Dakwah bukanlah jalan yang bertabur bunga dan selalu diiringi sorak sorai tanda gembira menyambutnya. Dakwah kadang berhadapan dengan cela...
Dakwah bukanlah jalan yang bertabur bunga dan selalu diiringi sorak sorai tanda gembira menyambutnya. Dakwah kadang berhadapan dengan celaan dan cacian. Atau tuduhan dan kecurigaan. Terlebih, jika dakwah tersebut dikelola oleh jamaah yang berbentuk partai.
“Ah, sama saja dengan partai yang lain, menghalalkan segala cara.”
“Islam hanya dipakai sebagai jualan. Nyatanya tidak benar-benar memperjuangkan Islam.”
“Terang saja suka baksos dan membantu korban bencana, pasti agar dapat banyak suara.”
Kalimat-kalimat semacam itu dan sejenisnya mungkin pernah Anda temui ketika Anda berdakwah dan beraktifitas sosial. Mungkin itu merupakan salah satu –meminjam istilah Burhanuddin Muhtadi- “dilema” bagi partai politik yang juga gerakan sosial. Partai politik yang juga partai dakwah.
Orang yang tidak sabar dengan celaan semacam itu mungkin saja akan merespon berlebihan, yang justru menjadi kontraproduktif dengan dakwah yang ia lakukan. Celaan sebenarnya adalah sebentuk kritik yang jika kita sikapi dengan kedewasaan dan kebijaksanaan, akan melahirkan perbaikan internal bagi gerakan kita, bahkan tidak menutup kemungkinan, akan mendatangkan simpati orang tadinya mencela. Dan celaan tak boleh membuat kita surut beramal. Tunjukkan peningkatan kualitas amal, terus bekerja walau ada yang mencela.
Para ulama yang jauh lebih dulu berdakwah sebelum kita juga mengalami celaan. Mereka dicela, bahkan dicerca. Tetapi mereka menjawabnya dengan penuh bijaksana.
Imam Asy-Sya’bi adalah salah satunya. Beliau mengajarkan hikmah yang luar biasa. Suatu saat, Imam Asy-Sya’bi dicela seseorang. Beliau pun menanggapinya dengan tenang: ”Jika aku seperti yang engkau katakan semoga Allah mengampuniku. Namun jika aku tidak seperti yang engkau katakan semoga Allah mengampunimu.” [Jundijustice]
“Ah, sama saja dengan partai yang lain, menghalalkan segala cara.”
“Islam hanya dipakai sebagai jualan. Nyatanya tidak benar-benar memperjuangkan Islam.”
“Terang saja suka baksos dan membantu korban bencana, pasti agar dapat banyak suara.”
Kalimat-kalimat semacam itu dan sejenisnya mungkin pernah Anda temui ketika Anda berdakwah dan beraktifitas sosial. Mungkin itu merupakan salah satu –meminjam istilah Burhanuddin Muhtadi- “dilema” bagi partai politik yang juga gerakan sosial. Partai politik yang juga partai dakwah.
Orang yang tidak sabar dengan celaan semacam itu mungkin saja akan merespon berlebihan, yang justru menjadi kontraproduktif dengan dakwah yang ia lakukan. Celaan sebenarnya adalah sebentuk kritik yang jika kita sikapi dengan kedewasaan dan kebijaksanaan, akan melahirkan perbaikan internal bagi gerakan kita, bahkan tidak menutup kemungkinan, akan mendatangkan simpati orang tadinya mencela. Dan celaan tak boleh membuat kita surut beramal. Tunjukkan peningkatan kualitas amal, terus bekerja walau ada yang mencela.
Para ulama yang jauh lebih dulu berdakwah sebelum kita juga mengalami celaan. Mereka dicela, bahkan dicerca. Tetapi mereka menjawabnya dengan penuh bijaksana.
Imam Asy-Sya’bi adalah salah satunya. Beliau mengajarkan hikmah yang luar biasa. Suatu saat, Imam Asy-Sya’bi dicela seseorang. Beliau pun menanggapinya dengan tenang: ”Jika aku seperti yang engkau katakan semoga Allah mengampuniku. Namun jika aku tidak seperti yang engkau katakan semoga Allah mengampunimu.” [Jundijustice]