Mencintai memang sarat makna dan rasa. Tak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Mencintai berarti perjuangan dan pengorbanan. Mau berlelah...
Mencintai memang sarat makna dan rasa. Tak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Mencintai berarti perjuangan dan pengorbanan. Mau berlelah-lelah hingga memetik hasil yang baik. Tidak sekedar baik, tetapi juga indah dan spektakuler. Begitulah energi cinta beraksi, yang semuanya tidak dapat diterjemahkan dengan goresan pena semata. Hanya Ia-lah yang sanggup memaknai dengan sebenar-benar makna. Ya, karena cinta itu milik-Nya, Ia-lah yang mampu menghidupkannya dan mengokohkannya, layaknya pohon yang menjulang tinggi, yang siapapun tak sanggup menumbangkannya tanpa kehendak-Nya. Ya, karena cinta-Nya, semua ini ada dan memberi makna terhadap kita.
Dengan cinta, apapun bisa diterobos, dilalui, dan diterjang walau sekuat apapun hadangan ombak, sebesar apapun gelombang penderitaan yang menyapa kita, dan serumit apapun persoalan-persoalan yang menerpa kita. Sesungguhnya, dengan cinta takkan ada dusta, dengan cinta takkan ada nista, dan dengan cinta takkan ada bandingannya kekokohan kita, karena cinta dari-Nya. Ya, karena cinta yang seperti itu hanya bisa kita raih dari-Nya dan kita pun hanya bisa memperolehnya dengan kekuatan cinta dari-Nya.
Cinta yang abadi adalah cinta yang hakiki. Cinta yang hakiki berasal dari Ilahi dan itu telah dihantarkan oleh panutan kita yang terbaik sepanjang masa, Rasulullah SAW. Beliau SAW menghantarkan cinta itu dengan perjuangan yang begitu hebat. Betapa tidak? Siang dan malam tidak henti-hentinya beliau SAW menyeru kepada umatnya untuk bisa merasakan nikmatnya mencintai-Nya. Untuk bisa menikmati celupan agama Islam ini yang diridhoi-Nya. Untuk bisa merasakan ketenangan batin dan kebahagiaan jiwa. Untuk bisa nantinya merasakan keabadian di ujung sana, surga-Nya. Untuk bisa merasakan indahnya berukhuwah. Indahnya berlomba-lomba dalam kebaikan. Indahnya menolong dan membina orang lain. Dan yang paling penting adalah beliau melakukan ini karena kecintaan beliau murni kepada-Nya, yang telah mengaruniai begitu banyak nikmat kepada beliau, termasuk dijaminkan surge oleh-Nya. Nikmat yang tak mampu lagi kata-kata ini melukiskannya.
“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” QS. Al-Ahzab ayat 21)
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman! Bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya.” (QS. Al-Ahzab ayat 56)
Beliau SAW amat tidak tega bila melihat umatnya berjalan terseok-seok di jembatan Shirathalmustaqim kelak. Beliau amat tidak rela bila kita, sebagai umatnya, mendapatkan siksaan yang amat pedih di akhirat nanti. Beliau juga amat tidak ingin umatnya sengsara menghadapi hari akhir nanti, di mana dikumpulkan segala macam bukti perbuatan kita, baik perbuatan baik maupun perbuatan buruk. Juga, beliau amat ingin kita bersanding dengan beliau di surga-Nya, menjadi para tentara Allah di dunia, dan mereguk kenikmatan yang abadi di akhirat nanti. Berdampingan juga di majelis-majelis yang Allah SWT muliakan kelak. Majelis-majelis yang penuh dengan kebahagiaan dan cahaya keridhoan dari-Nya. Bayangkan sahabat, sungguh betapa cintanya beliau SAW kepada kita, umatnya ini. Beliau rela bersebrangan dengan para anggota keluarganya yang belum mau menerima cahaya Islam. Beliau juga berlapang dada ketika dijauhi oleh sanak saudara dan dianggap orang “gila”. Beliau juga berlapang dada ketika para pamannya, seperti Abu Lahab, Abu Sufyan, dan Abu Jahal beserta keluarganya, menghinanya dan mengganggunya. Pun, beliau ridho menerima bahwa kedua putrinya, Ruqayyah dan Ummu Kaltsum, diceraikan oleh kedua suaminya, yaitu Utbah dan Utaibah, putra dari Abu Lahab. Beliau juga ridho diolok-olok oleh kaum kafir Quraisy yang membencinya. Juga, beliau berlapang dada dan bersabar ketika dicaci maki dan dihujat sana-sini oleh orang-orang di sekelilingnya. Pun, beliau ridho ketika sekembalinya dari Thaif menuju Makah (karena tidak jadi berhijrah ke sana) dilempari batu oleh orang-orang yang tidak menyukai beliau SAW. Bayangkan sahabat, betapa tak ternilai pengorbanan beliau SAW dan para sahabat di masa itu, demi agar kita, umatnya, bisa meraih ketinggian agama Islam ini. Betapa kokoh dan gigihnya beliau SAW dan para sahabat berjuang menghadapi berbagai macam goncangan dan benturan di kala itu. Betapa perih dan pedihnya jalan-jalan yang beliau SAW dan para sahabat lewati di jalan dakwah ini. Dan pula, betapa kuatnya ketahanan ruhiyah beliau SAW dan para sahabat miliki dalam melalui hari-hari yang penuh dengan rintangan dan cobaan di masa itu. Semua itu dilakukan hanya untuk-Nya dan juga untuk kita, umatnya, yang beliau amat kasihi dan tidak rela bila kita merasakan kesulitan dan kesusahan kelak, baik di dunia dan di akhirat.
