Cerita ini bermula ketika hendak melaksanakan Shalat Zuhur di Surau UNISSA hari ini, lima menit sebelum memasuki waktu Zuhur penulis sudah s...
Cerita ini bermula ketika hendak melaksanakan Shalat Zuhur di Surau UNISSA hari ini, lima menit sebelum memasuki waktu Zuhur penulis sudah sampai di Surau Universiti, Surau yang terasa sejuk itu hampa dari seorang Jemaah pun, maklumlah karena Univerisiti sedang cuti, majority penuntut[1] pun balik ke kampung halaman dan Negara masing-masing, ada yang balik ke Indonesia, Thailand, Singapore, bahkan ke Africa sekalipun, karena university kami adalah Univerisiti Islam Antar Bangsa di Tanah Melayu Islam Beraja[2] ini.
Sesampai di Mesjid penulis pun menyerukan “Panggilan Ilahi” atau “Nidaul Haq” yang agung itu, panggilan sekaligus pengakuan bahwa seluruh dunia beserta isinya sangatlah kecil dibandingkan dengan Alllah SWT. Suara Azan pun terdengar dengan merdunya, tapi sayang tidak sampai ke luar Surau, karena pembesar suara di Surau kami sudah tidak berfungsi untuk suara luarnya. Sudah lama rusak memang, tapi tidak juga di perbaiki, penulis tidak tahu penyebab nya, apakah budget yang tidak ada, atau sengaja karena ini hanyalah sebuah Surau kecil. Dan tidak mungkin juga karena budget, karena Negara ini cukup makmur dan kaya, Air Condition saja bisa berfungsi dengan baik yang membuat mesjid begitu sejuk, apalagi untuk memperbaiki sambungan ke pembesar suara.
Setelah mengumandangkan Azan, penulis pun melaksanakan Shalat “Sunnah Qabliyah” Zuhur dua rakaat. Tidak mau ketinggalan Sunnah dan perintah Qur`ani, penulispun membuka Mushaf dan membaca akhir Surah an-Nisa` ayat 23 sekaligus ayat penutup dari Juz ke empat di dalam al-Quranul Karim, yang bercerita tentang senarai wanita-wanita yang haram untuk dinikahi. Penulis membaca ayat ini berulang-ulang lebih kurang 30 menit lamanya.
Setelah 30 menit, barulah masuk seorang Belia Istimewa[3] kedalam Surau. Sesampai dipintu Belia itu membuka kasutnya, dan beristirahat sejenak melepaskan tinggi nafas nya menaiki tangga Surau Univeriti kami. Maklumlah dia beristirahat karena Dia seorang Belia Istimewa, kaki nya cacat dan pincang, berjalan dengan tidak lurus dan kaki nya yang cacat itu menahan badan nya yang cukup besar dan bugar.
Penulis pun terus membaca akhir Surat an-Nisa` dengan penuh Tadabbur dan Tafakkur, penulis merasakan betapa agungnya ajaran Islam untuk menjaga kemurnian keturunan dengan cara mengatur dan menjelaskan wanita-wanita yang haram dinikahi dalam Islam.
Setelah Belia Istimewa itu berwuduk, penulispun bertanya kepadanya: Kita shalat atau tunggu dulu jemaah yang lain? Dia pun menjawab: Kita shalat sahaja, karena sudah terlalu akhir shalat jemaah dan sudah menunggu kira kira 30 menit. Mendengar ucapan itu penulispun langsung mengumandangkan Iqamat dan kami pun Shalat Berjamaah dengan satu Imam dan satu Makmum sahaja.
Penulis mempersilahkan Belia Istimewa itu untuk menjadi Imam, dan Dia pun mejawab: Bagaimana dengan kaki kami ini ? penulis pun menjawab: Tidak lah mengapa menjadi imam.
