Akhir Sya'ban 773 H. Seorang bayi mungil lahir di pinggiran sungai Nil. Saat itu tak ada yang tahu bahwa kelak ia tumbuh menjadi ulama k...
Akhir Sya'ban 773 H. Seorang bayi mungil lahir di pinggiran sungai Nil. Saat itu tak ada yang tahu bahwa kelak ia tumbuh menjadi ulama kenamaan, hingga gelar al-hafidz dan syaikhul Islam pun disandangnya.
Pada usia empat tahun, ayahnya meninggal. Genaplah ia menjadi yatim piatu. Menjalani masa kanak-kanak tanpa perhatian dari Az-Zaki Al-Khurabi yang diamanahi sebagai pengasuh, menjadikannya sengsara dan tak mengenal kasih sayang.
Jika kemudian ia tumbuh menjadi remaja berilmu, itu adalah saham guru-gurunya. Namun memasukkan anak ini ke maktab untuk bertemu guru-gurunya, adalah kebaikan Az-Zaki. Kebaikannya ini barangkali telah menghapus kesalahannya; tidak memberi asupan perhatian dan kasih sayang meskipun ia adalah kakak tertua.
Banyak orang yang dalam hidupnya bertemu guru-guru istimewa, namun ia tak mampu menyerap ilmu mereka sebagaimana bejana yang tak pernah sanggup menampung isi telaga seluruhnya. Tapi tidak begitu dengan remaja shalih ini. Ia sangat serius menimba ilmu dari sang guru. Memahami setiap ajaran mereka. Sungguh-sungguh menginternalisasikan nasehat dan arahan syaikh-syaikhnya yang mulia. Menelaah dan berupaya mengamalkan segala kebaikan yang telah ditunjukkan padanya. Maka remaja ini pun sudah ditunjuk menjadi imam Masjidil Haram di saat usianya baru 15 tahun.
Tidak berhenti di situ. Perjalanan keilmuannya dilanjutkan dengan berguru pada ulama-ulama di Mesir. Lalu ia mengkaji semua buku-buku berharga yang didapatnya. Jadilah ia lautan ilmu. Karya-karyanya demikian banyak jumlahnya. Bahkan bila dibandingkan dengan apa yang kita baca. Hingga banyak orang berkata kepada orang yang mengoleksi karya-karyanya: kapan kamu membaca itu semua? Namun orang itu bisa balik bertanya: Kapan ulama' hebat ini menulis semuanya?
Jumlah dan kualitas karyanya memang mempesona. Namun karya monumentalnya justru adalah juga tulisan paling tebal dari kitab-kitabnya yang lain. Itulah penjelasan hadits shahih Bukhari yang diberinya judul Fathul Bari. Maka para ulama sezaman dan sesudahnya berkata: "Laa hijrata ba'dal fathi". Itu adalah matan hadits. Artinya, tidak ada hijrah lagi (ke Makkah) sesudah Fathu Makkah. Namun para ulama memaksudkan perkataan itu menjadi bermakna: tak perlu menoleh ke kitab lain sesudah ada Fathul Bari. Luar biasa. Ulama itu tidak lain adalah Ibnu Hajar Al-Asqalani.
Kita mungkin pernah mengalami hal serupa dengan Ibnu Hajar. Kesempatan bertemu guru-guru hebat atau kemudahan mengakses buku-buku bermutu. Namun kita tidak terlalu bersungguh-sungguh untuk memanfaatkan kesempatan itu. Guru yang hebat kita banggakan, namun pelajarannya yang luar biasa tak sungguh-sungguh kita cerna. Buku yang hebat mungkin telah menjadi koleksi kita, namun kita tak sungguh-sungguh membacanya, mengkaji, dan mengamalkannya.
Man jadda wajada! Pepatah Arab itu sungguh tepat. Siapa yang sungguh-sungguh ia akan berhasil. Selain mendapatkan pijakan kebenaran dengan surat Ar'Ra'du ayat 11, fakta historis membuktikan kebenaran pepatah ini. Ia berlaku bagi bangsa, institusi, organisasi, maupun individu. Untuk yang disebutkan terakhir ini, Ibnu Hajar adalah buktinya!
