Di era informasi seperti sekarang ini, informasi barangkali menjadi satu-satunya hal gratis yang bisa didapatkan oleh semua orang. Begitu b...
Di era informasi seperti sekarang ini, informasi barangkali menjadi satu-satunya hal gratis yang bisa didapatkan oleh semua orang. Begitu banyak informasi yang bisa kita dapatkan dari begitu banyak sumber, dan – dengan kemajuan teknologi informasi yang sangat pesat – perkembangan suatu isu atau berita dapat berkembang dalam hitungan menit.
Begitu mudahnya mendapatkan informasi, sampai-sampai informasi menjadi suatu hal yang sangat diwaspadai oleh sebagian kalangan. Sikap ini bisa mewujud dalam bentuk paranoid, namun adakalanya juga berada dalam kadar yang sehat untuk diikuti. Sederhananya, menerima semua informasi itu sama bodohnya dengan menolak semua informasi.
Bagi umat Muslim, QS. al-Hujuraat ayat ke-6 menjadi salah satu referensi penting dalam menghadapi ‘badai informasi’. Ayat tersebut menetapkan bahwa berita yang dibawa oleh orang-orang fasik tidak boleh ditelan bulat-bulat, melainkan harus diperiksa terlebih dahulu. Tentu saja, prinsip ini didahului dengan asumsi bahwa berita tersebut dianggap cukup penting. Kalau informasi yang dibawa hanya seputar kehidupan pribadi artis bejat, misalnya, maka kasus ini semestinya dimasukkan dalam bab ghibah. Atau, kalau ada orang yang mengatakan bahwa kiamat akan terjadi tanggal sekian, maka berita ini pun tak perlu ditanggapi serius, sebab sesungguhnya tidak ada manusia yang tahu jadwal kiamat.
Prinsip di atas bisa jadi berbenturan dengan prinsip argumen ala Barat, karena jika kita menyaring informasi berdasarkan karakter pribadi pembawanya, maka kita akan disebut telah melakukan ad hominem, alias ‘serangan terhadap pribadi, bukan pada argumen’. Di sinilah letak perbedaan cara berpikir seorang Muslim dengan orang sekuler yang mengadopsi cara berpikir orang Barat. Dalam pandangan orang Barat, sah-sah saja seorang Karl Marx – yang tidak pandai mengurus ekonomi rumah tangganya sendiri itu – mengungkapkan teori-teorinya soal ekonomi dunia. Ketika bicara soal agama, orang Barat malah mendengarkan Sigmund Freud yang berpendapat bahwa agama itu neurotis, atau bahkan Nietzsche yang sangat anti agama dan anti Tuhan. Lain halnya dengan umat Muslim yang jelas tidak akan mau mendengarkan taushiyah dari seseorang yang tidak pernah shalat atau tidak bisa membaca al-Qur’an. Oleh karena itu, memperhatikan sumber berita adalah suatu perkara yang teramat penting dalam khazanah Islam.
Dalam pemberitaan di tanah air, khususnya di dunia politik, suatu bentuk informasi yang lebih khusus, yaitu analisis, memiliki porsi yang cukup signifikan. Praktis, setiap kali ada kasus politik yang besar dan dianggap menarik, maka bisa dipastikan akan muncul beragam analisis yang bisa diakses oleh siapa saja. Tinggallah masyarakat Indonesia yang harus pandai-pandai menyaring analisis mana yang dapat digunakan dan mana yang sepatutnya berada di keranjang sampah. Tapi apakah semuanya itu memang analisis?