Lantas, bila sedemikian keras dan uletnya beliau SAW dan para sahabat berjuang demi kita, umatnya, layakkah kita menyia-nyiakan perjuangan mereka? Layakkah kita berleha-leha tidak mau menyambung dakwah ini? Pantaskah kita saat ini berdiam diri demi hanya untuk memenuhi kepentingan pribadi semata? Layakkah kita mengubur impian-impian para pendahulu kita – semoga Allah selalu merahmati mereka – yang telah dipancangkan begitu harum dan tinggi tentang keberkahan umat yang mereka sayangi?
Tentu tidak sahabat. Betapa lemahnya diri ini bila tidak mau melanjutkan perjuangan beliau. Betapa kita sebenarnya telah mengecewakan para pendahulu kita bila kita tidak berupaya dengan sungguh-sungguh dalam membumikan dakwah ini. Betapa kita tidak tahu berterima kasih kepada para pendahulu kita, yang kita cintai, yang telah mengorbankan harta dan jiwa mereka sepenuhnya demi dakwah ini. Betapa kita telah menyia-nyiakan segala nikmat yang kita terima bila kita tidak bersungguh-sungguh bersama-sama mengusung panji dakwah ini.
Renungkanlah sahabat, atas perjuangan-perjuangan kita belakangan ini. Sudahkah kita berupaya dengan seoptimal mungkin? Sudahkah kita memberikan waktu-waktu utama yang kita miliki hanya untuk dakwah ini? Sudahkah perjuangan-perjuangan kita dirasakan manfaatnya oleh saudara-saudara kita semua? Renungkanlah sahabat.
Maka hendaknya kita selalu mengintrospeksi diri, bermuhasabah, atas segala upaya dakwah yang telah kita lakukan saat ini. Bersama-sama dengan saudara-saudara kita yang lain, mari kita terus berjuang tiada henti, tinggalkan rasa malas, dan tingkatkan produktivitas dakwah kita agar kita bisa melihat wajah-Nya dan bersanding dengan beliau SAW beserta para pendahulu kita.
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).” QS. Al-Anfal ayat 60)
[]Dengan cinta, apapun bisa diterobos, dilalui, dan diterjang walau sekuat apapun hadangan ombak, sebesar apapun gelombang penderitaan yang menyapa kita, dan serumit apapun persoalan-persoalan yang menerpa kita. Sesungguhnya, dengan cinta takkan ada dusta, dengan cinta takkan ada nista, dan dengan cinta takkan ada bandingannya kekokohan kita, karena cinta dari-Nya. Ya, karena cinta yang seperti itu hanya bisa kita raih dari-Nya dan kita pun hanya bisa memperolehnya dengan kekuatan cinta dari-Nya.
Cinta yang abadi adalah cinta yang hakiki. Cinta yang hakiki berasal dari Ilahi dan itu telah dihantarkan oleh panutan kita yang terbaik sepanjang masa, Rasulullah SAW. Beliau SAW menghantarkan cinta itu dengan perjuangan yang begitu hebat. Betapa tidak? Siang dan malam tidak henti-hentinya beliau SAW menyeru kepada umatnya untuk bisa merasakan nikmatnya mencintai-Nya. Untuk bisa menikmati celupan agama Islam ini yang diridhoi-Nya. Untuk bisa merasakan ketenangan batin dan kebahagiaan jiwa. Untuk bisa nantinya merasakan keabadian di ujung sana, surga-Nya. Untuk bisa merasakan indahnya berukhuwah. Indahnya berlomba-lomba dalam kebaikan. Indahnya menolong dan membina orang lain. Dan yang paling penting adalah beliau melakukan ini karena kecintaan beliau murni kepada-Nya, yang telah mengaruniai begitu banyak nikmat kepada beliau, termasuk dijaminkan surge oleh-Nya. Nikmat yang tak mampu lagi kata-kata ini melukiskannya.