Selesai melaksanakan Shalat Belia Istimewa itu pun berdoa dengan Bahasa Melayu dan penulis ikut mengaminkan nya: Dia meminta tiga hal sahaja; Ya Alllah berilah kami ilmu, Ya Allah berilah kami kekuatan untuk beribadah kepada-Mu, Ya Allah tunjukilah kami jalan yang lurus. Itulah tiga butir doa yang mengetuk Pintu Langit di siang itu.
Setelah berdoa, Belia itu bertanya; Bolehkah kita berdoa dengan Bahasa Melayu? Penulispun menjelaskan tentang doa yang sesuai dengan Sunnah Baginda, semestinya kita berdoa dengan Doa Ma`astur yang diajarkan oleh Baginda Nabi dengan Bahasa Arab, akan tetapi jika kita hendak berdoa dengan Bahasa Melayu pun, itu juga hal yang diperbolehkan karena Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana, apalagi doa itu bisa diresapi dengan sepenuh hati, karena paham akan makna dan maksudnya.
Kami pun saling bercerita tentang faedah Shalat Berjamaah dan menanamkan Khusu` dalam Shalat. Satu hal yang menarik dari Belia itu ketika bercerita tentang diri nya: Saya baru mendapatkan Hidayah, dahulu Saya tidak pernah melaksanakan Shalat, tapi Alhamduillah sekarang Saya sudah kenal dengan Allah dan Pencipta. Kemudian Belia Istimewa itu bercerita berkenaan dengan perihal Khusu` dalam Shalat: Saya punya Sahabat yang sudah berumur 58 tahun, dia tidak mau shalat dengan alasan tidak bisa Khusu` ketika hendak melaksanakan shalat. Akhirnya penulispun kembali menjelaskan perkara-perkara terkait dengan masalah itu dan Dia pun memahaminya.
Akhirnya kami melaksanakan Shalat Sunnnah Ba`diah Zuhur dua raka`at. Sebelum berpisah Belia itu kembali bertanya kepada penulis, dan ini lah hal yang sangat menyentuh hati sanubari penulis. Belia itu bertanya: “Anda Penuntut Agama, apalagi Penuntut Master, tentulah lebih paham Agama dibandingkan Saya, Saya ini hanya seorang Pustakawan, dan Saya ini juga Anak Istimewa, kaki Saya cacat dan sulit untuk berjalan, kenapa Anda mempersilahkan Saya yang menjadi Imam ketika Shalat?”
Mendengar pertanyaan yang keluar dari hati Seorang Mukmin Istimewa itu, penulispun tertagun untuk menjawab nya, karena sangat dalam sekali makna dari pertanyaan itu. Penulis pun menjawab dengan nada kagum kepada Belia itu: “Walaupun Biskita[4] secara fizikal seorang yang cacat, Anak Istimewa, dan berjalan pun sangat sulit, Biskita lebih baik seribu ganda bagi Saya dari Mereka yang sehat dan berpangkat tinggi di University ini, karena Biskita mau memenuhi Panggilan Ilahi untuk shalat berjemaah ke Surau, sedangkan kondisi Biskita seperti ini. Allah memuliakan dan memilih biskita untuk mau datang memenuhi panggilan nya, kenapa Saya makhluk yang Dhaif ini tidak memuliakan Biskita? Biskita mulia dan tinggi di sisi Allah, apa alasan Saya untuk tidak memuliakan biskita? Cara untuk memuliakan biskita hanya dengan mempersilahkan Biskita menjadi Imam” Mendengar jawaban itu Mukmin Istimewa itu pun merasa puas dengan kondisinya dan merasakan betapa Allah sangat memuliakan nya.
[1] Mahasiswa
[2] Ideology Negara Brunei Darussalam (MIB: Melayu islam Beraja)
[3] Belia: Pemuda, Istimewa: Cacat
Penulis : Rijal Mahdi Tanjung
PIP PKS Brunei
Kandidat Master Universiti Islam Sultan Sharif Ali (Translation Studies) – Brunei Darussalam