Kemarin pagi, sebelum berangkat mengisi training, kami dikejutkan dengan sebuah SMS. SMS itu memberitakan bahwa ustadzah Yoyoh Yusroh mening...
Kemarin pagi, sebelum berangkat mengisi training, kami dikejutkan dengan sebuah SMS. SMS itu memberitakan bahwa ustadzah Yoyoh Yusroh meninggal dunia dalam kecelakaan di Cirebon sesudah menghadiri acara wisuda putranya di UGM.
Kematian memang bisa datang kapan saja. Dan dengan cara apa saja. Namun kematian seseorang yang telah mengukir sejarah hidupnya dengan kebaikan, memenuhi hari-harinya dengan kontribusi kepada sesama, jelas membuat banyak orang kehilangan. Bukan hanya kami yang kehilangan beliau, tetapi seluruh ikhwah. “Bahkan seluruh bangsa Indonesia,” kata Tantowi Yahya di lokasi persemayaman almarhumah.
Kebiasaan Yoyoh Yusroh yang suka menolong, meninggalkan rasa kehilangan yang besar dalam jiwa banyak orang. Dan selayaknya, para dai –khususnya daiyah- meneladani sifat itu. Salah seorang yang kehilangan adalah temannya sesama anggota DPR. Meskipun berasal dari fraksi yang berbeda, Yoyoh Yusroh merelakan waktunya untuk menemani dan “mengobati” ibu ini dalam sebuah perjalanan tugas kedinasan. Ketulusannya menjadi sahabat dan merawat selama ibu ini sakit, meninggalkan kesan yang mendalam baginya. Bukan hanya ibu ini akhirnya menjadi lebih dekat dengan Yoyoh Yusroh seorang, namun ia juga menjadi lebih dekat dengan dakwah. Begitulah. Ketika pesona Islam bertemu dengan pesona muslim, maka orang yang berada di dekatnya akan merasakan betapa indahnya dakwah. Mereka mendapati bahwa dakwah bukan hanya bahasa langit, namun juga kepedulian dan solusi yang membumi.
Yoyoh Yusroh juga seorang ibu yang luar biasa. Suatu hari ketika ia mengisi sebuah seminar, ia membawa serta anaknya yang kedu belas. Saat itu anaknya masih berjumlah dua belas. Seorang panitia bertanya, “Ini putranya yang terakhir ya, Bu?”. “Bukan”, jawab Yoyoh Yusroh, “ini yang kedua belas.” Subhaanallah… ternyata paradigma dan keinginannya menjadi ibu membuatnya tidak membatasi bahwa putra saat ini adalah putra terakhir. Dan benar, setelah itu putra ketiga belas beliau lahir.
Di masa sekarang, banyak ibu yang merasa sangat direpotkan oleh kehadiran anak. Jangankan dua belas atau tiga belas anak, satu atau dua anak saja sudah membuat banyak ibu kewalahan dan hari-harinya penuh keluhan. Bahkan ada juga ibu yang baru melahirkan satu orang anak sudah merasa amat tersiksa lalu ia tidak mau lagi melahirkan untuk yang kedua. “Melahirkannya sakit setengah mati, membesarkannya merepotkan sekali,” itu alasannya. Namun tidak demikian dengan ibu yang satu ini. Yoyoh Yusroh bukan saja “menikmati” melahirkan buah hatinya, namun juga dengan penuh cinta membesarkan dan mendidik mereka. Tiga belas anak yang tumbuh menjadi shalih-shalihah adalah prestasi besar yang tidak dimiliki oleh sembarang orang.
Banyak perempuan yang berhenti belajar , membaca dan meningkatkan kualitas diri dengan alasan waktunya sudah habis untuk mengasuh dan membesarkan anak. Padahal anaknya hanya dua atau tiga orang. Yoyoh Yusroh, dengan belasan anak tetap memiliki semangat belajar yang luar biasa dan tidak pernah berhenti mengembangkan diri. Ketika bertemu Yusuf Qardhawi, Yoyoh Yusroh ditanya tentang berapa banyak hafalan Qur’an-nya. Menjawab sekian juz, belum sampai seluruhnya dihafal, Yoyoh Yusroh ditegur oleh Yusuf Qardhawi. Ia jadi malu. Namun bersamaan dengan itu, semangatnya untuk menghafalkan Al-Qur’an juga meningkatkan tarbiyah dzatiyah menjadi semakin membara.
