Hari menjelang siang. Bayangan hampir sama dengan panjang obyek aslinya. Aku memasuki rumah bercat kuning itu. Bersama si kecil aku menyapa ...
Hari menjelang siang. Bayangan hampir sama dengan panjang obyek aslinya. Aku memasuki rumah bercat kuning itu. Bersama si kecil aku menyapa wajah teduh yang tengah terbaring. Ia sakit. Wajar jika hari ini tak terlihat datang ke masjid.
Hari menjelang sore. Bayangan kembali hampir menyamai panjang obyek aslinya, memanjang dari arah sebaliknya. "Pak Marjono meninggal," kata istri memberitahu. Inna lillaahi wa inna ilaihi raaji'uun. Ternyata tadi pagi adalah pertemuan terakhir.
Hari yang sama. Sms beredar di rekan-rekan kerja. Salah seorang relasi yang masih muda meninggal dunia. Seorang kontraktor yang akrab dengan sebagian teman-teman di kantor. "Padahal jum'at masih segar bugar dan makan bersama kami," kata sebagian orang bercerita sambil menunjukkan keterjutannya. Konon, ia meninggal karena serangan jantung.
Tapi ada juga rumor negatif, ia meninggal karena obat-obat tertentu. "Ia kan suka begitu," kata seorang teman yang mengetahui kebiasaan buruknya di "dunia malam".
Hari masih sama. Satu lagi kabar orang meninggal dunia. Meninggal dengan tiba-tiba. Ibu kantin di kantor sebelah. Sengatan listrik menjadi wasilah kematiannya.
Satu hari tiga kematian. Semuanya membawa pesan yang sama: bahwa kematian bisa datang secara tiba-tiba. Maut bisa menjemput kita kapan saja. Tak ada pemberitahuan sebelumnya. Tak ada konfirmasi. Tak ada kompromi.
Kapan pun tiba saat itu, kita tak bisa menundanya, sebagaimana kita juga tak bisa memajukannya. Kapan pun datang waktu itu, kita tak bisa mencegahnya, sebagaimana kita juga tak bisa lebih cepat mengundangnya.
Maka sejatinya tiga kematian itu membawa pesan besar: kita harusnya siap kapan saja. Kita tak bisa memastikan kematian datang kepada kita ketika kita tengah mengerjakan kebaikan atau ketika kita sedang asyik dalam keburukan. Namun kita bisa mengusahakan; dengan membiasakan kebaikan dan senantiasa menjauhi keburukan, kapan saja kematian itu datang, ia akan menjumpai kita berpeluk kebajikan. Maka senyum akan menghiasi kita ketika kematian menutup riwayat kita dari dunia.
Kita tak bisa memastikan apakah akhir hidup kita nilai dan kurun kebajikan lebih banyak dari kejelekan, atau sebaliknya. Namun dengan senantiasa berpegang teguh pada amal-amal kebajikan dan menghindari kejelekan, akumulasi kebajikan akan menelan sisi kejelekan dalam hidup kita. Maka tatapan teduh dan wajah tenang akan melukis wajah kita tepat di saat kematian itu menyapa.
Kematian orang yang mendahului kita dengan demikian akan menjadi pengingat bahwa ia bisa saja segera menghampiri kita. Setahun, sebulan, sepekan, sehari, atau bahkan semenit. Kesadaran bahwa kematian begitu dekat dan sifatnya yang tiba-tiba akan membuat kita menyiapkan diri menghadapinya. Karenanya, mengingat matu, dzkirul maut, adalah salah satu amal jiwa dan pikiran yang sangat berharga bagi masa depan di negeri abadi nanti. "Perbanyaklah mengingat sesuatu yang melenyapkan segala macam kelezatan (yaitu kematian)" demikian pesan dari lisan suci Sang Nabi yang direkam oleh Tirmidzi.