Orang yang tidak sungguh-sungguh mencapai kesuksesan, ia akan sibuk dengan berbagai alasan yang menjadi penghalang. Hingga setiap kesempatan yang datang akan terabaikan. Jika saja Ibnu Hajar bertipe seperti ini, mungkin ia akan menyalahkan kakaknya Az-Zaki, atau mengeluhkan keyatim-piatuannya. Namun ia berhasil melewatkan hambatan itu begitu saja. Ia lebih concern pada guru-guru yang ditemuinya dan ilmu yang ditekuninya.
Man jadda wajada! Maka lihatlah diri kita. Fisik yang sempurna. Bekal kecerdasan yang telah ada: bisa membaca, bisa berpikir, bisa merenung dan menganalisa. Bukankah itu bekal yang luar biasa. Lalu lihatlah ke sekeliling kita: betapa banyaknya fasilitas yang memudahkan kita. Ada guru, murabbi, ulama. Ada buku, ada kitab-kitab. Bahkan ada internet yang dengan mudah dan cepat menyajikan beragam informasi yang kita ingini. Jika ilmu kita tak kunjung meningkat, bisa dipastikan karena ketidaksungguhan kita.
Man jadda wajada! Renungkanlah kesempatan bertumbuh kita. Sarana sukses ternyata da di sekeliling kita. Tinggal kita bersungguh-sungguh untuk selalu bangkit dari kegagalan dan tetap berusaha atau cepat menyerah dan mengaku kalah. Tak lagi ada penghalang antara cita-cita dengan diri kita kecuali ketidaksungguhan.
Man jadda wajada! Allah juga telah menghamparkan berbagai nikmat-Nya pada kita hingga setiap orang berpeluang semakin dekat dengan-Nya. Muhasabah tak pernah dikenakan biaya. Shalat malam tetap gratis dan siapapun bisa menikmatinya. Tak perlu membayar untuk berpuasa. Berdzikir pun bisa kapan saja dan di mana saja. Allah membuka kran sederas-derasnya agar kita semua bisa menikmati kesejukan dan kedamaian dalam ridha-Nya: tidak peduli seberapa kaya atau seberapa miskin kita. Rahmat Ramadhan juga digelar seluas-luasnya kepada kita. Hingga malaikat mengingatkan: Siapa yang bertemu Ramadhan namun tidak diampuni dosanya, rugilah ia! Apalagi yang menghalangi kita selain ketidaksungguhan. Man jadda wajada. [Muchlisin]
Pada usia empat tahun, ayahnya meninggal. Genaplah ia menjadi yatim piatu. Menjalani masa kanak-kanak tanpa perhatian dari Az-Zaki Al-Khurabi yang diamanahi sebagai pengasuh, menjadikannya sengsara dan tak mengenal kasih sayang.
Jika kemudian ia tumbuh menjadi remaja berilmu, itu adalah saham guru-gurunya. Namun memasukkan anak ini ke maktab untuk bertemu guru-gurunya, adalah kebaikan Az-Zaki. Kebaikannya ini barangkali telah menghapus kesalahannya; tidak memberi asupan perhatian dan kasih sayang meskipun ia adalah kakak tertua.
Banyak orang yang dalam hidupnya bertemu guru-guru istimewa, namun ia tak mampu menyerap ilmu mereka sebagaimana bejana yang tak pernah sanggup menampung isi telaga seluruhnya. Tapi tidak begitu dengan remaja shalih ini. Ia sangat serius menimba ilmu dari sang guru. Memahami setiap ajaran mereka. Sungguh-sungguh menginternalisasikan nasehat dan arahan syaikh-syaikhnya yang mulia. Menelaah dan berupaya mengamalkan segala kebaikan yang telah ditunjukkan padanya. Maka remaja ini pun sudah ditunjuk menjadi imam Masjidil Haram di saat usianya baru 15 tahun.
Tidak berhenti di situ. Perjalanan keilmuannya dilanjutkan dengan berguru pada ulama-ulama di Mesir. Lalu ia mengkaji semua buku-buku berharga yang didapatnya. Jadilah ia lautan ilmu. Karya-karyanya demikian banyak jumlahnya. Bahkan bila dibandingkan dengan apa yang kita baca. Hingga banyak orang berkata kepada orang yang mengoleksi karya-karyanya: kapan kamu membaca itu semua? Namun orang itu bisa balik bertanya: Kapan ulama' hebat ini menulis semuanya?
