Membaca pernyataan Dirjen Pajak bahwa di kuartal pertama 2010 ada sekitar 200 Gayus lain membuat kita miris. Apalagi mendengar bahwa Gayus h...
Membaca pernyataan Dirjen Pajak bahwa di kuartal pertama 2010 ada sekitar 200 Gayus lain membuat kita miris. Apalagi mendengar bahwa Gayus hanya kelas teri atau amatiran, masih banyak yang kelas kakap dan profesional.
Tidak heran jika kemudian ada kekecewaan mendalam dari para wajib pajak. Termasuk rakyat kecil yang dalam kesusahannya tetap taat membayar pajak. Sampai-sampai kini ada grup di facebook yang menolak membayar pajak dan dalam waktu singkat memperoleh anggota yang begitu banyak.
Apakah dunia kita hari ini telah dipenuhi dengan praktik seperti itu? Tidakkah sejarah bisa diulangi. Seperti zaman awal Islam, saat pemimpinnya memberikan keteladanan lalu mewarnai para pegawai pemerintahan. Seperti sikap Umar.
Diantara riwayat yang masyhur telah diriwayatkan oleh Al-Baihaqi. Bahwa ada orang yang memberi hadiah kepada istri Umar berupa dua bantal kecil untuk bersandar. Umar masuk rumah dan mengetahui kedua hadiah itu. Umar bertanya, “Dari mana engkau dapatkan dua bantal ini? Apakah dari membeli? Beritahukan kepadaku dan jangan membohongiku.”
Istrinya menjawab, “Si fulan telah mengirimkannya kepadaku.” Maka Umar berkata, “Celakalah si fulan! Ia mempunyai kepentingan denganku, sementara ia tidak mampu untuk menembus langsung lewat diriku, maka ia tetap datang kepadaku lewat keluargaku.” Lalu Umar menarik hamparan alas yang sedang diduduki bersama dua bantal hadiah tersebut dengan sekuat tenaga, dan membawanya keluar.
Ternyata ia dibuntuti oleh pembantu perempuannya sambil berkata, “Tuan, alasnya milik kita!” Mendengar itu Umar memisahkan alas itu dan melemparkannya kepada pembantunya. Ia terus keluar membawa dua bantal itu, untuk diberikannya kepada orang lain: satu diberikan kepada perempuan Muhajirin dan yang lain diberikan kepada perempuan Ansar.
Dalam riwayat yang lain ada seorang laki-laki yang setiap tahun memberi hadiah kepada Umar berupa paha kambing. Pada suatu saat laki-laki tadi datang kepada Umar untuk mengadukan masalah sengketa. Ia berkata, “Wahai Amirul Mukminin, berilah kami keputusan yang benar-benar mampu bisa memisahkan antara yang benar dan yang salah, sebagaimana terpisahnya paha kambing dari tubuh kambing yang disembelih.” Umar tahu maksud laki-laki ini tetapi ia tetap memutuskan dengan adil. Setelah itu, Umar berkirim surat kepada para pegawainya, “Janganlah engkau menerima hadiah, karena sesungguhnya hadiah itu adalah suap.”
Kita merindukan orang-orang seperti Umar. Orang-orang kuat yang tidak saja mampu menahan dirinya untuk tetap amanah, tetapi juga menjaga keluarganya. Orang-orang berkepribadian kokoh yang tidak hanya mampu membentengi dirinya dari suap tetapi juga menyadarkan pegawainya agar tidak khianat.
Bukankah kehidupan akan jauh lebih indah? Bukankah keadilan akan lebih terasa? Demikian pula, bukankah kesejahteraan akan menjadi nyata? Kita merindukan orang-orang seperti Umar. Namun, kerinduan saja tidak cukup untuk menghadirkan mereka dalam kenyataan. Kalau bukan kita yang memulai, siapa lagi?
Tidak heran jika kemudian ada kekecewaan mendalam dari para wajib pajak. Termasuk rakyat kecil yang dalam kesusahannya tetap taat membayar pajak. Sampai-sampai kini ada grup di facebook yang menolak membayar pajak dan dalam waktu singkat memperoleh anggota yang begitu banyak.
Apakah dunia kita hari ini telah dipenuhi dengan praktik seperti itu? Tidakkah sejarah bisa diulangi. Seperti zaman awal Islam, saat pemimpinnya memberikan keteladanan lalu mewarnai para pegawai pemerintahan. Seperti sikap Umar.
Diantara riwayat yang masyhur telah diriwayatkan oleh Al-Baihaqi. Bahwa ada orang yang memberi hadiah kepada istri Umar berupa dua bantal kecil untuk bersandar. Umar masuk rumah dan mengetahui kedua hadiah itu. Umar bertanya, “Dari mana engkau dapatkan dua bantal ini? Apakah dari membeli? Beritahukan kepadaku dan jangan membohongiku.”
Istrinya menjawab, “Si fulan telah mengirimkannya kepadaku.” Maka Umar berkata, “Celakalah si fulan! Ia mempunyai kepentingan denganku, sementara ia tidak mampu untuk menembus langsung lewat diriku, maka ia tetap datang kepadaku lewat keluargaku.” Lalu Umar menarik hamparan alas yang sedang diduduki bersama dua bantal hadiah tersebut dengan sekuat tenaga, dan membawanya keluar.
Ternyata ia dibuntuti oleh pembantu perempuannya sambil berkata, “Tuan, alasnya milik kita!” Mendengar itu Umar memisahkan alas itu dan melemparkannya kepada pembantunya. Ia terus keluar membawa dua bantal itu, untuk diberikannya kepada orang lain: satu diberikan kepada perempuan Muhajirin dan yang lain diberikan kepada perempuan Ansar.
Dalam riwayat yang lain ada seorang laki-laki yang setiap tahun memberi hadiah kepada Umar berupa paha kambing. Pada suatu saat laki-laki tadi datang kepada Umar untuk mengadukan masalah sengketa. Ia berkata, “Wahai Amirul Mukminin, berilah kami keputusan yang benar-benar mampu bisa memisahkan antara yang benar dan yang salah, sebagaimana terpisahnya paha kambing dari tubuh kambing yang disembelih.” Umar tahu maksud laki-laki ini tetapi ia tetap memutuskan dengan adil. Setelah itu, Umar berkirim surat kepada para pegawainya, “Janganlah engkau menerima hadiah, karena sesungguhnya hadiah itu adalah suap.”
Kita merindukan orang-orang seperti Umar. Orang-orang kuat yang tidak saja mampu menahan dirinya untuk tetap amanah, tetapi juga menjaga keluarganya. Orang-orang berkepribadian kokoh yang tidak hanya mampu membentengi dirinya dari suap tetapi juga menyadarkan pegawainya agar tidak khianat.
Bukankah kehidupan akan jauh lebih indah? Bukankah keadilan akan lebih terasa? Demikian pula, bukankah kesejahteraan akan menjadi nyata? Kita merindukan orang-orang seperti Umar. Namun, kerinduan saja tidak cukup untuk menghadirkan mereka dalam kenyataan. Kalau bukan kita yang memulai, siapa lagi?