Nama lengkapnya Melissa Lopez Casanova. Ia lahir dan dibesarkan dalam sebuah keluarga Protestan yang sangat taat. Dalam keluarganya ada bebe...
Nama lengkapnya Melissa Lopez Casanova. Ia lahir dan dibesarkan dalam sebuah keluarga Protestan yang sangat taat. Dalam keluarganya ada beberapa pastor dan pendeta. Orang tuanya menginginkan agar Lopez menjadi pemimpin Kristen. Karenanya, sejak kecil ia dimasukkan di sekolah khusus untuk mempelajari Alkitab.
Pada musim panas 2008, bersama para pastor, Lopez melakukan perjalanan ke Jamaika untuk sebuah misi Kristenisasi dengan membantu orang-orang miskin di sana. Ia dan timnya berhasil mengkristenkan sekitar 55 ribu orang dalam pekan itu.
Sepulang dari Jamaika, Lopez berdoa memohon petunjuk. Ia ingin melakukan lebih banyak pengabdian pada Tuhan. “Permintaan itu dijawab-Nya dengan memberiku seorang teman Muslim," katanya.
Ia beberapa kali mengajak teman Muslimnya itu ke gereja dan berpikir bahwa temannya akan terpengaruh dan menjadi seorang Kristen sepertinya.
Suatu saat, temannya mengatakan bahwa gereja adalah tempat yang bagus, tetapi ia menyayangkan kepercayaan jamaatnya yang memercayai Trinitas.
“Sayangnya, temanku salah menguraikan pengertian dari Trinitas itu. Aku hanya tertawa dan meralatnya,“ kata Lopez.
Lopez sempat berpikir tentang betapa fatalnya jika ia melakukan hal yang sama. Memberikan komentar soal agama lain yang tidak dipahami dengan baik adalah sesuatu yang dinilainya sebagai ucapan yang kurang berpendidikan.
Ia pun memutuskan mempelajari hal-hal mendasar tentang Islam. Lopez mulai menemukan persamaan antara Kristen dan Islam. Itu terjadi ketika ia mengetahui bahwa ternyata Yudaisme, Kristen, dan Islam berbagi kisah dan nabi serta ketiganya dapat diusut asal muasalnya ingga bertemu dalam silsilah sejarah yang sama.
“Sebenarnya, lebih banyak persamaan antara Kristen dan Islam dibanding perbedaan antara keduanya,“ kata Lopez.
Suatu hari, ia kagum dengan teman Muslimnya yang tidak malu berdoa dan shalat di tempat umum, dengan lutut dan kepala di atas lantai. “Sementara, aku bahkan terkadang malu untuk sekadar menundukkan kepala sambil memejamkan mata (berdoa) saat hendak makan di tempat-tempat umum.“
Di lain hari, teman Muslimnya kembali ikut serta pergi ke gereja bersama Lopez. Di tengah perjalanan dengan menggunakan mobil itu, temannya memohon izin memutar CD Al-Quran di mobilnya karena ia sedang mempersiapkan diri untuk shalat.
“Agar sopan, aku mengizinkannya. Selanjutnya, aku hanya ikut mendengarkan dan menyimaknya,“ kata Lopez.
Hal yang tidak diduga pun terjadi. Ia masih ingat bagaimana ayat-ayat Al-Qur'an yang didengarnya memunculkan sebuah perasaan aneh. Perasaan itu berbaur dengan kebingungan yang tak bisa dijelaskan.
“Aku tidak bisa memahami mengapa diriku bisa mengalami perasaan semacam itu terhadap sesuatu di luar Kristen," katanya.
Setelah beberapa lama pergolakan batin itu dirasakannya, Lopez akhirnya memutuskan untuk mengenal jauh tentang Islam. Namun, hingga hari penting itu, ia masih menyimpan perasaan takut. Hingga saat menyetir mobilnya, ia berdoa, “Tuhan, lebih baik aku mati dan dekat dengan-Mu daripada hidup selama satu hari, namun jauh dari-Mu.“
Lopez berpikir, mengalami kecelakaan mobil saat menuju Islamic Center San Diego untuk bersyahadat adalah membuktikan pilihan yang salah. Namun, ia tiba di tujuan dengan selamat, dan mengikrarkan keislamannya di hadapan publik.
