Judul buku : Dakwah dan Manajemen Isu Penulis : Eko Novianto Penerbit : PT. Era Adicitra Intermedia Cetakan ke : 1 Tahun terbit : Ramadh...
Judul buku : Dakwah dan Manajemen Isu
Penulis : Eko Novianto
Penerbit : PT. Era Adicitra Intermedia
Cetakan ke : 1
Tahun terbit : Ramadhan 1432 H/Agustus 2011
Dimensi : xviii + 214 hlm., 21 cm
***
Semakin tinggi sebuah pohon, semakin kuat angin menerpanya. Demikian pula perjalanan dakwah. Semakin ia meningkat dan bertambah luas jangkauannya, semakin kencang tantangan yang dihadapinya. Diantaranya adalah, semakin gencarnya isu-isu yang akan dihantamkan kepadanya.
Apalagi ketika dakwah berada di medan siyasi. Satu langkah yang benar bisa diisukan sebagai sebuah hal yang keliru. Misalnya dakwah mengamanahkan pemimpin muda untuk memimpin sebuah kota; dikembangkanlah isu ia tak akan mampu. Sebaliknya, saat dakwah menerjunkan kader terbaik, isu lain diluncurkan; bukankah tak pantas level dia “turun kasta.” Demikian pula saat dakwah berpihak pada umat, isu lain lagi yang dihembuskan; cari muka, kaki dua, dan sebagainya.
Yang lebih sering dan relatif berbahaya adalah, jika isu telah didesain dengan matang untuk diarahkan secara personal kepada qiyadah dakwah. Entah itu dalam hal kapasitas, meragukan komitmen dan keikhlasan, harta serta jabatan, dan sebagainya.
Kita patut bersyukur bahwa tarbiyah telah membentuk kita menjadi pribadi yang tak mudah dipengaruhi oleh fitnah dan isu. Namun kita tak bisa menutup mata bahwa sebagian dari kita termakan oleh fitnah dan isu-isu itu. Hingga ada yang kini berpisah, futur, atau setidaknya ragu-ragu. Karenanya kita perlu membangun sikap yang tepat dalam menghadapi isu yang dihantamkan kepada gerakan sehingga ia tak mempengaruhi kebersamaan. Sekaligus, bagaimana mengelola isu itu agar semakin menguatkan dakwah serta menjadi berkah bagi soliditas jamaah. Buku Dakwah dan Manajemen Isu yang ditulis Eko Novianto ini bisa menjadi teman belajar kita memupuk keduanya.
Pada prawacana, buku ini menyadarkan kita bahwa mihwar muasasi yang menekankan kerja di bidang politik membawa efek atau resiko merebaknya isu negatif. Semakin terbuka gerakan dakwah, semakin mudah musuh-musuhnya menembakkan panah. Tetapi itulah sunnah dakwah dan asholahnya, ia harus menjadi seruan terbuka untuk semua orang, untuk semua golongan. Ia harus meluas menjangkau segala lapisan. Ia harus terus bergerak mengakses segala bidang. Termasuk politik. Termasuk pemerintahan. Biar semua yang berhak menerima dakwah menerimanya. Biar tak ada hujjah bahwa seseorang tak pernah mendengar seruan. Dan biar rahmat Islam benar-benar tersebar ke seluruh alam.
Hal paling krusial untuk dapat menghadapi isu adalah masalah ilmu. Sekokoh apa pemahaman dan pondasi ilmu, sekokoh itulah ia menghadapi guncangan isu. Perkembangan dan kebaruan dalam dakwah adalah keniscayaan. Namun bersamanya akan timbul isu; ada yang berangkat dari keragu-raguan dan ada yang memang dihembuskan dari luar barisan. Perkembangan dan kebaruan itu merupakan kemajuan yang disambut oleh mereka yang pondasi ilmunya telah terbangun sebelum amal, tetapi ia bisa menjadi menyulitkan dan menghebohkan bagi mereka yang termakan isu akibat miskin ilmu. Karenanya, ilmu harus menjadi prioritas kita sebelum amal. Ini mengharuskan kita lebih serius dan perhatian kepada proses tarbiyah; di mana pondasi-pondasi ilmu itu ditanam dalam-dalam dan pilar-pilar pemahaman dipancangkan.
Hal kedua untuk menghadapi dan mengelola isu, yang bisa kita garis bawahi dari buku Dakwah dan Manajemen Isu ini adalah syura. Bukan hanya menjadikannya sebagai mekanisme dalam mengambil keputusan, tetapi juga memposisikannya sebagai mata air pergerakan; di mana segala langkah struktur dan kader berangkat dari sana dan tak ada yang berlawanan arus dengannya. Ini membutuhkan kualitas yang terus harus ditingkatkan, baik kualitas peserta syura maupun syura itu sendiri. Proses syura harus benar dengan memberikan kebebasan kepada seluruh anggota syura untuk berpendapat dan mengemukakan gagasan. Tentu banyak ragam gagasan dan justru karena itu diperlukan syura yang memilih hal terbaik dan menyatukan kebaikan. Setelah hasil didapatkan, itulah yang harus dilakukan. Diskusi ada dalam proses syura, namun setelah disepakati hasilnya yang ada hanya sami’na wa atha’na. Lalu isu-isu yang direkayasa musuh terhadap dan setelahnya takkan berpengaruh apa-apa.
