“Begini, Pak ustadz,” pejabat pemda itu mulai mengutarakan maksudnya, “teman saya malu karena anaknya hamil di luar nikah. Pacar yang mengh...
“Begini, Pak ustadz,” pejabat pemda itu mulai mengutarakan maksudnya, “teman saya malu karena anaknya hamil di luar nikah. Pacar yang menghamili anaknya lari, tak mau tanggung jawab. Sebenarnya teman saya ingin status saja, agar tidak malu. Asal ada yang mau menikahi, nanti dicerai tidak apa-apa. Ia malu kalau tetangganya ngrumpi anaknya hamil tanpa suami, apalagi kalau ia tidak bisa mendapatkan akta kelahiran karenanya…”
Hamil di luar nikah kini bukan hal yang langka lagi. Dan jika itu telah terjadi pada anak, orang tua baru malu, orang tua baru sadar bahwa selama ini ia gagal. Gagal mendidik putrinya, gagal menjaga anaknya. Atau bahkan, ia baru sadar bahwa selama ini ia tidak benar-benar menjaga anaknya; dari dosa yang mengantarkan menuju api neraka.
Menjaga anak dari api neraka, sejatinya adalah tugas orang tua. Khususnya, saat anak itu masih dalam tanggungjawabnya.
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (QS. At-Tahrim : 6)
“Sesungguhnya beban tanggungjawab seorang mukmin dalam dirinya dan keluarganya,” kata Sayyid Qutb dalam Fi Zhilalil Qur’an ketika menjelaskan ayat ini, “merupakan beban yang sangat berat dan menakutkan. Sebab, neraka telah menantinya di sana, dan ia beserta keluarganya terancam dengannya. Maka, merupakan kewajibannya membentengi diri dan keluarganya dari neraka yang selalu mengintainya.”
Lalu bagaimana kita menjaga mereka, buah hati kita? “Didiklah dan ajarilah mereka,” kata Ali bin Abu Thalib, seperti dikutip Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat ini. Ya, caranya adalah mentarbiyah mereka sejak dini. Agar mereka takut kepada Allah. Agar mereka beriman dan bertaqwa kepada-Nya. Agar mereka malu kepada-Nya.
Jika anak-anak telah memiliki rasa takut kepada Allah, mereka tak perlu lagi takut kepada kita untuk menjauhi dosa. Takut kepada orangtua, mungkin efektif ketika secara fisik orangtua hadir di depannya. Namun ketakutan itu tak mampu menghalanginya untuk berbuat maksiat secara sembunyi-sembunyi atau jauh dari pantauan orang tua. Berbeda dengan itu, takut kepada Allah tak terbatasi oleh ruang dan waktu. Karena Allah Maha mengetahui dan senantiasa terjaga. Takut kepada Allah membuatnya tak berani melakukan kemaksiatan baik di rumah atau di luar rumah, baik sendiri maupun berjamaah.
Jika anak-anak telah tumbuh keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah, cukuplah itu menjadi perisai baginya dari segala hal yang mendatangkan azab dan menyeret ke neraka. Ia lebih ampuh dari pemahaman bahwa seks bebas bisa mengakibatkan penyakit kelamin dan HIV/AIDS. Bahkan keimanan dan ketaqwaan membuatnya dengan tegas berkata “tidak!” untuk berpacaran.
Jika jiwa anak-anak telah dihiasi rasa malu kepada Allah, ia tak mungkin membuat orang tuanya malu karena memiliki cucu tanpa menantu. Rasa malu kepada Allah bahkan jauh lebih hebat dari rasa malu kepada orang tua dan tetangga. Sebab ia yakin Allah mengetahui segala-galanya, hingga detak pikiran dan bersit hatinya.
