Seorang pemuda yang suka mengikuti perkembangan harakah Islam di Indonesia menanyakan, "Mengapa harakah Islam yang terkenal dengan sist...
Seorang pemuda yang suka mengikuti perkembangan harakah Islam di Indonesia menanyakan, "Mengapa harakah Islam yang terkenal dengan sistem kaderisasinya yang ketat, sampai 'kecolongan' dengan adanya beberapa 'kasus' yang mencuat di media?"
"Mengapa sampai ada kader senior yang bermasalah, lalu terkesan begitu berambisi untuk menghantam harakah?", katanya menjelaskan maksud pertanyaannya. Ia juga memberikan contoh lain untuk kasus yang berbeda. Berbeda, namun bertemu pada satu muara; tidak mencerminkan muwashafat yang telah ia baca.
Ketika pemuda ini ikut hadir dalam milad Ahad lalu, ia mendapatkan jawaban. Seorang ustadz mengutip salah satu qiyadah harakah mengistilahkan: "margin error kaderisasi".
Margin error kaderisasi adalah istilah yang cukup unik. Mengingatkan kita pada penelitian kuantitatif, khususnya survei. Istilah margin of error di sana berarti statistik yang menyatakan jumlah kesalahan dalam pengambilan contoh. Margin error di sini berarti kemungkinan kesalahan atau gagal bina dalam proses kaderisasi.
Proses kaderisasi yang dilakukan oleh harakah Islamiyah bukanlah sebuah proses sempurna yang mampu menjamin keseluruhan kader yang dibina akan "lulus" dengan “cumlaude”. Atau semuanya memiliki muwashafat seperti yang seharusnya.
Jangankan kaderisasi dalam harakah yang para murabbinya adalah manusia biasa, hidup di dalam naungan keluarga nabi pun tidak menjamin seseorang lantas mencapai kesempurnaan iman. Allah SWT mencontohkan dua orang: istri Nabi Luth dan istri Nabi Nuh.
“Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua hamba yang shalih diantara hamba-hamba Kami. Lalu, kedua istri itu berkhianat kepada suaminya.” Demikian Allah berfirman dalam QS. At-Tahrim ayat kesepuluh.
“Yang ditetapkan dalam riwayat tentang pengkhianatan istr Nuh dan istri Luth,” kata Sayyid Quthb dalam Fi Zilal, “adalah pengkhianatan dalam dakwah dan bukanlah pengkhianatan keji berupa penyelewengan seksual.”
Demikian pula kaderisasi yang dilakukan oleh Rasulullah Muhammad SAW dan para sahabatnya. Bukan berarti bebas sama sekali dari “margin error”. Pasca peristiwa Isra’ Mi’raj misalnya. “Orang-orang yang tadinya telah masuk Islam,” tutur Ibnu Hisyam dalam Sirah Nabawiyah-nya, “banyak yang menjadi murtad.”
Sirah nabawiyah juga mencatat satu nama khusus yang sebelumnya termasuk assaabiquunal awwaluun, namun kemudian murtad. Dialah Ubaidillah bin Jahsy.
Ibarat pendirian bangunan, sering kali ada “batu bata jelek” pada temboknya, seperti pada renungan sebelumnya. Demikian pula kaderisasi dalam harakah pasti tidak bebas sama sekali dari margin error ini. Namun jika dua batu bata yang jelek, sedangkan 998 bata lainnya bagus, mestinya kita tidak berfokus pada dua batu bata lalu mengatakan bahwa yang ada hanyalah tembok rusak.
Diantara 1000 kader, jika 2 atau 3 orang yang menyimpang, margin error-nya 0,2-0,3% itu tergolong wajar. Diantara seribu pejabat publik atau wakil rakyat, lalu ada satu atau dua yang bermasalah, barang kali demikianlah “margin error”-nya. Tentu saja kesalahan yang kedua menjadi jauh lebih berpengaruh dari kesalahan kader biasa.