Bagaimana jika isu datang sementara kita belum mengantisipasinya dengan syura? Setiap kader dakwah sebenarnya memiliki kemampuan menganalisis isu itu, meskipun kadar kemampuan seorang kader berbeda dengan kader lainnya. Tergantung faktor kecerdasan dan kecepatan berpikir, intuisi, bakat personal dan lainnya. Menganalisis isu berarti menyelidiki isu itu, menguraikannya, menghubungkannya dengan ilmu dan fakta, hingga mengidentifikasi kebenarannya atau cara mensikapinya. Jika belum cukup kesempatan menganalisis sebuah isu, potonglah ia dengan pertanyaan cerdas untuk menghindari desakan mempercayainya. Terhadap isu seperti itu, kader dakwah perlu melakukan beberapa sikap utama: menyadari pihak yang kerap menyebar isu, husnudzan pada qiyadah dan saudara seperjuangan, tak ikut menyebarkan berita yang belum jelas kebenarannya, menghentikan lajunya dengan pertanyaan cerdas, dan mengembangkan sikap waspada agar tak ikut menyebarkannya tanpa sadar.
Buku ini juga mengingatkan kembali agar kita membudayakan tabayun, khususnya terhadap isu yang menyasar qiyadah atau personal ikhwah. Melaui tabayun kita mendapatkan kejelasan sekaligus keselamatan; dari buruk sangka dan merenggangnya ukhuwah kita. Dan jika ternyata melalui tabayun kita mendapati kader dakwah bersalah, ingatkanlah. Jangan biarkan kesalahan kecil kader dakwah menjadi hal besar yang merusak jamaah akibat ulah musuh-musuh dakwah menjadikannya bahan untuk melontar fitnah; satu fakta kebenaran dibumbui seratus kebohongan agar umat hilang simpati atas dakwah ini.
Tentu masih banyak hal menarik dalam buku Dakwah dan Manajemen Isu ini, diantaranya tentang musyarakah, mengatasi kekecewaan di jalan dakwah, kepemimpinan kharismatik dalam transformasi gerakan tarbiyah, hingga tugas struktur dakwah. Selamat membaca. [Muchlisin]
Penulis : Eko Novianto
Penerbit : PT. Era Adicitra Intermedia
Cetakan ke : 1
Tahun terbit : Ramadhan 1432 H/Agustus 2011
Dimensi : xviii + 214 hlm., 21 cm
***
Semakin tinggi sebuah pohon, semakin kuat angin menerpanya. Demikian pula perjalanan dakwah. Semakin ia meningkat dan bertambah luas jangkauannya, semakin kencang tantangan yang dihadapinya. Diantaranya adalah, semakin gencarnya isu-isu yang akan dihantamkan kepadanya.
Apalagi ketika dakwah berada di medan siyasi. Satu langkah yang benar bisa diisukan sebagai sebuah hal yang keliru. Misalnya dakwah mengamanahkan pemimpin muda untuk memimpin sebuah kota; dikembangkanlah isu ia tak akan mampu. Sebaliknya, saat dakwah menerjunkan kader terbaik, isu lain diluncurkan; bukankah tak pantas level dia “turun kasta.” Demikian pula saat dakwah berpihak pada umat, isu lain lagi yang dihembuskan; cari muka, kaki dua, dan sebagainya.
Yang lebih sering dan relatif berbahaya adalah, jika isu telah didesain dengan matang untuk diarahkan secara personal kepada qiyadah dakwah. Entah itu dalam hal kapasitas, meragukan komitmen dan keikhlasan, harta serta jabatan, dan sebagainya.
Kita patut bersyukur bahwa tarbiyah telah membentuk kita menjadi pribadi yang tak mudah dipengaruhi oleh fitnah dan isu. Namun kita tak bisa menutup mata bahwa sebagian dari kita termakan oleh fitnah dan isu-isu itu. Hingga ada yang kini berpisah, futur, atau setidaknya ragu-ragu. Karenanya kita perlu membangun sikap yang tepat dalam menghadapi isu yang dihantamkan kepada gerakan sehingga ia tak mempengaruhi kebersamaan. Sekaligus, bagaimana mengelola isu itu agar semakin menguatkan dakwah serta menjadi berkah bagi soliditas jamaah. Buku Dakwah dan Manajemen Isu yang ditulis Eko Novianto ini bisa menjadi teman belajar kita memupuk keduanya.
