"Siapakah orang yang paling engkau cintai, wahai Rasulullah?" tanya seorang sahabat suatu ketika. "Aisyah", jawab Sang N...
"Siapakah orang yang paling engkau cintai, wahai Rasulullah?" tanya seorang sahabat suatu ketika. "Aisyah", jawab Sang Nabi. "Kalau dari kalangan laki-laki?" tanyanya lagi. "Ayahnya"
Tentang ayah Aisyah, kita telah mengetahui betapa cerdasnya ia. Bukan hanya soal kecerdasan iman yang tidak pernah dihinggapi keraguan. Selalu membenarkan apapun yang disampaikan Sang Nabi. Bukankah kecerdasan tertinggi ketika sudah memahami Muhammad adalah Rasulullah, maka segala hal yang disampaikannya dari Allah dan dijamin kebenarannya?! Maka ash-shidiq pun menjadi gelarnya.
Abu Bakar juga memiliki kecerdasan finansial yang luar biasa. Memperoleh kekayaan dengan mudah, dan menginfakkannya di jalan Allah dengan mudah. Tidak sulit baginya menggenggam harta, tetapi tidak pernah mengizinkan harta berdiam dalam jiwanya. Ia telah sukses menceraikan dunia dari hatinya. Hidup pun bebas dari ketakutan dan ketamakan. Jadilah ia kaya hati kaya materi.
Jika Abu Bakar adalah potret ideal kecerdasan finansial, Aisyah menjadi ikon kecerdasan intelektual. Dan keduanya adalah teladan sempurna dalam kecerdasan iman.
Selama ini kita mungkin akrab dengan popularitas Aisyah sebagai penghafal hadits. Itu salah satu bukti kecerdasannya. Ummul mukminin yang sering dipanggil Sang Nabi dengan humaira ini meriwayatkan 2.210 hadits. Ia hanya kalah dari Abu Hurairah yang meriwayatkan 5.374 hadits, Ibnu Umar dengan 2.630 hadits, dan Anas bin Malik 2.286 hadits.
Ketiga sahabat itu menjadi lebih banyak haditsnya karena memiliki kesempatan yang tidak dimiliki Aisyah. Abu Hurairah, misalnya, ia selalu mendampingi Rasulullah ke mana pun beliau pergi. Mulazamah, istilahnya. Sedangkan Aisyah tidak banyak bepergian bersama Sang Nabi. Hanya beberapa kali ketika beliau diajak. Biasanya yang kita ingat adalah saat perang Bani Musthaliq, dengan haditsul ifki yang menduka namun berakhir mulia.
Menjadi periwayat hadits berarti memiliki kekuatan hafalan yang luar biasa. Namun menjadi fuqaha di kalangan sahabat berarti memiliki daya ijtihad; menggenapi kekuatan hafalan dengan analisa, pengetahuan problematika umat secara kolektif maupun personal, dan kebijaksanaan ketika memilih jawaban yang paling tepat. Menjadi keduanya adalah gambaran kecerdasan tingkat tinggi. Dan, Aisyah memilikinya. Maka Abu Musa Al-Asy'ari memberi kesaksian: "Ketika kami, sahabat-sahabat Rasulullah menghadapi kesulitan dalam memahami suatu hadits lalu bertanya kepada Aisyah, maka kami pasti mendapatkan pemecahannya." Senada dengan itu Atha' menegaskan: "Aisyah adalah wanita yang paling faqih dan paling baik pendapatnya dalam persoalan-persoalan yang menyangkut masyarakat umum."
Hafalan banyak, juga menjadi fuqaha. Para sahabat dan tabi'in tidak heran. Tetapi suatu ketika, saat membicarakan bidang ilmu berbeda, Urwah mewakili tabi'in lainnya. "Wahai ibunda, aku tidak heran dengan pemahamanmu yang mendalam tentang masalah-masalah agama. Bagaimana tidak, engkau adalah istri Nabi SAW dan putri Abu Bakar. Aku juga tidak heran dengan pengetahuanmu yang luas tentang puisi. Bagaimana tidak, engkau putri Abu Bakar yang dikenal menguasai pengetahuan sosial masyarakat Arab. Tapi..." kata Urwah melanjutkan dengan raut muka kekaguman, "aku heran dengan pengetahuanmu tentang ilmu kedokteran. Bagaimana hal ini bisa terjadi dan dari mana engkau mempelajarinya?"
"Wahai Urwah", jawab Aisyah sambil menepuk pundak Urwah, "Rasulullah sakit cukup lama di masa terakhir hidupnya. Saat itulah banyak delegasi dari berbagai kabilah Arab yang menemui beliau, lalu mereka menjelaskan beberapa obat untuk membantu kesembuhan Nabi. Dan, akulah yang mempraktikannya untuk mengobati beliau. Dari sana aku belajar ilmu kedokteran."
Metode belajar yang mirip ditempuhnya pula dalam bidang sastra. Ketika para pemimpin kabilah datang kepada Sang Nabi dengan kalimat-kalimat terbaik mereka, Aisyah menemukan polanya. Kaidah-kaidah sastra didapatkannya dari contoh-contoh syair dan pidato mereka.
