Malam ini, tepat sepekan lalu. Di depan sebuah hotel di jantung kota Surabaya, seorang teman sedang menunggu kawan-kawannya melepas lelah se...
Malam ini, tepat sepekan lalu. Di depan sebuah hotel di jantung kota Surabaya, seorang teman sedang menunggu kawan-kawannya melepas lelah setelah seharian mengikuti training. “Pak, mau pijat?” Tanya seorang pria yang sudah berada di sampingnya.
“Berapa?” tanya teman saya yang memang doyan pijat.
“Tiga ratus ribu.” Terhenyak dengan harga yang begitu tinggi, teman saya ini lantas curiga. “Pijat apaan?” selidiknya.
“Pijat plus-plus,” jawab pria tadi tanpa malu, “cantik Pak, putih, usianya 25 tahun.”
Astaghfirullah. Kontan saja, teman saya menolak sambil beristighfar.
Beberapa menit kemudian saya -yang kebetulan diamanahi menjadi panitia training- dan beberapa orang tiba di tempat teman berada. Mendapat cerita itu, kami geleng-geleng. Sevulgar itu ternyata kemaksiatan dijajakan. Belakangan saya mendapat informasi bahwa modus seperti itu cukup populer. Jika obyek bersedia dan transaksi disepakati, ia tinggal memberikan nomor kamar hotelnya, dan agak malam kemudian “tukang pijat” akan mengetuk pintu.
Demikianlah salah satu fenomena di negeri ini. Kemaksiatan bisa mendatangi kita di mana-mana. Ia mengincar korban agar terpesona. Lalu saat kita terlena, ia pun menyeret kita dalam perangkapnya.
Sebagaimana kebaikan, ternyata kemaksiatan juga memiliki para penyeru, para agen. Mereka mengajak orang lain. Mereka menawarkan kepada orang lain. Dengan berbagai cara. Dengan berbagai metode. Bahkan mereka lebih gigih. Tanpa takut. Tanpa malu.
Kita tidak tahu jika tiba-tiba agen seperti itu datang kepada kita. Atau syetan-syetan lain dengan rayuan yang berbeda. Yang pasti, yang menjadi permasalahan pertama adalah kualitas iman kita. Iman yang kokoh akan melahirkan rasa takut kepada Allah hingga dengan tegas kita menolak rayuan syetan seperti itu; baik ketika banyak orang maupun sendirian. Rasa takut kepada Allah inilah yang menjadikannya menjaga kehormatan. Menjaga kemaluan.
“Ini adalah kesucian roh, rumah, tangga, dan jamaah,” kata Sayyid Qutb dalam Tafsir Fi Zhilal ketika menjelaskan ayat kelima surat Al-Mu’minuun. “Ia juga merupakan penjagaan jiwa, keluarga dan masyarakat, dengan menjaga kemaluan dari penyimpangan seksual yang tidak halal, menjaga hati dari keinginan kepada yang tidak halal, dan menjaga jamaah dari kebebasan syahwat di dalam hal-hal yang haram tanpa disadari. Yaitu, hancurnya institusi rumah tangga dan hancurnya keturunan.”
Menjaga keimanan, dengan demikian, haruslah terus kita upayakan. Membiarkan iman kita turun, berarti membuka benteng pertahanan kita hingga mudah dimasuki musuh. Membiarkan iman kita terus berkurang, berarti membuang perisai dan membiarkan pertahanan kita terbuka.
Al Imaanu yaziidu wa yanqush. Iman itu naik dan turun. Yaziidu bith tha’ah, wa yanqush bil maksiyah. Naik dengan ketaatan, dan turun dengan kemaksiatan. Di sinilah seninya. Jika iman yang turun membuat kita mudah terperangkap dalam maksiat, ternyata turunnya iman juga diakibatkan karena kita berbuat maksiat. Sepertinya membingungkan, namun begitulah cara kerjanya. Semula, iman yang ada bisa turun dengan kemaksiatan kecil. Kemaksiatan kecil yang terus dilakukan akan menurunkan iman secara signifikan. Jika sudah demikian, kemaksiatan besar menjadi lebih mudah dilakukan.
Umumnya, seseorang takkan terjerumus dalam kemaksiatan besar tanpa didahului kemaksiatan kecil. Zina, misalnya. Ia mulanya diawali dengan pikiran; kotornya keinginan. Lalu penglihatan. Kemudian sentuhan. Demikian seterusnya.
Memperturutkan nafsu setiap kali ia datang, menjadikan nafsu yang lebih besar terundang untuk dilakukan. Sebaliknya, jika sejak awal nafsu dikekang dan dilawan, saat nafsu yang lebih besar datang, ia lebih mudah ditaklukkan.
“Pangkal segala maksiat, ketaatan dan syahwat adalah pengumbaran nafsu,” tulis Ibnu Atha’illah dalan Al-Hikam. Sebaliknya, “Pangkal segala ketaatan, kewaspadaan dan kebajikan adalah pengekangan nafsu.”
