Jika kebangkitan nasional dimaknai sebagai masa bangkitnya semangat persatuan, kesatuan, dan nasionalisme serta kesadaran untuk memperjuangk...
Jika kebangkitan nasional dimaknai sebagai masa bangkitnya semangat persatuan, kesatuan, dan nasionalisme serta kesadaran untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, itu memang bisa ditandai dengan berdirinya Boedi Oetomo, 20 Mei 1908 lalu. Namun, jika kebangkitan nasional di masa kini hanya mewujud dalam upacara-upacara sebagai formalitas, sungguh ia tinggal menjadi kata tanpa makna.
Masih segar ingatan kita, betapa "prestasi" bangsa ini dalam bidang korupsi masih menjadi "rekor" tersendiri. Tahun 2008, Indonesia menempati peringkat 5 negara terkorup sedunia. Dari 146 negara, Indonesia hanya kalah korup dibandingkan Cameroon, Cambodia, Kosovo dan Pakistan. Bagaimana di tahun 2010 ini? Survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) Maret lalu, Indonesia menempati urutan teratas dalam daftar negara paling korup di antara 16 negara tujuan investasi di Asia Pasifik.
Korupsi ini kemudian menjadi penghambat pemerataan kesejahteraan. Ketimpanganlah yang akhirnya kita dapati di negeri ini. Ada orang-orang kaya yang sangat kaya. Namun terlalu banyak orang miskin yang terlalu miskin. Angka kemiskinan di tahun 2010 ini diperkirakan mencapai 32,7 juta orang. Kita tidak akan repot menemukan orang-orang seperti mereka. Tengok saja tetangga kita, atau bahkan kita sendiri. Sebab mereka tersebar di seluruh penjuru negeri ini. Termasuk di ibukota. Di pinggir-pinggir kota. Di seluruh desa ada yang termasuk bagian dari mereka. Mata kita tidak bisa menghindar, karena sebagian mereka menyebar. Ada yang mahrum memang. Orang-orang yang terhormat dalam kemiskinannya, tidak pernah meminta-minta. Namun banyak juga yang terjun ke jalan-jalan, lampu merah, atau dari rumah ke rumah.
Lalu apa yang kita banggakan dengan pendidikan kita yang untuk mencetak pelajar cerdas yang lulus UN dengan jujur saja sulit? Sedangkan di negara maju pendidikan sudah jauh meninggalkan persoalan seperti itu. Bukan lagi bicara lulus atau tidak lulus, tetapi bicara apa karya alumni tahun ini? Bukan lagi bicara nilai tapi bicara prestasi dan inovasi. Maka wisuda dari perguruan tinggi bagi mereka adalah simbol lahirnya enterprenuer baru atau para profesional muda. Hasilnya adalah kemajuan teknologi yang mereka pasarkan untuk kita konsumsi dengan begitu bangganya. Jepang adalah contohnya. Saat kita belum selesai mempelajari cara penggunaan produk baru mereka, mereka sudah me-launching produk lebih baru temuan mereka. Kita menjadi gagap. Menatap masa depan yang masih gelap.
Padahal negeri ini mayoritas muslim. Mengapa bisa terjadi demikian? Bukankah mayoritas penduduk negeri ini memiliki warisan iqra' sebagai wahyu pertama yang tetap dihafal hingga kini? Justru di sinilah titik terlemahnya.
Kita tidak membudayakan iqra' itu. Sementara Rasulullah saat mendapat wahyu itu menjawab tiga kali "maa ana biqari'" namun membaca alam dan fenomena sosial adalah keahlian beliau. Beliau yang paling ahli. Lalu para sahabat menjadi para pembelajar yang mengubah sejarah Arab. Generasi sesudah mereka, ketika teknik pembuatan kertas dikenalkan oleh orang-orang China, menjadi semakin akseleratif dalam pembelajaran. Buku-buku Islam segera cepat menyebar. Generasi Islam menjadi generasi iqra'. Yang demikian rakus terhadap ilmu. Tidak lebih dari dua abad setelah datangnya Islam, industri buku maju pesat sedemikian rupa. Perpustakaan-perpustakaan besar juga banyak berdiri dengan ribuan buku koleksi.
Lihatlah mereka yang menjadi cermin generasinya. Ibnu Katsir menceritakan tentang Imam Bukhari, "Pada suatu malam ia bangun dari tidurnya. Setelah menyalakan lampu, ia menulis apa saja yang terlintas dalam pikirannya. Kemudian beberapa saat setelah memadamkan lampu, ia bangun lagi untuk menulis. Begitu yang terjadi berulang-ulang hingga hampir dua puluh kali."