“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” QS. Al-Ahzab ayat 21)
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman! Bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya.” (QS. Al-Ahzab ayat 56)
Beliau SAW amat tidak tega bila melihat umatnya berjalan terseok-seok di jembatan Shirathalmustaqim kelak. Beliau amat tidak rela bila kita, sebagai umatnya, mendapatkan siksaan yang amat pedih di akhirat nanti. Beliau juga amat tidak ingin umatnya sengsara menghadapi hari akhir nanti, di mana dikumpulkan segala macam bukti perbuatan kita, baik perbuatan baik maupun perbuatan buruk. Juga, beliau amat ingin kita bersanding dengan beliau di surga-Nya, menjadi para tentara Allah di dunia, dan mereguk kenikmatan yang abadi di akhirat nanti. Berdampingan juga di majelis-majelis yang Allah SWT muliakan kelak. Majelis-majelis yang penuh dengan kebahagiaan dan cahaya keridhoan dari-Nya. Bayangkan sahabat, sungguh betapa cintanya beliau SAW kepada kita, umatnya ini. Beliau rela bersebrangan dengan para anggota keluarganya yang belum mau menerima cahaya Islam. Beliau juga berlapang dada ketika dijauhi oleh sanak saudara dan dianggap orang “gila”. Beliau juga berlapang dada ketika para pamannya, seperti Abu Lahab, Abu Sufyan, dan Abu Jahal beserta keluarganya, menghinanya dan mengganggunya. Pun, beliau ridho menerima bahwa kedua putrinya, Ruqayyah dan Ummu Kaltsum, diceraikan oleh kedua suaminya, yaitu Utbah dan Utaibah, putra dari Abu Lahab. Beliau juga ridho diolok-olok oleh kaum kafir Quraisy yang membencinya. Juga, beliau berlapang dada dan bersabar ketika dicaci maki dan dihujat sana-sini oleh orang-orang di sekelilingnya. Pun, beliau ridho ketika sekembalinya dari Thaif menuju Makah (karena tidak jadi berhijrah ke sana) dilempari batu oleh orang-orang yang tidak menyukai beliau SAW. Bayangkan sahabat, betapa tak ternilai pengorbanan beliau SAW dan para sahabat di masa itu, demi agar kita, umatnya, bisa meraih ketinggian agama Islam ini. Betapa kokoh dan gigihnya beliau SAW dan para sahabat berjuang menghadapi berbagai macam goncangan dan benturan di kala itu. Betapa perih dan pedihnya jalan-jalan yang beliau SAW dan para sahabat lewati di jalan dakwah ini. Dan pula, betapa kuatnya ketahanan ruhiyah beliau SAW dan para sahabat miliki dalam melalui hari-hari yang penuh dengan rintangan dan cobaan di masa itu. Semua itu dilakukan hanya untuk-Nya dan juga untuk kita, umatnya, yang beliau amat kasihi dan tidak rela bila kita merasakan kesulitan dan kesusahan kelak, baik di dunia dan di akhirat.
Lantas, bila sedemikian keras dan uletnya beliau SAW dan para sahabat berjuang demi kita, umatnya, layakkah kita menyia-nyiakan perjuangan mereka? Layakkah kita berleha-leha tidak mau menyambung dakwah ini? Pantaskah kita saat ini berdiam diri demi hanya untuk memenuhi kepentingan pribadi semata? Layakkah kita mengubur impian-impian para pendahulu kita – semoga Allah selalu merahmati mereka – yang telah dipancangkan begitu harum dan tinggi tentang keberkahan umat yang mereka sayangi?
Tentu tidak sahabat. Betapa lemahnya diri ini bila tidak mau melanjutkan perjuangan beliau. Betapa kita sebenarnya telah mengecewakan para pendahulu kita bila kita tidak berupaya dengan sungguh-sungguh dalam membumikan dakwah ini. Betapa kita tidak tahu berterima kasih kepada para pendahulu kita, yang kita cintai, yang telah mengorbankan harta dan jiwa mereka sepenuhnya demi dakwah ini. Betapa kita telah menyia-nyiakan segala nikmat yang kita terima bila kita tidak bersungguh-sungguh bersama-sama mengusung panji dakwah ini.
Renungkanlah sahabat, atas perjuangan-perjuangan kita belakangan ini. Sudahkah kita berupaya dengan seoptimal mungkin? Sudahkah kita memberikan waktu-waktu utama yang kita miliki hanya untuk dakwah ini? Sudahkah perjuangan-perjuangan kita dirasakan manfaatnya oleh saudara-saudara kita semua? Renungkanlah sahabat.
Maka hendaknya kita selalu mengintrospeksi diri, bermuhasabah, atas segala upaya dakwah yang telah kita lakukan saat ini. Bersama-sama dengan saudara-saudara kita yang lain, mari kita terus berjuang tiada henti, tinggalkan rasa malas, dan tingkatkan produktivitas dakwah kita agar kita bisa melihat wajah-Nya dan bersanding dengan beliau SAW beserta para pendahulu kita.
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).” QS. Al-Anfal ayat 60)
Penulis : Shabrina Farha Nisa
Mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB)
Program Studi Kimia - angkatan 2008