nur : 26)
Jika ikatan yang suci itu dikhianati; jika perjanjian yang teguh itu tidak disertai kesetiaan; bukankah hari-hari kita hanya dipenuhi dengan penyesalan. Seperti syair lagunya Anang dan Syahrini: “Jangan memilih aku bila kau tak setia”. [Muchlisin]
Kesetiaan. Dalam kehidupan berumah tangga, ia imunitas yang menjaga keluarga berada dalam damai. Ia pula yang menyelamatkan keluarga dari badai. Ia yang membuat kehidupan berumah tangga menjadi baiti jannati.
Seperti yang dialami oleh Bapak tadi. Kesetiaan yang dimilikinya membuat keluarganya utuh dan berjalan damai. Kesetiaan membuat istrinya merasa lebih nyaman meski penyakit menyerangnya. Kesetiaan juga membuat beban keluarga menjadi ringan karena ditanggung bersama. Meski hidup pas-pasan namun kebahagiaan menaungi rumah mereka. Maka anak-anak pun tumbuh dengan kasih sayang. Keharmonisan orang tua membuat mereka lebih percaya diri menatap masa depan.
Kesetiaan yang hakiki lahir dari keimanan. Ia mendarah daging di atas keyakinan bahwa kesetiaan berkeluarga akan mendatangkan rahmat dan ridha-Nya. Sementara pengkhianatan dan perselingkuhan hanya akan mendatangkan murka-Nya. Kesetiaan ini akan tetap bertahan; meski sang kekasih pergi dalam waktu yang lama.
Seperti kisah seorang wanita yang di zaman Umar yang sendirian karena ditinggal berjihad suaminya selama berbulan-bulan. Dalam sepi malam sayup-sayup terdengar syairnya yang menggambarkan betapa tinggi gejolak jiwa, namun kebesaran kesetiaan yang bersumber dari iman mampu meredamnya:
Duhai Rabbi, kalau bukan karena takut kepada-Mu
Niscaya ranjang ini telah bergoyang
Tatkala kesetiaan menghilang, keluarga akan berubah menjadi petaka. Rumah tangga tidak lebih dari neraka. Saat seperti itu, harta tak lagi berguna, karir tak lagi menumbuhkan bangga.
Yang memprihatinkan adalah jumlah ketidaksetiaan ini semakin banyak. Hasil survei yang kemarin dirilis di kompas setidaknya mewakili kabar buruk ini. Hampir 25 persen istri tidak setia kepada suaminya. Sedangkan suami yang berselingkuh mencapai 40 persen. Na’udzubillah.
Bukankah pernikahan dibangun untuk mendapatkan sakinah mawaddah wa rahmah? Bukankah keluarga dibentuk agar lahir ketenangan, cinta, dan kasih sayang? Jika mawaddah atau cinta hadir dalam usia muda yang mempertemukan fisik dan jiwa; maka rahmah atau kasih sayang adalah metamorfosisnya ketika suami istri telah mencapai usia tua dan tak lagi memiliki “hasrat cinta”. Keduanya kokoh karena kesetiaan. Tanpa kesetiaan, keluarga hanya formalitas dan selebihnya adalah kesengsaraan.
Karenanya suami dan istri perlu mengokohkan imannya. Saat iman kokoh kesetiaan memperoleh akarnya, lalu batangnya akan tumbuh dan mulailah ia menguncup. Bunga keharmonisan pun mekar seketika. Memulai dari diri sendiri adalah pilihan bijak, alih-alih menuntut pasangan kita menjadi lebih baik. Saat kita setia, sesungguhnya kita menempatkan diri pantas untuk diberi kesetiaan. Di sini berlaku kadiahnya: Wanita-wanita yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk wanita-wanita yang baik (QS. An-Nur : 26)
Jika ikatan yang suci itu dikhianati; jika perjanjian yang teguh itu tidak disertai kesetiaan; bukankah hari-hari kita hanya dipenuhi dengan penyesalan. Seperti syair lagunya Anang dan Syahrini: “Jangan memilih aku bila kau tak setia”. [Muchlisin]