Banyak yang tahu sejarah Umar bin Khatab dan Khalid bin Walid. Tetapi tidak banyak yang tahu bahwa Khalid bin Walid pernah membanting Umar b...
Banyak yang tahu sejarah Umar bin Khatab dan Khalid bin Walid. Tetapi tidak banyak yang tahu bahwa Khalid bin Walid pernah membanting Umar bin Khatab dalam gulat hingga kakinya cedera.
Kita mungkin terkejut karena dalam persepsi kita Umar bin Khatab lebih kuat daripada Khalid bin Walid. Persepsi itu tidak salah. Lalu bagaimana Khalid bin Walid mengalahkan Umar bin Khatab? Itu terjadi saat mereka masih remaja. 10 tahunan. Usia Khalid bin Walid dan Umar bin Khatab memang tidak terpaut jauh. Selain masih ada ikatan keluarga, mereka kawan sepermainan. Dan cara bermain remaja Arab kala itu tidak sama dengan permainan anak-anak kita. Sejak kecil mereka telah belajar menjadi lelaki! Kekuatan fisik dan keahlian perang yang ketika itu menjadi top life skill juga mewujud dalam permainan mereka. Salah satunya adalah gulat itu. Nah, saat Khalid berhasil membanting Umar, Khalid sendiri kemudian ketakutan. Sebab kaki Umar cedera berhari-hari. Untungnya cedera itu bisa sembuh.
Apa hubungannya dengan semangat pemuda kebijaksanaan kaum tua (حماسة الشباب وحكمة الشيوخ) ? Ternyata latihan sejak kecil itu menjadikan para pemuda memiliki semangat (hamasah) yang luar biasa. Hamasah ini ada pada Khalid. Hamasah ini ada pada Umar. Dan hamasah para pemuda adalah satu diantara dua kunci kesuksesan sebuah gerakan (harakah).
Hamasah yang menggelora ini melahirkan keberanian dan melipatgandakan kekuatan. Sebab kekuatan tanpa keberanian akan selamanya bersembunyi dalam diam. Kekuatan tanpa keberanian juga membuat gerakan menjadi lamban, dan tiba-tiba momentum berlalu tak termanfaatkan. Hamasah pemuda yang melahirkan keberanian dan melipatgandakan kekuatan tertoreh mulia dalam perang Badar. Ali bin Abu Thalib yang saat itu masih berusia 25 tahun menjadi bintang lapangan. Ia berhasil membunuh 18 orang musuh, dari total 70 pasukan kafir Quraisy yang terbunuh. Muhammad Al-Fatih yang berhasil memimpin pasukan memfutuhkan Konstantinopel juga masih sangat muda. Sekitar 23 tahun.
Lalu hamasah yang melahirkan akselerasi gerakan atau mendorong keputusan cepat -just in time- bisa kita lihat pada tahun 1945. Atas desakan para pemudalah jika akhirnya kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus tahun itu. Dan atas desakan pemuda-pemuda Ikhwanul Muslimin pimpinan Hasan Al-Banna lah jika kemudian Mesir menjadi negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia. Setelah itu mengalirlah pengakuan dari berbagai negara di dunia.
Pemuda harus memiliki hamasah. Dan dengan hamasah para pemuda, harakah menjadi lebih berani dan lebih akseleratif. Namun harakah juga memerukan kunci kedua. Ibarat sebuah perjalanan, harakah tidak hanya melalui jalan lurus bebas hambatan yang menghajatkan kecepatan dan keberanian an sich. Jalan ini justru seringkali bertemu dengan tikungan, hambatan, dan persimpangan. Menghadapi tikungan kita memerlukan rem untuk mengontrol kecepatan agar tidak menikung terlalu lebar dan keluar jalan atau bahkan masuk jurang. Ketika ada hambatan perlu kehati-hatian agar tidak menabrak atau ditabrak. Ketika di depan ada persimpangan perlu kebijaksanaan mengambil jalan yang mana agar sesuai dengan tujuan. Tiga peran ini membutuhkan hikmatusy syuyukh, kebijaksanaan kaum tua.
Kaidah حماسة الشباب وحكمة الشيوخ ini bukan berarti membatasi bahwa pemuda itu tidak bijaksana atau kaum tua tidak semangat. Terlalu banyak contoh orang-orang yang memiliki keduanya. Pemuda yang memiliki hamasah dsekaligus hikmah misalnya Ali bin Abu Thalib. Julukan "gudang ilmu" yang diperolehnya menunjukkan betapa bijaksananya pemuda pemberani ini. Sedangkan Rasulullah di masa tua, beliau tetap memiliki hamasah yang luar biasa di samping kebijaksanaannya yang tiada tara.