Kasus dugaan korupsi impor daging sapi yang menimpa Luthfi Hasan Ishaaq belakangan ini dapat menjadi studi kasus yang baik. Ridwan Saidi, misalnya, dalam sebuah acara di suatu stasiun televisi swasta, menyatakan keprihatinannya, karena baru kali inilah presiden sebuah partai Islam dituduh mencuri. Ia pun memperbandingkan dengan kasus H.O.S. Cokroaminoto atau Moh. Natsir yang keduanya sempat juga berurusan dengan hukum, tapi bukan dalam kasus pencurian. Sayangnya, sejarawan-budayawan senior ini nampaknya lebih larut dengan keprihatinannya sendiri, sehingga melupakan sebuah fakta penting yang semestinya menjadi bahan analisisnya, yaitu bahwa status Luthfi masihlah sebagai tersangka. Sudah banyak ulama yang menjadi tersangka dengan tuduhan yang jauh lebih keji. Ambillah contoh Buya Hamka yang mendekam dua tahun di penjara atas kejahatan yang tak pernah ia lakukan. Kalau mau ambil contoh yang ‘lebih dekat’, kita bisa flashback mengingat sebagian kalangan yang mencemooh PKS ketika Misbakhun – salah satu anggota DPR dari partai ini – tersandung kasus Century. Akan tetapi, proses hukum toh tidak benar-benar selesai sampai di situ. Kalau pun sudah dihukum, bisa jadi di kemudian hari dinyatakan tak bersalah, sebagaimana Natsir dahulu dianggap pemberontak, namun kini sudah resmi menjadi Pahlawan Nasional RI. Kalau pun vonis tetap dijatuhkan dan tidak diralat, opini publik bisa saja berbeda. Sayyid Quthb, misalnya, sudah dijatuhi hukuman gantung, namun toh masih banyak yang memujinya. Inilah keruwetan yang terjadi jika kita tidak bisa benar-benar mempercayai para penegak hukum. Di Indonesia, ketidakpercayaan semacam ini tentu bukan barang baru.
Analis lain mengatakan bahwa cara PKS menghadapi masalah terlalu defensif. Semestinya, PKS membiarkan saja proses hukum berjalan dan tak perlu mengangkat isu konspirasi dan semacamnya. Menurut sebagian analis ini, sikap PKS akan merusak kepercayaan publik, dan sebagai konsekuensinya, elektabilitas PKS akan menurun tajam pada Pemilu 2014.
Dalam salah satu stasiun televisi swasta, pembawa acaranya mengatakan bahwa basis massa PKS itu fundamentalis dan tradisionalis. Narasumbernya, yaitu Hamdi Muluk, membenarkan pendapat ini, seraya menambahkan bahwa konstituen PKS lainnya, yaitu yang berasal dari ‘golongan menengah yang rasional dan cerdas’, akan merasa kecewa melihat manuver-manuver PKS belakangan ini. Kesimpulan akhirnya sama, yaitu bahwa PKS akan kehilangan banyak suara pada Pemilu 2014.
Marilah kita rehat sejenak dari semua informasi di atas dan membahas makna “analisis” itu sendiri. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “analisis” berarti:
1penyelidikan thd suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dsb) untuk mengetahui keadaan yg sebenarnya (sebab-musabab, duduk perkaranya, dsb);
Dari pengertian di atas, kita dapat memahami bahwa ada suatu hal penting yang mesti mendahului analisis, yaitu adanya fakta atau peristiwa yang tidak terbantahkan. Untuk memahami fakta itulah dilakukan analisis. Jika kita memandang suatu peristiwa, kemudian meramalkan apa yang akan terjadi, maka itu adalah suatu hal yang semestinya ditempatkan sesudah analisis, yaitu prediksi. Mengenai kata “prediksi”, KBBI hanya menyandingkannya dengan dua sinonimnya, yaitu “ramalan” dan “prakiraan”.
Dari pengertian di atas, kita dapat memahami bahwa ada suatu hal penting yang mesti mendahului analisis, yaitu adanya fakta atau peristiwa yang tidak terbantahkan. Untuk memahami fakta itulah dilakukan analisis. Jika kita memandang suatu peristiwa, kemudian meramalkan apa yang akan terjadi, maka itu adalah suatu hal yang semestinya ditempatkan sesudah analisis, yaitu prediksi. Mengenai kata “prediksi”, KBBI hanya menyandingkannya dengan dua sinonimnya, yaitu “ramalan” dan “prakiraan”.
Mengenai kasus dugaan korupsi impor daging sapi, sampai tulisan ini dibuat, faktanya belum terungkap. Oleh karena itu, mereka yang dianggap terlibat masih disebut “tersangka”, dan bukannya “terpidana”. Dengan demikian, analisis yang tepat untuk diberikan dalam kasus ini adalah, misalnya, seputar kejadian penangkapan AF dan M, tuduhan yang dialamatkan kepada Luthfi Hasan Ishaaq, seluk-beluk peraturan impor daging sapi, dan sebagainya. Analisis yang terlampau jauh, yang bahkan melampaui ketukan palu hakim, bukanlah analisis yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.
