Di zaman sekarang, sangat sulit menemukan sosok pemimpin negara atau pemimpin daerah yang rela hidup sederhana demi kebaikan rakyatnya. ...
Di zaman sekarang, sangat sulit menemukan sosok pemimpin negara atau pemimpin daerah yang rela hidup sederhana demi kebaikan rakyatnya. Namun, tidak demikian dengan 4 Gubernur yang memegang prinsip hidup zuhud ini:
1. Abu Ubaidah
Di masa Khalifah Abu Bakar, Abu Ubaidah diangkat sebagai gubernur Syam. Jabatan ini ia emban hingga masa khalifah Umar bin Khatab.
Ketika Khalifah Umar bin Khatab hendak berkunjung ke rumahnya, Abu Ubaidah menolak. “Aku takut engkau tak kuasa menahan air matamu jika mengetahui keadaanku,” jawab sang Gubernur. Namun, Umar tetap memaksa.
Sesampainya di rumah Abu Ubaidah, Umar bin Khatab terkejut menyaksikan pemandangan di depannya. Rumah sederhana itu kosong melompong, tanpa perabotan. Umar hanya mendapatkan sebuah ranjang, sepotong kain lusuh dan sebuah piring besar.
“Apakah kau mempunyai makanan?” tanya Umar. Lalu Abu Ubaidah berdiri dari duduknya, menuju ranjang dan mengambil arang yang ada di dalamnya.
Umar pun menangis seperti yang dikhawatirkan Abu Ubaidah. “Wahai Amirul mukminin, bukankah sudah kukatakan bahwa kau ke sini hanya untuk menangis?” Umar pun menjawab,”Ya Abu Ubaidah, banyak sekali diantara kita orang yang tertipu oleh godaan dunia.”
2. Sa’id bin Amir Al Jumahi
Meskipun menjadi seorang gubernur, Sa’id tergolong orang miskin yang dimasukkan sebagai orang yang layak disantuni. Ketika mengetahui itu, khalifah Umar menitipkan sekantung uang berisi 1.000 dinar kepada petugas untuk disampaikan kepada Sa’id. Apa yang dilakukan Sa’id dengan uang itu? Ia membagi-bagikannya kepada warganya yang miskin. Habis sama sekali.
Ketika Umar melakukan inspeksi mendadak ke kota Himsa, penduduk di sana mengadukan Sa’id. “Kami mengeluhkan empat hal dari Sa’id. Ia selalu keluar setelah siang, ia tidak melayani siapapun di malam hari, dalam sebulan ada satu hari ia tidak bisa ditemui dan terkadang ia pingsan saat bersama kami.” Umar terkejut. Lalu ia pun menggelar pertemuan akbar agar Sa’id menjelaskannya.
“Aku tidak memiliki pembantu, karenanya aku membuat roti sendiri. Setelah jadi, baru aku wudhu dan keluar. Kedua, aku menjadikan siangku untuk melayani rakyat, tetapi malamku hanya untuk Allah. Ketiga, aku tidak memiliki pakaian lain, maka kucuci pakaian ini dan kutunggu hingga kering sehingga hari itu aku tidak bisa menemui warga. Dan keempat, aku menyaksikan Khubaib disiksa sewaktu aku masih kafir, di Makkah, dan aku tak bisa menolongnya. Setiap ingat itu, akupun pingsan.”
3. Umair bin Sa’ad
Umair diangkat Umar sebagai gubernur Homs. Setahun masa jabatannya, tak ada kabar dan juga tak ada sepeserpun pajak yang disetorkannya ke Madinah. Melalui sebuah surat, Umar pun memanggilnya.
Beberapa waktu kemudian datanglah seseorang berjalan kaki memasuki Madinah. Rambutnya kusut, tubuhnya berdebu. Di pundak kanannya ada sebuah kantung kulit dan pada pundak kirinya ada kendi tempat air. Ternyata lelaki itu adalah Umair. Ia datang menghadap Umar.
“Bagaimana keadaanmu?” tanya Umar. “Alhamdulillah aku sehat, dunia di tanganku dan dapat kukendalikan semauku.”