Menjadi daiyah, ibu yang baik, sekaligus terus mengembangkan diri ternyata tidak cukup bagi salah satu pendiri partai dakwah ini. Tampaknya, ia memiliki semua mata air kecemerlangan yang ditulis Anis Matta dalam bukunya. Termasuk mata air kecemerlangan yang ketujuh: kontribusi. Maka dalam hidupnya, Yoyoh Yusroh menebar kemanfaatan dan kontribusi bagi sesama. “Kontribusi itu dapat kita berikan pada wilayah pemikiran, atau wilayah profesionalisme, atau wilayah kepemimpinan, atau wilayah finansial, atau wilayah lainnya.” Kata Anis Matta. “Namun,” lanjutnya, “kontribusi apapun yang hendak kita berikan, sebaiknya memenuhi dua syarat: memenuhi kebutuhan masyarakat kita dan dibangun dari kompetensi inti kita.”
Sejalan dengan teori itulah kemudian kontribusi Yoyoh Yusroh menjadi “monumental.” Ia bukan memberikan kontribusi yang biasa-biasa saja, namun kontribusi yang membekas di hati banyak orang. Sekaligus diingat dalam rentang waktu yang panjang. Maka tidak heran jika ia mendapatkan banyak penghargaan. Diantaranya adalah International Muslim Women Union (IMWU) tahun 2000, Mubaligh National dari Departemen Agama Pusat tahun 2001, dan International Muslim Women Union (IMWU) tahun 2003.
Tidak berlebihan jika kita sebut Yoyoh Yusroh adalah permata. Permata dalam dakwah ini sekaligus permata bagi bangsa ini. Dan kini, permata itu telah pergi. Kita mendoakan sang permata agar ia pergi bersama ridha Ilahi, mendapatkan maghfirah-Nya, serta ditinggikan derajatnya dengan memperoleh surga. Dan kita pun mengazamkan diri, bahwa kita belajar darinya, meneladani kebaikan-kebaikannya, dan berupaya pula menjadi permata berikutnya. Allaahumma aamiin. [Muchlisin]
Kematian memang bisa datang kapan saja. Dan dengan cara apa saja. Namun kematian seseorang yang telah mengukir sejarah hidupnya dengan kebaikan, memenuhi hari-harinya dengan kontribusi kepada sesama, jelas membuat banyak orang kehilangan. Bukan hanya kami yang kehilangan beliau, tetapi seluruh ikhwah. “Bahkan seluruh bangsa Indonesia,” kata Tantowi Yahya di lokasi persemayaman almarhumah.
Kebiasaan Yoyoh Yusroh yang suka menolong, meninggalkan rasa kehilangan yang besar dalam jiwa banyak orang. Dan selayaknya, para dai –khususnya daiyah- meneladani sifat itu. Salah seorang yang kehilangan adalah temannya sesama anggota DPR. Meskipun berasal dari fraksi yang berbeda, Yoyoh Yusroh merelakan waktunya untuk menemani dan “mengobati” ibu ini dalam sebuah perjalanan tugas kedinasan. Ketulusannya menjadi sahabat dan merawat selama ibu ini sakit, meninggalkan kesan yang mendalam baginya. Bukan hanya ibu ini akhirnya menjadi lebih dekat dengan Yoyoh Yusroh seorang, namun ia juga menjadi lebih dekat dengan dakwah. Begitulah. Ketika pesona Islam bertemu dengan pesona muslim, maka orang yang berada di dekatnya akan merasakan betapa indahnya dakwah. Mereka mendapati bahwa dakwah bukan hanya bahasa langit, namun juga kepedulian dan solusi yang membumi.