Dengan memberi penekanan bahwa analisis haruslah bersandar pada fakta yang berlaku di lapangan, maka pernyataan bahwa elektabilitas PKS akan turun drastis di Pemilu 2014 semestinya dimasukkan dalam kategori prediksi, bukan analisis. Sebab, peristiwanya belum tentu terjadi. Sah-sah saja membuat prediksi, namun selama hal yang diramalkan belum terjadi, maka ia tetaplah hanya sebuah prediksi. Jika faktanya berbeda dengan ramalan, maka itulah prediksi yang meleset, dan ini pun tidak jarang terjadi.
PKS, di satu sisi, adalah ‘kesayangan’ media. Sebab, apa pun yang terjadi padanya akan senantiasa menjadi bahan analisis dan prediksi. Bukan sekali dua kali PKS diprediksikan ‘terjun bebas’. Pada Pemilu 2004 dan 2009, banyak yang memprediksi bahwa PKS akan kehilangan banyak suara. Pada kenyataannya, perolehan suara PKS tetap stabil meski dilanda ‘badai Demokrat’, bahkan jumlah anggota legislatifnya di DPR terus bertambah. Tentu saja, prediksi orang tentang nasib PKS di 2014 sah belaka, namun sebelum waktunya tiba, ia tetaplah sebuah prediksi, bukan fakta.
Pernyataan bahwa sikap PKS memperlihatkan gaya defensif yang akan merusak kepercayaan publik adalah sebuah opini, dan mungkin juga bisa disebut sebagai prediksi jika dikaitkan dengan Pemilu 2014. Begitu juga pernyataan bahwa konstituen PKS yang berasal dari ‘golongan menengah yang rasional’ akan kecewa juga merupakan opini dan menyiratkan sebuah prediksi. Keduanya bukan analisis, sebab faktanya tidak ada. Jika hendak disahkan sebagai analisis, maka ia semestinya mengacu pada fakta di lapangan.
Jika, misalnya, ada aksi bakar Kartu Tanda Anggota (KTA) dan atribut PKS disertai pernyataan ramai-ramai keluar dari PKS, maka seorang analis boleh membuat kesimpulan bahwa para peserta aksi adalah kader-kader PKS yang kecewa dengan partainya. Nah, di sinilah para analis boleh memutar otaknya untuk menjelaskan sebab-sebab di balik kekecewaan itu, tentunya dengan berbagai metode yang valid. Atau, jika Pemilu 2014 telah digelar, dan perolehan suara PKS memang terjun bebas, maka para analis boleh menyajikan berbagai macam analisisnya. Sekali lagi, adanya fakta di lapangan menjadi alasan yang kuat untuk melakukan analisis. Jika faktanya belum ada, maka ia adalah prediksi.
Jika kita melihat perkembangan di lapangan, yang terjadi justru sebaliknya. Di satu sisi, memang banyak yang menghujat PKS. Akan tetapi, yang menghujat PKS nampaknya memang pihak-pihak yang sejak dulu tidak simpati pada PKS. Dibenci oleh kelompok yang tak pernah mencintai sejak awal tentu bukan alasan yang tepat untuk membuat kesimpulan bahwa PKS telah ‘ditinggalkan konstituennya’. Sebaliknya, PKS justru tampil tidak seperti kelompok yang babak belur dihakimi massa. Sehari sesudah Luthfi Hasan Ishaaq menghuni Rutan Guntur, Majelis Syura PKS sudah menerima pengunduran diri beliau dan menunjuk Anis Matta sebagai penggantinya. Anis, segera setelah dilantik, tidak menghabiskan waktu dengan bermelankoli, melainkan malah menyampaikan orasi politik yang berapi-api dan disebut-sebut sebagai orasi yang sangat menggetarkan hati seluruh kader PKS yang menyaksikannya. Setelah itu, Anis langsung menyibukkan diri dengan melakukan konsolidasi kader di berbagai wilayah, dan kegiatan-kegiatan ini selalu penuh sesak dihadiri massa PKS.
Dari berbagai wilayah, muncul laporan bahwa kader PKS justru meningkat secara signifikan, bukannya berkurang. Para pengurus di berbagai level menerima pertanyaan seputar prosedur untuk menjadi kader PKS, bahkan ada yang langsung mendaftarkan diri beramai-ramai, dan ada juga yang langsung memberikan sumbangan dalam jumlah besar. Semua ini terjadi karena PKS adalah partai kader dan partai dakwah sekaligus. Dengan demikian, perubahan yang diperjuangkan oleh PKS dapat dengan mudah dilihat dan dirasakan oleh masyarakat. Karena itu, meski berbagai komentar negatif bermunculan di media massa, masyarakat yang melihat langsung aksi-aksi para kader PKS tidak banyak terpengaruh.
