Wakil gubernur yang saat itu mengisi ceramah mendoakan: "Ibu-ibu yang mendengarkan ceramah ini saya doakan masuk surga, berkumpul denga...
Wakil gubernur yang saat itu mengisi ceramah mendoakan: "Ibu-ibu yang mendengarkan ceramah ini saya doakan masuk surga, berkumpul dengan suami-suaminya di sana." "Amiin", jawab ibu-ibu serempak.
Kini wakil gubernur itu menghadapkan wajahnya ke audien laki-laki. "Bapak-bapak yang hadir di sini saya doakan masuk surga, berkumpul dengan istri-istrinya di sana." Diam. Tak ada amin. Wakil gubernur itu tahu apa maksud para lelaki. Ia pun berkata sambil tersenyum: "Mengapa bapak-bapak tidak menjawab amiin? Bukan karena bapak-bapak tidak mau masuk surga, tetapi tidak mau ketemu istrinya lagi. Maunya ketemu bidadari saja. Iya tidak?" kontan suasana jadi ger-geran oleh tawa bapak-bapak, di samping agak riuh oleh komentar masing-masing lelaki pada teman sebelahnya.
Peristiwa yang terjadi pada tanggal 23 Juni 2010 itu bukan hanya menyiratkan kesetiaan istri yang pada umumnya lebih tinggi dari kesetiaan suami. Hasil survey yang dirilis di Kompas pada tanggal 6 April 2010, misalnya. Ketidaksetiaan suami dibanding istri adalah 40 berbanding 25.
Lebih dari itu, peristiwa di atas menggambarkan betapa kita sering berpikir tentang akhirat dengan logika dunia. Bahwa kenikmatan di akhirat kita pahami seperti kenikmatan di dunia. Sehingga ketika para suami mendapatkan keterangan tentang bidadari, misalnya dalam riwayat Bukhari: "Seandainya salah seorang bidadari surga menampakkan dirinya kepada penduduk bumi, niscaya cahaya tubuh dan keharuman baunya akan memenuhi ruang antara langit dan bumi, serta kerudung rambutnya lebih indah dari dunia seisinya." Ia kemudian berpikir untuk tidak lagi melirik istrinya dan lebih memilih bidadari.
Lalu akal manusia pun membawa hadits-hadits lain tentang kenikmatan akhirat dengan logika yang sama: logika dunia. Sampai-sampai dalam kebahagiaan akhirat itu tersimpulkan ketidakadilan. Na'udzubillah. Misalnya ketika mendengar lelaki yang masuk surga mendapatkan bidadari. Timbul pertanyaan, bagaimana dengan muslimah yang masuk surga? Apakah mendapat bidadara? (istilah 'memaksa' untuk lawan jenis bidadari). Jika tidak bukankah tidak adil? Lagi-lagi logika dunia akan membawa kesimpulan yang salah. Logika dunia berlaku di sini, namun akhirat memiliki logikanya sendiri.
Mengakhiri renungan singkat ini, simaklah hadits keutamaan wanita muslimah atas bidadari yang dituturkan oleh Ummu Salamah:
Aku bertanya, "Ya Rasulullah, manakah yang lebih utama, wanita dunia ataukah bidadari yang bermata jeli?" Beliau menjawab, "Wanita-wanita dunia lebih utama daripada bidadari-bidadari seperti kelebihan apa yang nampak dari apa yang tidak nampak. Aku bertanya lagi, "Mengapa wanita-wanita dunia lebih utama daripada bidadari?" Beliau menjawab, "Karena shalat mereka, puasa dan ibadah mereka kepada Allah. Allah meletakkan cahaya di wajah mereka, tubuh mereka adalah kain sutera, kulitnya putih bersih, pakaiannya berwarna hijau, perhiasannya kekuningan, sanggulnya mutiara, dan sisirnya terbuat dari emas. Mereka berkata, 'kami hiduo abadi dan tidak mati. Kami lemah lembut dan tidak jahat sama sekali. Kami selalu mendampingi dan tidak beranjak sama sekali. Kami ridha dan tak pernah bersungut-sungut sama sekali. Berbahagialah orang yang memiliki kami dan kami memilikinya.'" (HR. Thabrani)
Hadits di atas, semoga saja tidak hanya mengubah persepsi suami terhadap istrinya, namun juga memotivasi para istri karena kedudukan mereka lebih mulia daripada bidadari tatkala mereka dimasukkan Allah ke dalam surga-Nya. Wallaahu a'lam bish shawab. [Muchlisin]
Kini wakil gubernur itu menghadapkan wajahnya ke audien laki-laki. "Bapak-bapak yang hadir di sini saya doakan masuk surga, berkumpul dengan istri-istrinya di sana." Diam. Tak ada amin. Wakil gubernur itu tahu apa maksud para lelaki. Ia pun berkata sambil tersenyum: "Mengapa bapak-bapak tidak menjawab amiin? Bukan karena bapak-bapak tidak mau masuk surga, tetapi tidak mau ketemu istrinya lagi. Maunya ketemu bidadari saja. Iya tidak?" kontan suasana jadi ger-geran oleh tawa bapak-bapak, di samping agak riuh oleh komentar masing-masing lelaki pada teman sebelahnya.