Pesan dalam kematian yang masuk dalam jiwa akan membuat kita bersegera dalam beramal. "Bersegeralah kamu beramal sebelum datangnya tujuh perkara," sabda Rasulullah dalam kesempatan berbeda. Hadits yang juga diriwayatkan Tirmidzi ini selanjutnya menguraikan ketujuh perkara itu. Tiga diantaranya adalah: "...sakit, masa tua, dan kematian yang tiba-tiba...". Wallaahu a'lam bish shawab. [Muchlisin]
Hari menjelang sore. Bayangan kembali hampir menyamai panjang obyek aslinya, memanjang dari arah sebaliknya. "Pak Marjono meninggal," kata istri memberitahu. Inna lillaahi wa inna ilaihi raaji'uun. Ternyata tadi pagi adalah pertemuan terakhir.
Hari yang sama. Sms beredar di rekan-rekan kerja. Salah seorang relasi yang masih muda meninggal dunia. Seorang kontraktor yang akrab dengan sebagian teman-teman di kantor. "Padahal jum'at masih segar bugar dan makan bersama kami," kata sebagian orang bercerita sambil menunjukkan keterjutannya. Konon, ia meninggal karena serangan jantung.
Tapi ada juga rumor negatif, ia meninggal karena obat-obat tertentu. "Ia kan suka begitu," kata seorang teman yang mengetahui kebiasaan buruknya di "dunia malam".
Hari masih sama. Satu lagi kabar orang meninggal dunia. Meninggal dengan tiba-tiba. Ibu kantin di kantor sebelah. Sengatan listrik menjadi wasilah kematiannya.
Satu hari tiga kematian. Semuanya membawa pesan yang sama: bahwa kematian bisa datang secara tiba-tiba. Maut bisa menjemput kita kapan saja. Tak ada pemberitahuan sebelumnya. Tak ada konfirmasi. Tak ada kompromi.
Kapan pun tiba saat itu, kita tak bisa menundanya, sebagaimana kita juga tak bisa memajukannya. Kapan pun datang waktu itu, kita tak bisa mencegahnya, sebagaimana kita juga tak bisa lebih cepat mengundangnya.
Maka sejatinya tiga kematian itu membawa pesan besar: kita harusnya siap kapan saja. Kita tak bisa memastikan kematian datang kepada kita ketika kita tengah mengerjakan kebaikan atau ketika kita sedang asyik dalam keburukan. Namun kita bisa mengusahakan; dengan membiasakan kebaikan dan senantiasa menjauhi keburukan, kapan saja kematian itu datang, ia akan menjumpai kita berpeluk kebajikan. Maka senyum akan menghiasi kita ketika kematian menutup riwayat kita dari dunia.
Kita tak bisa memastikan apakah akhir hidup kita nilai dan kurun kebajikan lebih banyak dari kejelekan, atau sebaliknya. Namun dengan senantiasa berpegang teguh pada amal-amal kebajikan dan menghindari kejelekan, akumulasi kebajikan akan menelan sisi kejelekan dalam hidup kita. Maka tatapan teduh dan wajah tenang akan melukis wajah kita tepat di saat kematian itu menyapa.
Kematian orang yang mendahului kita dengan demikian akan menjadi pengingat bahwa ia bisa saja segera menghampiri kita. Setahun, sebulan, sepekan, sehari, atau bahkan semenit. Kesadaran bahwa kematian begitu dekat dan sifatnya yang tiba-tiba akan membuat kita menyiapkan diri menghadapinya. Karenanya, mengingat matu, dzkirul maut, adalah salah satu amal jiwa dan pikiran yang sangat berharga bagi masa depan di negeri abadi nanti. "Perbanyaklah mengingat sesuatu yang melenyapkan segala macam kelezatan (yaitu kematian)" demikian pesan dari lisan suci Sang Nabi yang direkam oleh Tirmidzi.
Pesan dalam kematian yang masuk dalam jiwa akan membuat kita bersegera dalam beramal. "Bersegeralah kamu beramal sebelum datangnya tujuh perkara," sabda Rasulullah dalam kesempatan berbeda. Hadits yang juga diriwayatkan Tirmidzi ini selanjutnya menguraikan ketujuh perkara itu. Tiga diantaranya adalah: "...sakit, masa tua, dan kematian yang tiba-tiba...". Wallaahu a'lam bish shawab. [Muchlisin]