Menariknya, fakta lapangan ini luput begitu saja dari pantauan para ‘analis’. Padahal, mereka yang menyebut dirinya analis semestinya akrab dengan fakta-fakta dan mampu memisahkannya dari opini, apalagi prediksi. Meskipun prediksi memang boleh dan wajar saja dikemukakan oleh seorang analis, namun prediksi itu semestinya berpijak pada analisis berdasarkan fakta, dan bukannya berdasarkan opininya sendiri. Hilangnya suara konstituen PKS bukanlah fakta, dan berbagai efek yang disebut-sebut akan terjadi akibat sikap PKS tidak lebih dari sebuah prediksi.
Lebih mengenaskan lagi, kiranya, jika seorang analis telah berubah menjadi propagandis; bukannya menyajikan analisis yang berdasarkan fakta, ia malah mempropagandakan opininya sendiri agar situasi di lapangan berubah sesuai keinginannya. Kredibilitas media massa sesungguhnya dipertaruhkan di sini. Sudahkah media-media itu menyajikan analisis secara ilmiah? Apakah media sudah memberikan tempat untuk para analis menyatakan pendapatnya secara adil, dan bukannya terus-menerus mengulang opini yang sama – bukan analisis – dengan memberi tempat pada analis dan opini ‘yang itu-itu saja’? Apakah media massa benar-benar bekerja untuk menyajikan fakta-fakta, ataukah hendak menebar propaganda?[]
Begitu mudahnya mendapatkan informasi, sampai-sampai informasi menjadi suatu hal yang sangat diwaspadai oleh sebagian kalangan. Sikap ini bisa mewujud dalam bentuk paranoid, namun adakalanya juga berada dalam kadar yang sehat untuk diikuti. Sederhananya, menerima semua informasi itu sama bodohnya dengan menolak semua informasi.
Bagi umat Muslim, QS. al-Hujuraat ayat ke-6 menjadi salah satu referensi penting dalam menghadapi ‘badai informasi’. Ayat tersebut menetapkan bahwa berita yang dibawa oleh orang-orang fasik tidak boleh ditelan bulat-bulat, melainkan harus diperiksa terlebih dahulu. Tentu saja, prinsip ini didahului dengan asumsi bahwa berita tersebut dianggap cukup penting. Kalau informasi yang dibawa hanya seputar kehidupan pribadi artis bejat, misalnya, maka kasus ini semestinya dimasukkan dalam bab ghibah. Atau, kalau ada orang yang mengatakan bahwa kiamat akan terjadi tanggal sekian, maka berita ini pun tak perlu ditanggapi serius, sebab sesungguhnya tidak ada manusia yang tahu jadwal kiamat.
Prinsip di atas bisa jadi berbenturan dengan prinsip argumen ala Barat, karena jika kita menyaring informasi berdasarkan karakter pribadi pembawanya, maka kita akan disebut telah melakukan ad hominem, alias ‘serangan terhadap pribadi, bukan pada argumen’. Di sinilah letak perbedaan cara berpikir seorang Muslim dengan orang sekuler yang mengadopsi cara berpikir orang Barat. Dalam pandangan orang Barat, sah-sah saja seorang Karl Marx – yang tidak pandai mengurus ekonomi rumah tangganya sendiri itu – mengungkapkan teori-teorinya soal ekonomi dunia. Ketika bicara soal agama, orang Barat malah mendengarkan Sigmund Freud yang berpendapat bahwa agama itu neurotis, atau bahkan Nietzsche yang sangat anti agama dan anti Tuhan. Lain halnya dengan umat Muslim yang jelas tidak akan mau mendengarkan taushiyah dari seseorang yang tidak pernah shalat atau tidak bisa membaca al-Qur’an. Oleh karena itu, memperhatikan sumber berita adalah suatu perkara yang teramat penting dalam khazanah Islam.
Dalam pemberitaan di tanah air, khususnya di dunia politik, suatu bentuk informasi yang lebih khusus, yaitu analisis, memiliki porsi yang cukup signifikan. Praktis, setiap kali ada kasus politik yang besar dan dianggap menarik, maka bisa dipastikan akan muncul beragam analisis yang bisa diakses oleh siapa saja. Tinggallah masyarakat Indonesia yang harus pandai-pandai menyaring analisis mana yang dapat digunakan dan mana yang sepatutnya berada di keranjang sampah. Tapi apakah semuanya itu memang analisis?