Imam Nawawi juga demikian giat mempelopori budaya iqra'. Ia menjadi penuntut ilmu yang sangat luar biasa. "Selama dua tahun," katanya menceritakan perjuangan keilmuannya, "aku tidak sempat meletakkan lambungku di lantai."
Bahkan Ibnu Taimiyah tak ingin kehilangan sedikit pun waktunya kecuali dalam budaya iqra'. Anaknya menceritakan kepada cucunya, "Kakekmu kalau masuk ke dalam jamban ia berkata kepadaku, 'Bacalah olehmu buku ini dengan suara keras agar aku bisa mendengarnya dari dalam'"
Budaya iqra', budaya membaca, jika dimiliki oleh umat Islam yang menjadi penduduk terbesar di Indonesia, akan menjadi saham kebangkitan nasional di era modern ini. Sebagaimana sejarah Islam yang mencapai kemajuannya bersamaan dengan majunya ilmu dan budaya membaca, Indonesia juga bisa melakukan hal yang sama. Budaya iqra' secara pasti akan meningkatkan pengetahuan umat. Kuasa pengetahuan ini akan membawa umat menjadi lebih kompeten dalam mengelola kekayaan alamnya, juga mengembangkan ekonominya dengan berbagai cara. Jadi, jaminan kemajuan ekonomi dan teknologi ada di sana.
Lalu bagaimana dengan korupsi yang disinggung di awal tulisan ini? Apa korelasinya dengan budaya iqra'? Sepintas memang tidak ada. Apalagi jika sejak awal kita telah mempersepsikan bahwa para koruptor adalah berasal dari kalangan terdidik. Namun, budaya iqra, budaya membaca yang menghasilkan pengetahuan juga akan berpengaruh pada kepribadian. Kepribadian positif juga lahir dari bacaan yang positif. Seperti tetes air yang lambat laun bisa melubangi batu, seringnya membaca petunjuk ilahiyah, nilai-nila kemanusiaan, dan ide-ide positif yang terkandung dalam berbagai buku akan juga mempengaruhi sikap dan cara pandang seseorang.
Pertanyaan akhirnya: sudahkah kita mulai membiasakan budaya iqra', membaca buku? Memulainya di hari kebangkitan nasional ini tampaknya akan menjadi sejarah tersendiri, kalaupun belum bagi bangsa ini, setidaknya bagi Anda. [Muchlisin]
Masih segar ingatan kita, betapa "prestasi" bangsa ini dalam bidang korupsi masih menjadi "rekor" tersendiri. Tahun 2008, Indonesia menempati peringkat 5 negara terkorup sedunia. Dari 146 negara, Indonesia hanya kalah korup dibandingkan Cameroon, Cambodia, Kosovo dan Pakistan. Bagaimana di tahun 2010 ini? Survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) Maret lalu, Indonesia menempati urutan teratas dalam daftar negara paling korup di antara 16 negara tujuan investasi di Asia Pasifik.
Korupsi ini kemudian menjadi penghambat pemerataan kesejahteraan. Ketimpanganlah yang akhirnya kita dapati di negeri ini. Ada orang-orang kaya yang sangat kaya. Namun terlalu banyak orang miskin yang terlalu miskin. Angka kemiskinan di tahun 2010 ini diperkirakan mencapai 32,7 juta orang. Kita tidak akan repot menemukan orang-orang seperti mereka. Tengok saja tetangga kita, atau bahkan kita sendiri. Sebab mereka tersebar di seluruh penjuru negeri ini. Termasuk di ibukota. Di pinggir-pinggir kota. Di seluruh desa ada yang termasuk bagian dari mereka. Mata kita tidak bisa menghindar, karena sebagian mereka menyebar. Ada yang mahrum memang. Orang-orang yang terhormat dalam kemiskinannya, tidak pernah meminta-minta. Namun banyak juga yang terjun ke jalan-jalan, lampu merah, atau dari rumah ke rumah.