“Apa yang kau bawa?”
“Ini adalah bekalku. Piring tempat aku makan. Gelas tempat minum dan wudhu. Serta tongkat untuk bertelekan dan melawan musuh, jika menghadang.”
“Bagaimana dengan Homs?”
“Aku telah mendatangi negeri yang Anda perintahkan itu. Kukumpulkan penduduknya yang shalih untuk menjadi mengurus pemungutan pajak dan kekayaan negara. Jika telah terkumpul, kukembalikan kepada warga sebagaimana hak mereka. Jika ada lebihnya, tentulah aku kirim ke sini.”
Umar puas dengan jawaban Umair, juga puas dengan kezuhudannya yang bahkan tidak memiliki kendaraan untuk datang ke Madinah. Umar pun memperpanjang amanah Umair sebagai gubernur. Namun, dengan tegas Umair menolaknya.
4. Umar bin Abdul Aziz
Sebelum menjadi khalifah, Umar bin Abdul Aziz adalah seorang gubernur Madinah. Ketika diangkat sebagai gubernur, usianya baru 25 tahun. Ia pun mengumpulkan para ulama sebagai penasehatnya dan mengumumkan akan melakukan perbaikan di segala bidang.
Ketegasan Umar menjadikan Madinah yang dipimpinnya sebagai daerah teladan. Ia pun kemudian dipercaya untuk memimpin seluruh wilayah Hijaz yang meliputi Makkah, Madinah, Thaif dan sekitarnya.
Umar bin Abdul Aziz sama sekali tidak mau menggunakan uang negara untuk keperluan pribadinya. Suatu ketika di musim dingin ia sedang junub dan pembantunya membawakan air panas.
“Di mana kau memanaskannya?”
“Di dapur umum”
Mendengar jawaban itu, Umar tidak mau mandi. Karena menurutnya, dapur umum yang dibiayai negara bukanlah haknya. Ia memaksa akan mandi dengan air dingin. Tetapi karena khawatir Umar sakit, orang tersebut menyarankan Umar untuk memakai air itu dengan menggantinya dengan sejumlah uang ke baitul mal. Umar bin Abdul Aziz pun setuju. [Disarikan dari Majalah Hidayatullah edsi Dzulhijjah 1429]
1. Abu Ubaidah
Di masa Khalifah Abu Bakar, Abu Ubaidah diangkat sebagai gubernur Syam. Jabatan ini ia emban hingga masa khalifah Umar bin Khatab.
Ketika Khalifah Umar bin Khatab hendak berkunjung ke rumahnya, Abu Ubaidah menolak. “Aku takut engkau tak kuasa menahan air matamu jika mengetahui keadaanku,” jawab sang Gubernur. Namun, Umar tetap memaksa.
Sesampainya di rumah Abu Ubaidah, Umar bin Khatab terkejut menyaksikan pemandangan di depannya. Rumah sederhana itu kosong melompong, tanpa perabotan. Umar hanya mendapatkan sebuah ranjang, sepotong kain lusuh dan sebuah piring besar.
“Apakah kau mempunyai makanan?” tanya Umar. Lalu Abu Ubaidah berdiri dari duduknya, menuju ranjang dan mengambil arang yang ada di dalamnya.
Umar pun menangis seperti yang dikhawatirkan Abu Ubaidah. “Wahai Amirul mukminin, bukankah sudah kukatakan bahwa kau ke sini hanya untuk menangis?” Umar pun menjawab,”Ya Abu Ubaidah, banyak sekali diantara kita orang yang tertipu oleh godaan dunia.”
2. Sa’id bin Amir Al Jumahi
Meskipun menjadi seorang gubernur, Sa’id tergolong orang miskin yang dimasukkan sebagai orang yang layak disantuni. Ketika mengetahui itu, khalifah Umar menitipkan sekantung uang berisi 1.000 dinar kepada petugas untuk disampaikan kepada Sa’id. Apa yang dilakukan Sa’id dengan uang itu? Ia membagi-bagikannya kepada warganya yang miskin. Habis sama sekali.
