Beruntunglah orang-orang yang kekasihnya kembali dari perjalanan panjang, lalu ia mendapatkan oleh-oleh istimewa. Sepanjang sejarah manusia,...
Beruntunglah orang-orang yang kekasihnya kembali dari perjalanan panjang, lalu ia mendapatkan oleh-oleh istimewa. Sepanjang sejarah manusia, tak pernah ada perjalanan yang lebih panjang jaraknya melebihi isra’ mi’raj. Tiada pula oleh-oleh yang lebih istimewa daripada oleh-oleh utama perjalanan spiritual itu. Maka, tidak ada orang yang lebih beruntung melebihi mereka yang mendapatkan oleh-oleh utama isra’ mi’raj itu lalu menikmatinya.
Shalat lima waktu adalah oleh-oleh utama isra’ mi’raj. Bahkan, banyak orang yang hafal bagaimana perjuangan Rasulullah mondar-mandir dari langit keenam ke Sidratul Muntaha dan sebaliknya; demi mengurangi jumlah kewajiban shalat untuk umatnya. Perjuangan itu akhirnya berhasil, umat Muhammad hanya diwajibkan shalat lima waktu, dari lima puluh waktu sedianya.
Oleh-oleh utama isra’ mi’raj itu dibagikan begitu saja oleh Rasulullah SAW kepada seluruh sahabatnya. Semua kebagian, semua mendapatkan. Lalu semua menikmati. Sebab mereka sadar ini bukan oleh-oleh biasa. Ini adalah metode Rabbaniyah bagi manusia untuk berhubungan dengan Rabbnya. Saat-saat khusyu’ dalam shalat menjadi saat-saat paling nikmat dalam kehidupan para sahabat. Saat-saat khusyu’ dalam shalat lima waktu merupakan saat-saat yang paling mereka rindu. Mereka begitu menikmati oleh-oleh isra’ mi’raj itu.
“Apabila Abdullah bin Az-Zubair sudah mendirikan shalat,” tutur Ibnu Qudamah dalam Mukhtashar Minhajul Qashidin, “maka seakan-akan ia adalah sebatang pohon, karena khusyu’nya. Saat dia sujud lalu ada beberapa ekor burung yang hinggap di punggungnya, maka hal itu tak membuatnya terusik.”
Ali bin Abu Thalib tak kalah khusyu’nya. Ketika suatu saat ia terkena panah, sahabat lain hendak membantunya mencabut anak panah itu. Saat itu belum ada obat bius yang bisa meringankan sakit. Sudah tentu mencabut anak panah akan sangat menyakitkan rasanya. Namun Ali punya kiat tersendiri. “Biarkan aku shalat,” katanya, “ketika aku di tengah shalat nanti, cabutlah anak panah ini. Ia takkan terasa apa-apa.” Begitulah. Sungguh luar biasa.
Sewaktu Rasulullah kembali dari peperangan Dzatur Riqa’, beliau beristirahat bersama seluruh pasukan muslim pada suatu jalan di atas bukit. “Siapa yang bertugas kawal malam ini?,” Tanya Rasulullah.
“Kami, ya Rasulullah!” jawab Abbad bin Bisyr dan Ammar bin Yasir. Mereka lalu membagi jadwal, Ammar bin Yasir istirahat dulu sementara Abbad bin Bisyr berjaga, lalu sebaliknya.
Suasana malam sunyi, tenang, dan angin yang berhembus sepoi serta suara alam membuat Abbad juga ingin menikmati penjagaan itu bersama Rabbnya. Ia pun shalat. Dan dalam sekejap ia telah khusyu’ menikmati berduaan dengan Rabbnya.
Tiba-tiba, dari sebuah arah melesatlah anak panak tepat mengenai Abbad. Abbad mencabut panah itu sambil terus tenggelam dalam shalat. Panah datang lagi mengenai tubuh Abbad, dan ia mencabutnya lagi. Darah telah bercucuran namun Abbad tetap nikmat dalam shalatnya. Kemudian panah melesat lagi mengalirkan darah lebih deras. Setelah mencabutnya, tibalah giliran jaga Ammar bin Yasir. “Bangun, aku terluka parah dan lemas!”
Melihat Ammar bangun, si pemanah segera pergi. Ammar menyaksikan darah Abbad mengucur dari tiga lubang luka. “Subahanallah! Mengapa engkau tidak membangunkan ketika panah pertama mengenaimu?” Tanya Ammar.
“Aku sedang membaca surat dalam shalat. Aku tidak ingin memutuskan bacaanku sebelum selesai. Demi Allah! Kalaulah tidak karena takut akan menyia-nyiakan tugas yang dibebankan Rasulullah, menjaga mulut jalan tempat kaum muslimin berkemah, biarlah tubuhku putus daripada memutuskan bacaan dan shalat.” Subhaanallah. Begitulah generasi sahabat sangat menikmati oleh-oleh utama isra’ mi’raj.
Kini giliran kita. Zaman kita. Oleh-oleh itu tetap ada. Yang menjadi persoalan, apakah kita menerima oleh-oleh itu dengan gembira lalu menikmatinya, atau kita bermuka masam lalu membuangnya. Apakah kita berusaha khusyu’ dalam shalat atau justru menganggapnya sebagai beban.