Lalu apa yang kita banggakan dengan pendidikan kita yang untuk mencetak pelajar cerdas yang lulus UN dengan jujur saja sulit? Sedangkan di negara maju pendidikan sudah jauh meninggalkan persoalan seperti itu. Bukan lagi bicara lulus atau tidak lulus, tetapi bicara apa karya alumni tahun ini? Bukan lagi bicara nilai tapi bicara prestasi dan inovasi. Maka wisuda dari perguruan tinggi bagi mereka adalah simbol lahirnya enterprenuer baru atau para profesional muda. Hasilnya adalah kemajuan teknologi yang mereka pasarkan untuk kita konsumsi dengan begitu bangganya. Jepang adalah contohnya. Saat kita belum selesai mempelajari cara penggunaan produk baru mereka, mereka sudah me-launching produk lebih baru temuan mereka. Kita menjadi gagap. Menatap masa depan yang masih gelap.
Padahal negeri ini mayoritas muslim. Mengapa bisa terjadi demikian? Bukankah mayoritas penduduk negeri ini memiliki warisan iqra' sebagai wahyu pertama yang tetap dihafal hingga kini? Justru di sinilah titik terlemahnya.
Kita tidak membudayakan iqra' itu. Sementara Rasulullah saat mendapat wahyu itu menjawab tiga kali "maa ana biqari'" namun membaca alam dan fenomena sosial adalah keahlian beliau. Beliau yang paling ahli. Lalu para sahabat menjadi para pembelajar yang mengubah sejarah Arab. Generasi sesudah mereka, ketika teknik pembuatan kertas dikenalkan oleh orang-orang China, menjadi semakin akseleratif dalam pembelajaran. Buku-buku Islam segera cepat menyebar. Generasi Islam menjadi generasi iqra'. Yang demikian rakus terhadap ilmu. Tidak lebih dari dua abad setelah datangnya Islam, industri buku maju pesat sedemikian rupa. Perpustakaan-perpustakaan besar juga banyak berdiri dengan ribuan buku koleksi.
Lihatlah mereka yang menjadi cermin generasinya. Ibnu Katsir menceritakan tentang Imam Bukhari, "Pada suatu malam ia bangun dari tidurnya. Setelah menyalakan lampu, ia menulis apa saja yang terlintas dalam pikirannya. Kemudian beberapa saat setelah memadamkan lampu, ia bangun lagi untuk menulis. Begitu yang terjadi berulang-ulang hingga hampir dua puluh kali."
Imam Nawawi juga demikian giat mempelopori budaya iqra'. Ia menjadi penuntut ilmu yang sangat luar biasa. "Selama dua tahun," katanya menceritakan perjuangan keilmuannya, "aku tidak sempat meletakkan lambungku di lantai."
Bahkan Ibnu Taimiyah tak ingin kehilangan sedikit pun waktunya kecuali dalam budaya iqra'. Anaknya menceritakan kepada cucunya, "Kakekmu kalau masuk ke dalam jamban ia berkata kepadaku, 'Bacalah olehmu buku ini dengan suara keras agar aku bisa mendengarnya dari dalam'"
Budaya iqra', budaya membaca, jika dimiliki oleh umat Islam yang menjadi penduduk terbesar di Indonesia, akan menjadi saham kebangkitan nasional di era modern ini. Sebagaimana sejarah Islam yang mencapai kemajuannya bersamaan dengan majunya ilmu dan budaya membaca, Indonesia juga bisa melakukan hal yang sama. Budaya iqra' secara pasti akan meningkatkan pengetahuan umat. Kuasa pengetahuan ini akan membawa umat menjadi lebih kompeten dalam mengelola kekayaan alamnya, juga mengembangkan ekonominya dengan berbagai cara. Jadi, jaminan kemajuan ekonomi dan teknologi ada di sana.
Lalu bagaimana dengan korupsi yang disinggung di awal tulisan ini? Apa korelasinya dengan budaya iqra'? Sepintas memang tidak ada. Apalagi jika sejak awal kita telah mempersepsikan bahwa para koruptor adalah berasal dari kalangan terdidik. Namun, budaya iqra, budaya membaca yang menghasilkan pengetahuan juga akan berpengaruh pada kepribadian. Kepribadian positif juga lahir dari bacaan yang positif. Seperti tetes air yang lambat laun bisa melubangi batu, seringnya membaca petunjuk ilahiyah, nilai-nila kemanusiaan, dan ide-ide positif yang terkandung dalam berbagai buku akan juga mempengaruhi sikap dan cara pandang seseorang.
Pertanyaan akhirnya: sudahkah kita mulai membiasakan budaya iqra', membaca buku? Memulainya di hari kebangkitan nasional ini tampaknya akan menjadi sejarah tersendiri, kalaupun belum bagi bangsa ini, setidaknya bagi Anda. [Muchlisin]