Yoyoh Yusroh juga seorang ibu yang luar biasa. Suatu hari ketika ia mengisi sebuah seminar, ia membawa serta anaknya yang kedu belas. Saat itu anaknya masih berjumlah dua belas. Seorang panitia bertanya, “Ini putranya yang terakhir ya, Bu?”. “Bukan”, jawab Yoyoh Yusroh, “ini yang kedua belas.” Subhaanallah… ternyata paradigma dan keinginannya menjadi ibu membuatnya tidak membatasi bahwa putra saat ini adalah putra terakhir. Dan benar, setelah itu putra ketiga belas beliau lahir.
Di masa sekarang, banyak ibu yang merasa sangat direpotkan oleh kehadiran anak. Jangankan dua belas atau tiga belas anak, satu atau dua anak saja sudah membuat banyak ibu kewalahan dan hari-harinya penuh keluhan. Bahkan ada juga ibu yang baru melahirkan satu orang anak sudah merasa amat tersiksa lalu ia tidak mau lagi melahirkan untuk yang kedua. “Melahirkannya sakit setengah mati, membesarkannya merepotkan sekali,” itu alasannya. Namun tidak demikian dengan ibu yang satu ini. Yoyoh Yusroh bukan saja “menikmati” melahirkan buah hatinya, namun juga dengan penuh cinta membesarkan dan mendidik mereka. Tiga belas anak yang tumbuh menjadi shalih-shalihah adalah prestasi besar yang tidak dimiliki oleh sembarang orang.
Banyak perempuan yang berhenti belajar , membaca dan meningkatkan kualitas diri dengan alasan waktunya sudah habis untuk mengasuh dan membesarkan anak. Padahal anaknya hanya dua atau tiga orang. Yoyoh Yusroh, dengan belasan anak tetap memiliki semangat belajar yang luar biasa dan tidak pernah berhenti mengembangkan diri. Ketika bertemu Yusuf Qardhawi, Yoyoh Yusroh ditanya tentang berapa banyak hafalan Qur’an-nya. Menjawab sekian juz, belum sampai seluruhnya dihafal, Yoyoh Yusroh ditegur oleh Yusuf Qardhawi. Ia jadi malu. Namun bersamaan dengan itu, semangatnya untuk menghafalkan Al-Qur’an juga meningkatkan tarbiyah dzatiyah menjadi semakin membara.
Menjadi daiyah, ibu yang baik, sekaligus terus mengembangkan diri ternyata tidak cukup bagi salah satu pendiri partai dakwah ini. Tampaknya, ia memiliki semua mata air kecemerlangan yang ditulis Anis Matta dalam bukunya. Termasuk mata air kecemerlangan yang ketujuh: kontribusi. Maka dalam hidupnya, Yoyoh Yusroh menebar kemanfaatan dan kontribusi bagi sesama. “Kontribusi itu dapat kita berikan pada wilayah pemikiran, atau wilayah profesionalisme, atau wilayah kepemimpinan, atau wilayah finansial, atau wilayah lainnya.” Kata Anis Matta. “Namun,” lanjutnya, “kontribusi apapun yang hendak kita berikan, sebaiknya memenuhi dua syarat: memenuhi kebutuhan masyarakat kita dan dibangun dari kompetensi inti kita.”
Sejalan dengan teori itulah kemudian kontribusi Yoyoh Yusroh menjadi “monumental.” Ia bukan memberikan kontribusi yang biasa-biasa saja, namun kontribusi yang membekas di hati banyak orang. Sekaligus diingat dalam rentang waktu yang panjang. Maka tidak heran jika ia mendapatkan banyak penghargaan. Diantaranya adalah International Muslim Women Union (IMWU) tahun 2000, Mubaligh National dari Departemen Agama Pusat tahun 2001, dan International Muslim Women Union (IMWU) tahun 2003.
Tidak berlebihan jika kita sebut Yoyoh Yusroh adalah permata. Permata dalam dakwah ini sekaligus permata bagi bangsa ini. Dan kini, permata itu telah pergi. Kita mendoakan sang permata agar ia pergi bersama ridha Ilahi, mendapatkan maghfirah-Nya, serta ditinggikan derajatnya dengan memperoleh surga. Dan kita pun mengazamkan diri, bahwa kita belajar darinya, meneladani kebaikan-kebaikannya, dan berupaya pula menjadi permata berikutnya. Allaahumma aamiin. [Muchlisin]