Jumlah dan kualitas karyanya memang mempesona. Namun karya monumentalnya justru adalah juga tulisan paling tebal dari kitab-kitabnya yang lain. Itulah penjelasan hadits shahih Bukhari yang diberinya judul Fathul Bari. Maka para ulama sezaman dan sesudahnya berkata: "Laa hijrata ba'dal fathi". Itu adalah matan hadits. Artinya, tidak ada hijrah lagi (ke Makkah) sesudah Fathu Makkah. Namun para ulama memaksudkan perkataan itu menjadi bermakna: tak perlu menoleh ke kitab lain sesudah ada Fathul Bari. Luar biasa. Ulama itu tidak lain adalah Ibnu Hajar Al-Asqalani.
Kita mungkin pernah mengalami hal serupa dengan Ibnu Hajar. Kesempatan bertemu guru-guru hebat atau kemudahan mengakses buku-buku bermutu. Namun kita tidak terlalu bersungguh-sungguh untuk memanfaatkan kesempatan itu. Guru yang hebat kita banggakan, namun pelajarannya yang luar biasa tak sungguh-sungguh kita cerna. Buku yang hebat mungkin telah menjadi koleksi kita, namun kita tak sungguh-sungguh membacanya, mengkaji, dan mengamalkannya.
Man jadda wajada! Pepatah Arab itu sungguh tepat. Siapa yang sungguh-sungguh ia akan berhasil. Selain mendapatkan pijakan kebenaran dengan surat Ar'Ra'du ayat 11, fakta historis membuktikan kebenaran pepatah ini. Ia berlaku bagi bangsa, institusi, organisasi, maupun individu. Untuk yang disebutkan terakhir ini, Ibnu Hajar adalah buktinya!
Orang yang tidak sungguh-sungguh mencapai kesuksesan, ia akan sibuk dengan berbagai alasan yang menjadi penghalang. Hingga setiap kesempatan yang datang akan terabaikan. Jika saja Ibnu Hajar bertipe seperti ini, mungkin ia akan menyalahkan kakaknya Az-Zaki, atau mengeluhkan keyatim-piatuannya. Namun ia berhasil melewatkan hambatan itu begitu saja. Ia lebih concern pada guru-guru yang ditemuinya dan ilmu yang ditekuninya.
Man jadda wajada! Maka lihatlah diri kita. Fisik yang sempurna. Bekal kecerdasan yang telah ada: bisa membaca, bisa berpikir, bisa merenung dan menganalisa. Bukankah itu bekal yang luar biasa. Lalu lihatlah ke sekeliling kita: betapa banyaknya fasilitas yang memudahkan kita. Ada guru, murabbi, ulama. Ada buku, ada kitab-kitab. Bahkan ada internet yang dengan mudah dan cepat menyajikan beragam informasi yang kita ingini. Jika ilmu kita tak kunjung meningkat, bisa dipastikan karena ketidaksungguhan kita.
Man jadda wajada! Renungkanlah kesempatan bertumbuh kita. Sarana sukses ternyata da di sekeliling kita. Tinggal kita bersungguh-sungguh untuk selalu bangkit dari kegagalan dan tetap berusaha atau cepat menyerah dan mengaku kalah. Tak lagi ada penghalang antara cita-cita dengan diri kita kecuali ketidaksungguhan.
Man jadda wajada! Allah juga telah menghamparkan berbagai nikmat-Nya pada kita hingga setiap orang berpeluang semakin dekat dengan-Nya. Muhasabah tak pernah dikenakan biaya. Shalat malam tetap gratis dan siapapun bisa menikmatinya. Tak perlu membayar untuk berpuasa. Berdzikir pun bisa kapan saja dan di mana saja. Allah membuka kran sederas-derasnya agar kita semua bisa menikmati kesejukan dan kedamaian dalam ridha-Nya: tidak peduli seberapa kaya atau seberapa miskin kita. Rahmat Ramadhan juga digelar seluas-luasnya kepada kita. Hingga malaikat mengingatkan: Siapa yang bertemu Ramadhan namun tidak diampuni dosanya, rugilah ia! Apalagi yang menghalangi kita selain ketidaksungguhan. Man jadda wajada. [Muchlisin]