Peristiwa yang terjadi pada tanggal 23 Juni 2010 itu bukan hanya menyiratkan kesetiaan istri yang pada umumnya lebih tinggi dari kesetiaan suami. Hasil survey yang dirilis di Kompas pada tanggal 6 April 2010, misalnya. Ketidaksetiaan suami dibanding istri adalah 40 berbanding 25.
Lebih dari itu, peristiwa di atas menggambarkan betapa kita sering berpikir tentang akhirat dengan logika dunia. Bahwa kenikmatan di akhirat kita pahami seperti kenikmatan di dunia. Sehingga ketika para suami mendapatkan keterangan tentang bidadari, misalnya dalam riwayat Bukhari: "Seandainya salah seorang bidadari surga menampakkan dirinya kepada penduduk bumi, niscaya cahaya tubuh dan keharuman baunya akan memenuhi ruang antara langit dan bumi, serta kerudung rambutnya lebih indah dari dunia seisinya." Ia kemudian berpikir untuk tidak lagi melirik istrinya dan lebih memilih bidadari.
Lalu akal manusia pun membawa hadits-hadits lain tentang kenikmatan akhirat dengan logika yang sama: logika dunia. Sampai-sampai dalam kebahagiaan akhirat itu tersimpulkan ketidakadilan. Na'udzubillah. Misalnya ketika mendengar lelaki yang masuk surga mendapatkan bidadari. Timbul pertanyaan, bagaimana dengan muslimah yang masuk surga? Apakah mendapat bidadara? (istilah 'memaksa' untuk lawan jenis bidadari). Jika tidak bukankah tidak adil? Lagi-lagi logika dunia akan membawa kesimpulan yang salah. Logika dunia berlaku di sini, namun akhirat memiliki logikanya sendiri.
Mengakhiri renungan singkat ini, simaklah hadits keutamaan wanita muslimah atas bidadari yang dituturkan oleh Ummu Salamah:
Aku bertanya, "Ya Rasulullah, manakah yang lebih utama, wanita dunia ataukah bidadari yang bermata jeli?" Beliau menjawab, "Wanita-wanita dunia lebih utama daripada bidadari-bidadari seperti kelebihan apa yang nampak dari apa yang tidak nampak. Aku bertanya lagi, "Mengapa wanita-wanita dunia lebih utama daripada bidadari?" Beliau menjawab, "Karena shalat mereka, puasa dan ibadah mereka kepada Allah. Allah meletakkan cahaya di wajah mereka, tubuh mereka adalah kain sutera, kulitnya putih bersih, pakaiannya berwarna hijau, perhiasannya kekuningan, sanggulnya mutiara, dan sisirnya terbuat dari emas. Mereka berkata, 'kami hiduo abadi dan tidak mati. Kami lemah lembut dan tidak jahat sama sekali. Kami selalu mendampingi dan tidak beranjak sama sekali. Kami ridha dan tak pernah bersungut-sungut sama sekali. Berbahagialah orang yang memiliki kami dan kami memilikinya.'" (HR. Thabrani)
Hadits di atas, semoga saja tidak hanya mengubah persepsi suami terhadap istrinya, namun juga memotivasi para istri karena kedudukan mereka lebih mulia daripada bidadari tatkala mereka dimasukkan Allah ke dalam surga-Nya. Wallaahu a'lam bish shawab. [Muchlisin]