Kendala bagi banyak orang tua adalah keterbatasannya untuk mentarbiyah anak-anaknya. Ia tak bisa mengajari dan membina putrinya, sebagaimana ia sendiri tak mendalam ilmu agamanya. Sebagai solusinya, orang tua harus mentarbiyah anaknya sesuai kemampuannya, sambil ia juga terus belajar Islam lebih dalam dan segera mentransfer dengan cara terbaik kepada anak-anaknya. Di samping itu, orang tua memilihkan pendidikan yang mampu mentarbiyah anaknya dengan tarbiyah Islamiyah. Ini bisa berupa pesantren, sekolah Islam, atau majelis taklim. Mengikutkan anak-anak sejak dini agar aktif dalam halaqah, juga perlu dilakukan. Itu salah satu sarana efektif, di mana anak-anak kita dibimbing dan dibina oleh murabbi/yah yang akan mentarbiyahnya sama, atau bahkan lebih dari, anak kandung sendiri. [AM09]
Hamil di luar nikah kini bukan hal yang langka lagi. Dan jika itu telah terjadi pada anak, orang tua baru malu, orang tua baru sadar bahwa selama ini ia gagal. Gagal mendidik putrinya, gagal menjaga anaknya. Atau bahkan, ia baru sadar bahwa selama ini ia tidak benar-benar menjaga anaknya; dari dosa yang mengantarkan menuju api neraka.
Menjaga anak dari api neraka, sejatinya adalah tugas orang tua. Khususnya, saat anak itu masih dalam tanggungjawabnya.
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (QS. At-Tahrim : 6)
“Sesungguhnya beban tanggungjawab seorang mukmin dalam dirinya dan keluarganya,” kata Sayyid Qutb dalam Fi Zhilalil Qur’an ketika menjelaskan ayat ini, “merupakan beban yang sangat berat dan menakutkan. Sebab, neraka telah menantinya di sana, dan ia beserta keluarganya terancam dengannya. Maka, merupakan kewajibannya membentengi diri dan keluarganya dari neraka yang selalu mengintainya.”
Lalu bagaimana kita menjaga mereka, buah hati kita? “Didiklah dan ajarilah mereka,” kata Ali bin Abu Thalib, seperti dikutip Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat ini. Ya, caranya adalah mentarbiyah mereka sejak dini. Agar mereka takut kepada Allah. Agar mereka beriman dan bertaqwa kepada-Nya. Agar mereka malu kepada-Nya.
Jika anak-anak telah memiliki rasa takut kepada Allah, mereka tak perlu lagi takut kepada kita untuk menjauhi dosa. Takut kepada orangtua, mungkin efektif ketika secara fisik orangtua hadir di depannya. Namun ketakutan itu tak mampu menghalanginya untuk berbuat maksiat secara sembunyi-sembunyi atau jauh dari pantauan orang tua. Berbeda dengan itu, takut kepada Allah tak terbatasi oleh ruang dan waktu. Karena Allah Maha mengetahui dan senantiasa terjaga. Takut kepada Allah membuatnya tak berani melakukan kemaksiatan baik di rumah atau di luar rumah, baik sendiri maupun berjamaah.
Jika anak-anak telah tumbuh keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah, cukuplah itu menjadi perisai baginya dari segala hal yang mendatangkan azab dan menyeret ke neraka. Ia lebih ampuh dari pemahaman bahwa seks bebas bisa mengakibatkan penyakit kelamin dan HIV/AIDS. Bahkan keimanan dan ketaqwaan membuatnya dengan tegas berkata “tidak!” untuk berpacaran.
Jika jiwa anak-anak telah dihiasi rasa malu kepada Allah, ia tak mungkin membuat orang tuanya malu karena memiliki cucu tanpa menantu. Rasa malu kepada Allah bahkan jauh lebih hebat dari rasa malu kepada orang tua dan tetangga. Sebab ia yakin Allah mengetahui segala-galanya, hingga detak pikiran dan bersit hatinya.
Kendala bagi banyak orang tua adalah keterbatasannya untuk mentarbiyah anak-anaknya. Ia tak bisa mengajari dan membina putrinya, sebagaimana ia sendiri tak mendalam ilmu agamanya. Sebagai solusinya, orang tua harus mentarbiyah anaknya sesuai kemampuannya, sambil ia juga terus belajar Islam lebih dalam dan segera mentransfer dengan cara terbaik kepada anak-anaknya. Di samping itu, orang tua memilihkan pendidikan yang mampu mentarbiyah anaknya dengan tarbiyah Islamiyah. Ini bisa berupa pesantren, sekolah Islam, atau majelis taklim. Mengikutkan anak-anak sejak dini agar aktif dalam halaqah, juga perlu dilakukan. Itu salah satu sarana efektif, di mana anak-anak kita dibimbing dan dibina oleh murabbi/yah yang akan mentarbiyahnya sama, atau bahkan lebih dari, anak kandung sendiri. [AM09]