Bukan berarti harakah sekedar memaklumi kekurangan. Tidak pula harakah berhenti melakukan perbaikan. Meskipun “margin error” tidak bisa dihilangkan sama sekali, ia harus ditekan hingga sekecil-kecilnya. Jika dipahami bahwa dalam proses kaderisasi itu ada takwin dan taqwim, keduanya harus dihindarkan dari peluang munculnya pertambahan “margin error.” Takwin harus serius mengarah kepada muwashafat, dan taqwim tidak boleh diperlonggar kecuali telah memenuhi muwashafat. Tentu berat. Wallaahu a’lam bish shawab. [Muchlisin]
"Mengapa sampai ada kader senior yang bermasalah, lalu terkesan begitu berambisi untuk menghantam harakah?", katanya menjelaskan maksud pertanyaannya. Ia juga memberikan contoh lain untuk kasus yang berbeda. Berbeda, namun bertemu pada satu muara; tidak mencerminkan muwashafat yang telah ia baca.
Ketika pemuda ini ikut hadir dalam milad Ahad lalu, ia mendapatkan jawaban. Seorang ustadz mengutip salah satu qiyadah harakah mengistilahkan: "margin error kaderisasi".
Margin error kaderisasi adalah istilah yang cukup unik. Mengingatkan kita pada penelitian kuantitatif, khususnya survei. Istilah margin of error di sana berarti statistik yang menyatakan jumlah kesalahan dalam pengambilan contoh. Margin error di sini berarti kemungkinan kesalahan atau gagal bina dalam proses kaderisasi.
Proses kaderisasi yang dilakukan oleh harakah Islamiyah bukanlah sebuah proses sempurna yang mampu menjamin keseluruhan kader yang dibina akan "lulus" dengan “cumlaude”. Atau semuanya memiliki muwashafat seperti yang seharusnya.
Jangankan kaderisasi dalam harakah yang para murabbinya adalah manusia biasa, hidup di dalam naungan keluarga nabi pun tidak menjamin seseorang lantas mencapai kesempurnaan iman. Allah SWT mencontohkan dua orang: istri Nabi Luth dan istri Nabi Nuh.
“Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua hamba yang shalih diantara hamba-hamba Kami. Lalu, kedua istri itu berkhianat kepada suaminya.” Demikian Allah berfirman dalam QS. At-Tahrim ayat kesepuluh.
“Yang ditetapkan dalam riwayat tentang pengkhianatan istr Nuh dan istri Luth,” kata Sayyid Quthb dalam Fi Zilal, “adalah pengkhianatan dalam dakwah dan bukanlah pengkhianatan keji berupa penyelewengan seksual.”
Demikian pula kaderisasi yang dilakukan oleh Rasulullah Muhammad SAW dan para sahabatnya. Bukan berarti bebas sama sekali dari “margin error”. Pasca peristiwa Isra’ Mi’raj misalnya. “Orang-orang yang tadinya telah masuk Islam,” tutur Ibnu Hisyam dalam Sirah Nabawiyah-nya, “banyak yang menjadi murtad.”
Sirah nabawiyah juga mencatat satu nama khusus yang sebelumnya termasuk assaabiquunal awwaluun, namun kemudian murtad. Dialah Ubaidillah bin Jahsy.
Ibarat pendirian bangunan, sering kali ada “batu bata jelek” pada temboknya, seperti pada renungan sebelumnya. Demikian pula kaderisasi dalam harakah pasti tidak bebas sama sekali dari margin error ini. Namun jika dua batu bata yang jelek, sedangkan 998 bata lainnya bagus, mestinya kita tidak berfokus pada dua batu bata lalu mengatakan bahwa yang ada hanyalah tembok rusak.
Diantara 1000 kader, jika 2 atau 3 orang yang menyimpang, margin error-nya 0,2-0,3% itu tergolong wajar. Diantara seribu pejabat publik atau wakil rakyat, lalu ada satu atau dua yang bermasalah, barang kali demikianlah “margin error”-nya. Tentu saja kesalahan yang kedua menjadi jauh lebih berpengaruh dari kesalahan kader biasa.
Bukan berarti harakah sekedar memaklumi kekurangan. Tidak pula harakah berhenti melakukan perbaikan. Meskipun “margin error” tidak bisa dihilangkan sama sekali, ia harus ditekan hingga sekecil-kecilnya. Jika dipahami bahwa dalam proses kaderisasi itu ada takwin dan taqwim, keduanya harus dihindarkan dari peluang munculnya pertambahan “margin error.” Takwin harus serius mengarah kepada muwashafat, dan taqwim tidak boleh diperlonggar kecuali telah memenuhi muwashafat. Tentu berat. Wallaahu a’lam bish shawab. [Muchlisin]