Pada prawacana, buku ini menyadarkan kita bahwa mihwar muasasi yang menekankan kerja di bidang politik membawa efek atau resiko merebaknya isu negatif. Semakin terbuka gerakan dakwah, semakin mudah musuh-musuhnya menembakkan panah. Tetapi itulah sunnah dakwah dan asholahnya, ia harus menjadi seruan terbuka untuk semua orang, untuk semua golongan. Ia harus meluas menjangkau segala lapisan. Ia harus terus bergerak mengakses segala bidang. Termasuk politik. Termasuk pemerintahan. Biar semua yang berhak menerima dakwah menerimanya. Biar tak ada hujjah bahwa seseorang tak pernah mendengar seruan. Dan biar rahmat Islam benar-benar tersebar ke seluruh alam.
Hal paling krusial untuk dapat menghadapi isu adalah masalah ilmu. Sekokoh apa pemahaman dan pondasi ilmu, sekokoh itulah ia menghadapi guncangan isu. Perkembangan dan kebaruan dalam dakwah adalah keniscayaan. Namun bersamanya akan timbul isu; ada yang berangkat dari keragu-raguan dan ada yang memang dihembuskan dari luar barisan. Perkembangan dan kebaruan itu merupakan kemajuan yang disambut oleh mereka yang pondasi ilmunya telah terbangun sebelum amal, tetapi ia bisa menjadi menyulitkan dan menghebohkan bagi mereka yang termakan isu akibat miskin ilmu. Karenanya, ilmu harus menjadi prioritas kita sebelum amal. Ini mengharuskan kita lebih serius dan perhatian kepada proses tarbiyah; di mana pondasi-pondasi ilmu itu ditanam dalam-dalam dan pilar-pilar pemahaman dipancangkan.
Hal kedua untuk menghadapi dan mengelola isu, yang bisa kita garis bawahi dari buku Dakwah dan Manajemen Isu ini adalah syura. Bukan hanya menjadikannya sebagai mekanisme dalam mengambil keputusan, tetapi juga memposisikannya sebagai mata air pergerakan; di mana segala langkah struktur dan kader berangkat dari sana dan tak ada yang berlawanan arus dengannya. Ini membutuhkan kualitas yang terus harus ditingkatkan, baik kualitas peserta syura maupun syura itu sendiri. Proses syura harus benar dengan memberikan kebebasan kepada seluruh anggota syura untuk berpendapat dan mengemukakan gagasan. Tentu banyak ragam gagasan dan justru karena itu diperlukan syura yang memilih hal terbaik dan menyatukan kebaikan. Setelah hasil didapatkan, itulah yang harus dilakukan. Diskusi ada dalam proses syura, namun setelah disepakati hasilnya yang ada hanya sami’na wa atha’na. Lalu isu-isu yang direkayasa musuh terhadap dan setelahnya takkan berpengaruh apa-apa.
Bagaimana jika isu datang sementara kita belum mengantisipasinya dengan syura? Setiap kader dakwah sebenarnya memiliki kemampuan menganalisis isu itu, meskipun kadar kemampuan seorang kader berbeda dengan kader lainnya. Tergantung faktor kecerdasan dan kecepatan berpikir, intuisi, bakat personal dan lainnya. Menganalisis isu berarti menyelidiki isu itu, menguraikannya, menghubungkannya dengan ilmu dan fakta, hingga mengidentifikasi kebenarannya atau cara mensikapinya. Jika belum cukup kesempatan menganalisis sebuah isu, potonglah ia dengan pertanyaan cerdas untuk menghindari desakan mempercayainya. Terhadap isu seperti itu, kader dakwah perlu melakukan beberapa sikap utama: menyadari pihak yang kerap menyebar isu, husnudzan pada qiyadah dan saudara seperjuangan, tak ikut menyebarkan berita yang belum jelas kebenarannya, menghentikan lajunya dengan pertanyaan cerdas, dan mengembangkan sikap waspada agar tak ikut menyebarkannya tanpa sadar.
Buku ini juga mengingatkan kembali agar kita membudayakan tabayun, khususnya terhadap isu yang menyasar qiyadah atau personal ikhwah. Melaui tabayun kita mendapatkan kejelasan sekaligus keselamatan; dari buruk sangka dan merenggangnya ukhuwah kita. Dan jika ternyata melalui tabayun kita mendapati kader dakwah bersalah, ingatkanlah. Jangan biarkan kesalahan kecil kader dakwah menjadi hal besar yang merusak jamaah akibat ulah musuh-musuh dakwah menjadikannya bahan untuk melontar fitnah; satu fakta kebenaran dibumbui seratus kebohongan agar umat hilang simpati atas dakwah ini.
Tentu masih banyak hal menarik dalam buku Dakwah dan Manajemen Isu ini, diantaranya tentang musyarakah, mengatasi kekecewaan di jalan dakwah, kepemimpinan kharismatik dalam transformasi gerakan tarbiyah, hingga tugas struktur dakwah. Selamat membaca. [Muchlisin]