Oleh-oleh itu tetap ada. Apakah kita akan menjadi kebalikan dari para sahabat Nabi? Mereka tidak merayakan isra’ mi’raj namun begitu luar biasa menikmati oleh-oleh utamanya; sementara kita? Banyak diantara kita yang merayakan isra’ mi’raj tetapi justru terbebani dengan oleh-oleh utamanya. [Muchlisin]
Shalat lima waktu adalah oleh-oleh utama isra’ mi’raj. Bahkan, banyak orang yang hafal bagaimana perjuangan Rasulullah mondar-mandir dari langit keenam ke Sidratul Muntaha dan sebaliknya; demi mengurangi jumlah kewajiban shalat untuk umatnya. Perjuangan itu akhirnya berhasil, umat Muhammad hanya diwajibkan shalat lima waktu, dari lima puluh waktu sedianya.
Oleh-oleh utama isra’ mi’raj itu dibagikan begitu saja oleh Rasulullah SAW kepada seluruh sahabatnya. Semua kebagian, semua mendapatkan. Lalu semua menikmati. Sebab mereka sadar ini bukan oleh-oleh biasa. Ini adalah metode Rabbaniyah bagi manusia untuk berhubungan dengan Rabbnya. Saat-saat khusyu’ dalam shalat menjadi saat-saat paling nikmat dalam kehidupan para sahabat. Saat-saat khusyu’ dalam shalat lima waktu merupakan saat-saat yang paling mereka rindu. Mereka begitu menikmati oleh-oleh isra’ mi’raj itu.
“Apabila Abdullah bin Az-Zubair sudah mendirikan shalat,” tutur Ibnu Qudamah dalam Mukhtashar Minhajul Qashidin, “maka seakan-akan ia adalah sebatang pohon, karena khusyu’nya. Saat dia sujud lalu ada beberapa ekor burung yang hinggap di punggungnya, maka hal itu tak membuatnya terusik.”
Ali bin Abu Thalib tak kalah khusyu’nya. Ketika suatu saat ia terkena panah, sahabat lain hendak membantunya mencabut anak panah itu. Saat itu belum ada obat bius yang bisa meringankan sakit. Sudah tentu mencabut anak panah akan sangat menyakitkan rasanya. Namun Ali punya kiat tersendiri. “Biarkan aku shalat,” katanya, “ketika aku di tengah shalat nanti, cabutlah anak panah ini. Ia takkan terasa apa-apa.” Begitulah. Sungguh luar biasa.
Sewaktu Rasulullah kembali dari peperangan Dzatur Riqa’, beliau beristirahat bersama seluruh pasukan muslim pada suatu jalan di atas bukit. “Siapa yang bertugas kawal malam ini?,” Tanya Rasulullah.
“Kami, ya Rasulullah!” jawab Abbad bin Bisyr dan Ammar bin Yasir. Mereka lalu membagi jadwal, Ammar bin Yasir istirahat dulu sementara Abbad bin Bisyr berjaga, lalu sebaliknya.
Suasana malam sunyi, tenang, dan angin yang berhembus sepoi serta suara alam membuat Abbad juga ingin menikmati penjagaan itu bersama Rabbnya. Ia pun shalat. Dan dalam sekejap ia telah khusyu’ menikmati berduaan dengan Rabbnya.
Tiba-tiba, dari sebuah arah melesatlah anak panak tepat mengenai Abbad. Abbad mencabut panah itu sambil terus tenggelam dalam shalat. Panah datang lagi mengenai tubuh Abbad, dan ia mencabutnya lagi. Darah telah bercucuran namun Abbad tetap nikmat dalam shalatnya. Kemudian panah melesat lagi mengalirkan darah lebih deras. Setelah mencabutnya, tibalah giliran jaga Ammar bin Yasir. “Bangun, aku terluka parah dan lemas!”
Melihat Ammar bangun, si pemanah segera pergi. Ammar menyaksikan darah Abbad mengucur dari tiga lubang luka. “Subahanallah! Mengapa engkau tidak membangunkan ketika panah pertama mengenaimu?” Tanya Ammar.
“Aku sedang membaca surat dalam shalat. Aku tidak ingin memutuskan bacaanku sebelum selesai. Demi Allah! Kalaulah tidak karena takut akan menyia-nyiakan tugas yang dibebankan Rasulullah, menjaga mulut jalan tempat kaum muslimin berkemah, biarlah tubuhku putus daripada memutuskan bacaan dan shalat.” Subhaanallah. Begitulah generasi sahabat sangat menikmati oleh-oleh utama isra’ mi’raj.
Kini giliran kita. Zaman kita. Oleh-oleh itu tetap ada. Yang menjadi persoalan, apakah kita menerima oleh-oleh itu dengan gembira lalu menikmatinya, atau kita bermuka masam lalu membuangnya. Apakah kita berusaha khusyu’ dalam shalat atau justru menganggapnya sebagai beban.
Oleh-oleh itu tetap ada. Apakah kita akan menjadi kebalikan dari para sahabat Nabi? Mereka tidak merayakan isra’ mi’raj namun begitu luar biasa menikmati oleh-oleh utamanya; sementara kita? Banyak diantara kita yang merayakan isra’ mi’raj tetapi justru terbebani dengan oleh-oleh utamanya. [Muchlisin]