Jika dalam sastra Aisyah sudah menerapkan metode induktif, dalam keseluruhan bidang ilmu ia memiliki kecepatan belajar yang luar biasa. Ia melampaui accelerated learning dan quantum learning, bahkan sebelum keduanya dikenalkan oleh Colin Rose dan Bobbi de Porter beberapa abad kemudian. Dengan kecerdasannya, jadilah Aisyah menyejarah. Sekaligus memberikan pondasi prinsip bagi generasi muslimah sesudahnya: Dalam keilmuan, tidak boleh menjadi nomor dua karena alasan "aku dilahirkan sebagai wanita". [Muchlisin]
Tentang ayah Aisyah, kita telah mengetahui betapa cerdasnya ia. Bukan hanya soal kecerdasan iman yang tidak pernah dihinggapi keraguan. Selalu membenarkan apapun yang disampaikan Sang Nabi. Bukankah kecerdasan tertinggi ketika sudah memahami Muhammad adalah Rasulullah, maka segala hal yang disampaikannya dari Allah dan dijamin kebenarannya?! Maka ash-shidiq pun menjadi gelarnya.
Abu Bakar juga memiliki kecerdasan finansial yang luar biasa. Memperoleh kekayaan dengan mudah, dan menginfakkannya di jalan Allah dengan mudah. Tidak sulit baginya menggenggam harta, tetapi tidak pernah mengizinkan harta berdiam dalam jiwanya. Ia telah sukses menceraikan dunia dari hatinya. Hidup pun bebas dari ketakutan dan ketamakan. Jadilah ia kaya hati kaya materi.
Jika Abu Bakar adalah potret ideal kecerdasan finansial, Aisyah menjadi ikon kecerdasan intelektual. Dan keduanya adalah teladan sempurna dalam kecerdasan iman.
Selama ini kita mungkin akrab dengan popularitas Aisyah sebagai penghafal hadits. Itu salah satu bukti kecerdasannya. Ummul mukminin yang sering dipanggil Sang Nabi dengan humaira ini meriwayatkan 2.210 hadits. Ia hanya kalah dari Abu Hurairah yang meriwayatkan 5.374 hadits, Ibnu Umar dengan 2.630 hadits, dan Anas bin Malik 2.286 hadits.
Ketiga sahabat itu menjadi lebih banyak haditsnya karena memiliki kesempatan yang tidak dimiliki Aisyah. Abu Hurairah, misalnya, ia selalu mendampingi Rasulullah ke mana pun beliau pergi. Mulazamah, istilahnya. Sedangkan Aisyah tidak banyak bepergian bersama Sang Nabi. Hanya beberapa kali ketika beliau diajak. Biasanya yang kita ingat adalah saat perang Bani Musthaliq, dengan haditsul ifki yang menduka namun berakhir mulia.
Menjadi periwayat hadits berarti memiliki kekuatan hafalan yang luar biasa. Namun menjadi fuqaha di kalangan sahabat berarti memiliki daya ijtihad; menggenapi kekuatan hafalan dengan analisa, pengetahuan problematika umat secara kolektif maupun personal, dan kebijaksanaan ketika memilih jawaban yang paling tepat. Menjadi keduanya adalah gambaran kecerdasan tingkat tinggi. Dan, Aisyah memilikinya. Maka Abu Musa Al-Asy'ari memberi kesaksian: "Ketika kami, sahabat-sahabat Rasulullah menghadapi kesulitan dalam memahami suatu hadits lalu bertanya kepada Aisyah, maka kami pasti mendapatkan pemecahannya." Senada dengan itu Atha' menegaskan: "Aisyah adalah wanita yang paling faqih dan paling baik pendapatnya dalam persoalan-persoalan yang menyangkut masyarakat umum."
Hafalan banyak, juga menjadi fuqaha. Para sahabat dan tabi'in tidak heran. Tetapi suatu ketika, saat membicarakan bidang ilmu berbeda, Urwah mewakili tabi'in lainnya. "Wahai ibunda, aku tidak heran dengan pemahamanmu yang mendalam tentang masalah-masalah agama. Bagaimana tidak, engkau adalah istri Nabi SAW dan putri Abu Bakar. Aku juga tidak heran dengan pengetahuanmu yang luas tentang puisi. Bagaimana tidak, engkau putri Abu Bakar yang dikenal menguasai pengetahuan sosial masyarakat Arab. Tapi..." kata Urwah melanjutkan dengan raut muka kekaguman, "aku heran dengan pengetahuanmu tentang ilmu kedokteran. Bagaimana hal ini bisa terjadi dan dari mana engkau mempelajarinya?"
"Wahai Urwah", jawab Aisyah sambil menepuk pundak Urwah, "Rasulullah sakit cukup lama di masa terakhir hidupnya. Saat itulah banyak delegasi dari berbagai kabilah Arab yang menemui beliau, lalu mereka menjelaskan beberapa obat untuk membantu kesembuhan Nabi. Dan, akulah yang mempraktikannya untuk mengobati beliau. Dari sana aku belajar ilmu kedokteran."
Metode belajar yang mirip ditempuhnya pula dalam bidang sastra. Ketika para pemimpin kabilah datang kepada Sang Nabi dengan kalimat-kalimat terbaik mereka, Aisyah menemukan polanya. Kaidah-kaidah sastra didapatkannya dari contoh-contoh syair dan pidato mereka.
Jika dalam sastra Aisyah sudah menerapkan metode induktif, dalam keseluruhan bidang ilmu ia memiliki kecepatan belajar yang luar biasa. Ia melampaui accelerated learning dan quantum learning, bahkan sebelum keduanya dikenalkan oleh Colin Rose dan Bobbi de Porter beberapa abad kemudian. Dengan kecerdasannya, jadilah Aisyah menyejarah. Sekaligus memberikan pondasi prinsip bagi generasi muslimah sesudahnya: Dalam keilmuan, tidak boleh menjadi nomor dua karena alasan "aku dilahirkan sebagai wanita". [Muchlisin]