Jumat itu, 28 Agustus 2008, beberapa hari menjelang Ramadhan, Lopez memeluk Islam. “Sejak itu, aku adalah seorang Muslim yang bahagia, yang mencintai shalat dan puasa. Keduanya mengajarkanku kedisiplinan sekaligus ketundukan kepada Tuhan," kenangnya mengingat perubahan terbaik dalam kehidupannya. [Sumber: Republika]
Pada musim panas 2008, bersama para pastor, Lopez melakukan perjalanan ke Jamaika untuk sebuah misi Kristenisasi dengan membantu orang-orang miskin di sana. Ia dan timnya berhasil mengkristenkan sekitar 55 ribu orang dalam pekan itu.
Sepulang dari Jamaika, Lopez berdoa memohon petunjuk. Ia ingin melakukan lebih banyak pengabdian pada Tuhan. “Permintaan itu dijawab-Nya dengan memberiku seorang teman Muslim," katanya.
Ia beberapa kali mengajak teman Muslimnya itu ke gereja dan berpikir bahwa temannya akan terpengaruh dan menjadi seorang Kristen sepertinya.
Suatu saat, temannya mengatakan bahwa gereja adalah tempat yang bagus, tetapi ia menyayangkan kepercayaan jamaatnya yang memercayai Trinitas.
“Sayangnya, temanku salah menguraikan pengertian dari Trinitas itu. Aku hanya tertawa dan meralatnya,“ kata Lopez.
Lopez sempat berpikir tentang betapa fatalnya jika ia melakukan hal yang sama. Memberikan komentar soal agama lain yang tidak dipahami dengan baik adalah sesuatu yang dinilainya sebagai ucapan yang kurang berpendidikan.
Ia pun memutuskan mempelajari hal-hal mendasar tentang Islam. Lopez mulai menemukan persamaan antara Kristen dan Islam. Itu terjadi ketika ia mengetahui bahwa ternyata Yudaisme, Kristen, dan Islam berbagi kisah dan nabi serta ketiganya dapat diusut asal muasalnya ingga bertemu dalam silsilah sejarah yang sama.
“Sebenarnya, lebih banyak persamaan antara Kristen dan Islam dibanding perbedaan antara keduanya,“ kata Lopez.
Suatu hari, ia kagum dengan teman Muslimnya yang tidak malu berdoa dan shalat di tempat umum, dengan lutut dan kepala di atas lantai. “Sementara, aku bahkan terkadang malu untuk sekadar menundukkan kepala sambil memejamkan mata (berdoa) saat hendak makan di tempat-tempat umum.“
Di lain hari, teman Muslimnya kembali ikut serta pergi ke gereja bersama Lopez. Di tengah perjalanan dengan menggunakan mobil itu, temannya memohon izin memutar CD Al-Quran di mobilnya karena ia sedang mempersiapkan diri untuk shalat.
“Agar sopan, aku mengizinkannya. Selanjutnya, aku hanya ikut mendengarkan dan menyimaknya,“ kata Lopez.
Hal yang tidak diduga pun terjadi. Ia masih ingat bagaimana ayat-ayat Al-Qur'an yang didengarnya memunculkan sebuah perasaan aneh. Perasaan itu berbaur dengan kebingungan yang tak bisa dijelaskan.
“Aku tidak bisa memahami mengapa diriku bisa mengalami perasaan semacam itu terhadap sesuatu di luar Kristen," katanya.
Setelah beberapa lama pergolakan batin itu dirasakannya, Lopez akhirnya memutuskan untuk mengenal jauh tentang Islam. Namun, hingga hari penting itu, ia masih menyimpan perasaan takut. Hingga saat menyetir mobilnya, ia berdoa, “Tuhan, lebih baik aku mati dan dekat dengan-Mu daripada hidup selama satu hari, namun jauh dari-Mu.“
Lopez berpikir, mengalami kecelakaan mobil saat menuju Islamic Center San Diego untuk bersyahadat adalah membuktikan pilihan yang salah. Namun, ia tiba di tujuan dengan selamat, dan mengikrarkan keislamannya di hadapan publik.
Jumat itu, 28 Agustus 2008, beberapa hari menjelang Ramadhan, Lopez memeluk Islam. “Sejak itu, aku adalah seorang Muslim yang bahagia, yang mencintai shalat dan puasa. Keduanya mengajarkanku kedisiplinan sekaligus ketundukan kepada Tuhan," kenangnya mengingat perubahan terbaik dalam kehidupannya. [Sumber: Republika]