Ketika Umar melakukan inspeksi mendadak ke kota Himsa, penduduk di sana mengadukan Sa’id. “Kami mengeluhkan empat hal dari Sa’id. Ia selalu keluar setelah siang, ia tidak melayani siapapun di malam hari, dalam sebulan ada satu hari ia tidak bisa ditemui dan terkadang ia pingsan saat bersama kami.” Umar terkejut. Lalu ia pun menggelar pertemuan akbar agar Sa’id menjelaskannya.
“Aku tidak memiliki pembantu, karenanya aku membuat roti sendiri. Setelah jadi, baru aku wudhu dan keluar. Kedua, aku menjadikan siangku untuk melayani rakyat, tetapi malamku hanya untuk Allah. Ketiga, aku tidak memiliki pakaian lain, maka kucuci pakaian ini dan kutunggu hingga kering sehingga hari itu aku tidak bisa menemui warga. Dan keempat, aku menyaksikan Khubaib disiksa sewaktu aku masih kafir, di Makkah, dan aku tak bisa menolongnya. Setiap ingat itu, akupun pingsan.”
3. Umair bin Sa’ad
Umair diangkat Umar sebagai gubernur Homs. Setahun masa jabatannya, tak ada kabar dan juga tak ada sepeserpun pajak yang disetorkannya ke Madinah. Melalui sebuah surat, Umar pun memanggilnya.
Beberapa waktu kemudian datanglah seseorang berjalan kaki memasuki Madinah. Rambutnya kusut, tubuhnya berdebu. Di pundak kanannya ada sebuah kantung kulit dan pada pundak kirinya ada kendi tempat air. Ternyata lelaki itu adalah Umair. Ia datang menghadap Umar.
“Bagaimana keadaanmu?” tanya Umar. “Alhamdulillah aku sehat, dunia di tanganku dan dapat kukendalikan semauku.”
“Apa yang kau bawa?”
“Ini adalah bekalku. Piring tempat aku makan. Gelas tempat minum dan wudhu. Serta tongkat untuk bertelekan dan melawan musuh, jika menghadang.”
“Bagaimana dengan Homs?”
“Aku telah mendatangi negeri yang Anda perintahkan itu. Kukumpulkan penduduknya yang shalih untuk menjadi mengurus pemungutan pajak dan kekayaan negara. Jika telah terkumpul, kukembalikan kepada warga sebagaimana hak mereka. Jika ada lebihnya, tentulah aku kirim ke sini.”
Umar puas dengan jawaban Umair, juga puas dengan kezuhudannya yang bahkan tidak memiliki kendaraan untuk datang ke Madinah. Umar pun memperpanjang amanah Umair sebagai gubernur. Namun, dengan tegas Umair menolaknya.
4. Umar bin Abdul Aziz
Sebelum menjadi khalifah, Umar bin Abdul Aziz adalah seorang gubernur Madinah. Ketika diangkat sebagai gubernur, usianya baru 25 tahun. Ia pun mengumpulkan para ulama sebagai penasehatnya dan mengumumkan akan melakukan perbaikan di segala bidang.
Ketegasan Umar menjadikan Madinah yang dipimpinnya sebagai daerah teladan. Ia pun kemudian dipercaya untuk memimpin seluruh wilayah Hijaz yang meliputi Makkah, Madinah, Thaif dan sekitarnya.
Umar bin Abdul Aziz sama sekali tidak mau menggunakan uang negara untuk keperluan pribadinya. Suatu ketika di musim dingin ia sedang junub dan pembantunya membawakan air panas.
“Di mana kau memanaskannya?”
“Di dapur umum”
Mendengar jawaban itu, Umar tidak mau mandi. Karena menurutnya, dapur umum yang dibiayai negara bukanlah haknya. Ia memaksa akan mandi dengan air dingin. Tetapi karena khawatir Umar sakit, orang tersebut menyarankan Umar untuk memakai air itu dengan menggantinya dengan sejumlah uang ke baitul mal. Umar bin Abdul Aziz pun setuju. [Disarikan dari Majalah Hidayatullah edsi Dzulhijjah 1429]