Yang menjadi persoalan adalah jika hilang dua-duanya dari dalam diri kita. Hamasah tidak ada, hikmah juga tidak ada. Kita khawatir telah ada indikasi itu dalam sebagian organ kita. Jika Anda mengetahui sekelompok pemuda yang produktifitas amalnya belum kelihatan seringkali saat mengundang Ustadz-ustadz sepuh meminta taujih. Ketika ustadz bertanya: "Tema taujihnya apa akhi?", dijawab: "Yang penting taujih yang membuat kita semangat Ustadz!". Jika indikasi ini benar bahwa pemuda telah kehilangan hamasah, lalu apa yang tersisa? Wallaahu a'lam bish shawab. [Muchlisin]
Kita mungkin terkejut karena dalam persepsi kita Umar bin Khatab lebih kuat daripada Khalid bin Walid. Persepsi itu tidak salah. Lalu bagaimana Khalid bin Walid mengalahkan Umar bin Khatab? Itu terjadi saat mereka masih remaja. 10 tahunan. Usia Khalid bin Walid dan Umar bin Khatab memang tidak terpaut jauh. Selain masih ada ikatan keluarga, mereka kawan sepermainan. Dan cara bermain remaja Arab kala itu tidak sama dengan permainan anak-anak kita. Sejak kecil mereka telah belajar menjadi lelaki! Kekuatan fisik dan keahlian perang yang ketika itu menjadi top life skill juga mewujud dalam permainan mereka. Salah satunya adalah gulat itu. Nah, saat Khalid berhasil membanting Umar, Khalid sendiri kemudian ketakutan. Sebab kaki Umar cedera berhari-hari. Untungnya cedera itu bisa sembuh.
Apa hubungannya dengan semangat pemuda kebijaksanaan kaum tua (حماسة الشباب وحكمة الشيوخ) ? Ternyata latihan sejak kecil itu menjadikan para pemuda memiliki semangat (hamasah) yang luar biasa. Hamasah ini ada pada Khalid. Hamasah ini ada pada Umar. Dan hamasah para pemuda adalah satu diantara dua kunci kesuksesan sebuah gerakan (harakah).
Hamasah yang menggelora ini melahirkan keberanian dan melipatgandakan kekuatan. Sebab kekuatan tanpa keberanian akan selamanya bersembunyi dalam diam. Kekuatan tanpa keberanian juga membuat gerakan menjadi lamban, dan tiba-tiba momentum berlalu tak termanfaatkan. Hamasah pemuda yang melahirkan keberanian dan melipatgandakan kekuatan tertoreh mulia dalam perang Badar. Ali bin Abu Thalib yang saat itu masih berusia 25 tahun menjadi bintang lapangan. Ia berhasil membunuh 18 orang musuh, dari total 70 pasukan kafir Quraisy yang terbunuh. Muhammad Al-Fatih yang berhasil memimpin pasukan memfutuhkan Konstantinopel juga masih sangat muda. Sekitar 23 tahun.
Lalu hamasah yang melahirkan akselerasi gerakan atau mendorong keputusan cepat -just in time- bisa kita lihat pada tahun 1945. Atas desakan para pemudalah jika akhirnya kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus tahun itu. Dan atas desakan pemuda-pemuda Ikhwanul Muslimin pimpinan Hasan Al-Banna lah jika kemudian Mesir menjadi negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia. Setelah itu mengalirlah pengakuan dari berbagai negara di dunia.
Pemuda harus memiliki hamasah. Dan dengan hamasah para pemuda, harakah menjadi lebih berani dan lebih akseleratif. Namun harakah juga memerukan kunci kedua. Ibarat sebuah perjalanan, harakah tidak hanya melalui jalan lurus bebas hambatan yang menghajatkan kecepatan dan keberanian an sich. Jalan ini justru seringkali bertemu dengan tikungan, hambatan, dan persimpangan. Menghadapi tikungan kita memerlukan rem untuk mengontrol kecepatan agar tidak menikung terlalu lebar dan keluar jalan atau bahkan masuk jurang. Ketika ada hambatan perlu kehati-hatian agar tidak menabrak atau ditabrak. Ketika di depan ada persimpangan perlu kebijaksanaan mengambil jalan yang mana agar sesuai dengan tujuan. Tiga peran ini membutuhkan hikmatusy syuyukh, kebijaksanaan kaum tua.
Kaidah حماسة الشباب وحكمة الشيوخ ini bukan berarti membatasi bahwa pemuda itu tidak bijaksana atau kaum tua tidak semangat. Terlalu banyak contoh orang-orang yang memiliki keduanya. Pemuda yang memiliki hamasah dsekaligus hikmah misalnya Ali bin Abu Thalib. Julukan "gudang ilmu" yang diperolehnya menunjukkan betapa bijaksananya pemuda pemberani ini. Sedangkan Rasulullah di masa tua, beliau tetap memiliki hamasah yang luar biasa di samping kebijaksanaannya yang tiada tara.
Yang menjadi persoalan adalah jika hilang dua-duanya dari dalam diri kita. Hamasah tidak ada, hikmah juga tidak ada. Kita khawatir telah ada indikasi itu dalam sebagian organ kita. Jika Anda mengetahui sekelompok pemuda yang produktifitas amalnya belum kelihatan seringkali saat mengundang Ustadz-ustadz sepuh meminta taujih. Ketika ustadz bertanya: "Tema taujihnya apa akhi?", dijawab: "Yang penting taujih yang membuat kita semangat Ustadz!". Jika indikasi ini benar bahwa pemuda telah kehilangan hamasah, lalu apa yang tersisa? Wallaahu a'lam bish shawab. [Muchlisin]