Marilah kita berdoa, memohon kepada Allah agar dijauhkan dari kemaksiatan, dilindungi dari godaan syetan, serta ditetapkan dalam Islam dan Iman. Allaahumma yaa muqallibal quluub, tsabbit quluubanaa ‘alaa diinik. [Muchlisin]
“Berapa?” tanya teman saya yang memang doyan pijat.
“Tiga ratus ribu.” Terhenyak dengan harga yang begitu tinggi, teman saya ini lantas curiga. “Pijat apaan?” selidiknya.
“Pijat plus-plus,” jawab pria tadi tanpa malu, “cantik Pak, putih, usianya 25 tahun.”
Astaghfirullah. Kontan saja, teman saya menolak sambil beristighfar.
Beberapa menit kemudian saya -yang kebetulan diamanahi menjadi panitia training- dan beberapa orang tiba di tempat teman berada. Mendapat cerita itu, kami geleng-geleng. Sevulgar itu ternyata kemaksiatan dijajakan. Belakangan saya mendapat informasi bahwa modus seperti itu cukup populer. Jika obyek bersedia dan transaksi disepakati, ia tinggal memberikan nomor kamar hotelnya, dan agak malam kemudian “tukang pijat” akan mengetuk pintu.
Demikianlah salah satu fenomena di negeri ini. Kemaksiatan bisa mendatangi kita di mana-mana. Ia mengincar korban agar terpesona. Lalu saat kita terlena, ia pun menyeret kita dalam perangkapnya.
Sebagaimana kebaikan, ternyata kemaksiatan juga memiliki para penyeru, para agen. Mereka mengajak orang lain. Mereka menawarkan kepada orang lain. Dengan berbagai cara. Dengan berbagai metode. Bahkan mereka lebih gigih. Tanpa takut. Tanpa malu.
Kita tidak tahu jika tiba-tiba agen seperti itu datang kepada kita. Atau syetan-syetan lain dengan rayuan yang berbeda. Yang pasti, yang menjadi permasalahan pertama adalah kualitas iman kita. Iman yang kokoh akan melahirkan rasa takut kepada Allah hingga dengan tegas kita menolak rayuan syetan seperti itu; baik ketika banyak orang maupun sendirian. Rasa takut kepada Allah inilah yang menjadikannya menjaga kehormatan. Menjaga kemaluan.
“Ini adalah kesucian roh, rumah, tangga, dan jamaah,” kata Sayyid Qutb dalam Tafsir Fi Zhilal ketika menjelaskan ayat kelima surat Al-Mu’minuun. “Ia juga merupakan penjagaan jiwa, keluarga dan masyarakat, dengan menjaga kemaluan dari penyimpangan seksual yang tidak halal, menjaga hati dari keinginan kepada yang tidak halal, dan menjaga jamaah dari kebebasan syahwat di dalam hal-hal yang haram tanpa disadari. Yaitu, hancurnya institusi rumah tangga dan hancurnya keturunan.”
Menjaga keimanan, dengan demikian, haruslah terus kita upayakan. Membiarkan iman kita turun, berarti membuka benteng pertahanan kita hingga mudah dimasuki musuh. Membiarkan iman kita terus berkurang, berarti membuang perisai dan membiarkan pertahanan kita terbuka.
Al Imaanu yaziidu wa yanqush. Iman itu naik dan turun. Yaziidu bith tha’ah, wa yanqush bil maksiyah. Naik dengan ketaatan, dan turun dengan kemaksiatan. Di sinilah seninya. Jika iman yang turun membuat kita mudah terperangkap dalam maksiat, ternyata turunnya iman juga diakibatkan karena kita berbuat maksiat. Sepertinya membingungkan, namun begitulah cara kerjanya. Semula, iman yang ada bisa turun dengan kemaksiatan kecil. Kemaksiatan kecil yang terus dilakukan akan menurunkan iman secara signifikan. Jika sudah demikian, kemaksiatan besar menjadi lebih mudah dilakukan.
Umumnya, seseorang takkan terjerumus dalam kemaksiatan besar tanpa didahului kemaksiatan kecil. Zina, misalnya. Ia mulanya diawali dengan pikiran; kotornya keinginan. Lalu penglihatan. Kemudian sentuhan. Demikian seterusnya.
Memperturutkan nafsu setiap kali ia datang, menjadikan nafsu yang lebih besar terundang untuk dilakukan. Sebaliknya, jika sejak awal nafsu dikekang dan dilawan, saat nafsu yang lebih besar datang, ia lebih mudah ditaklukkan.
“Pangkal segala maksiat, ketaatan dan syahwat adalah pengumbaran nafsu,” tulis Ibnu Atha’illah dalan Al-Hikam. Sebaliknya, “Pangkal segala ketaatan, kewaspadaan dan kebajikan adalah pengekangan nafsu.”
Marilah kita berdoa, memohon kepada Allah agar dijauhkan dari kemaksiatan, dilindungi dari godaan syetan, serta ditetapkan dalam Islam dan Iman. Allaahumma yaa muqallibal quluub, tsabbit quluubanaa ‘alaa diinik. [Muchlisin]