Kasus dugaan korupsi impor daging sapi yang menimpa Luthfi Hasan Ishaaq belakangan ini dapat menjadi studi kasus yang baik. Ridwan Saidi, misalnya, dalam sebuah acara di suatu stasiun televisi swasta, menyatakan keprihatinannya, karena baru kali inilah presiden sebuah partai Islam dituduh mencuri. Ia pun memperbandingkan dengan kasus H.O.S. Cokroaminoto atau Moh. Natsir yang keduanya sempat juga berurusan dengan hukum, tapi bukan dalam kasus pencurian. Sayangnya, sejarawan-budayawan senior ini nampaknya lebih larut dengan keprihatinannya sendiri, sehingga melupakan sebuah fakta penting yang semestinya menjadi bahan analisisnya, yaitu bahwa status Luthfi masihlah sebagai tersangka. Sudah banyak ulama yang menjadi tersangka dengan tuduhan yang jauh lebih keji. Ambillah contoh Buya Hamka yang mendekam dua tahun di penjara atas kejahatan yang tak pernah ia lakukan. Kalau mau ambil contoh yang ‘lebih dekat’, kita bisa flashback mengingat sebagian kalangan yang mencemooh PKS ketika Misbakhun – salah satu anggota DPR dari partai ini – tersandung kasus Century. Akan tetapi, proses hukum toh tidak benar-benar selesai sampai di situ. Kalau pun sudah dihukum, bisa jadi di kemudian hari dinyatakan tak bersalah, sebagaimana Natsir dahulu dianggap pemberontak, namun kini sudah resmi menjadi Pahlawan Nasional RI. Kalau pun vonis tetap dijatuhkan dan tidak diralat, opini publik bisa saja berbeda. Sayyid Quthb, misalnya, sudah dijatuhi hukuman gantung, namun toh masih banyak yang memujinya. Inilah keruwetan yang terjadi jika kita tidak bisa benar-benar mempercayai para penegak hukum. Di Indonesia, ketidakpercayaan semacam ini tentu bukan barang baru.
Analis lain mengatakan bahwa cara PKS menghadapi masalah terlalu defensif. Semestinya, PKS membiarkan saja proses hukum berjalan dan tak perlu mengangkat isu konspirasi dan semacamnya. Menurut sebagian analis ini, sikap PKS akan merusak kepercayaan publik, dan sebagai konsekuensinya, elektabilitas PKS akan menurun tajam pada Pemilu 2014.
Dalam salah satu stasiun televisi swasta, pembawa acaranya mengatakan bahwa basis massa PKS itu fundamentalis dan tradisionalis. Narasumbernya, yaitu Hamdi Muluk, membenarkan pendapat ini, seraya menambahkan bahwa konstituen PKS lainnya, yaitu yang berasal dari ‘golongan menengah yang rasional dan cerdas’, akan merasa kecewa melihat manuver-manuver PKS belakangan ini. Kesimpulan akhirnya sama, yaitu bahwa PKS akan kehilangan banyak suara pada Pemilu 2014.
Marilah kita rehat sejenak dari semua informasi di atas dan membahas makna “analisis” itu sendiri. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “analisis” berarti:
1penyelidikan thd suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dsb) untuk mengetahui keadaan yg sebenarnya (sebab-musabab, duduk perkaranya, dsb);
Dari pengertian di atas, kita dapat memahami bahwa ada suatu hal penting yang mesti mendahului analisis, yaitu adanya fakta atau peristiwa yang tidak terbantahkan. Untuk memahami fakta itulah dilakukan analisis. Jika kita memandang suatu peristiwa, kemudian meramalkan apa yang akan terjadi, maka itu adalah suatu hal yang semestinya ditempatkan sesudah analisis, yaitu prediksi. Mengenai kata “prediksi”, KBBI hanya menyandingkannya dengan dua sinonimnya, yaitu “ramalan” dan “prakiraan”.
Dari pengertian di atas, kita dapat memahami bahwa ada suatu hal penting yang mesti mendahului analisis, yaitu adanya fakta atau peristiwa yang tidak terbantahkan. Untuk memahami fakta itulah dilakukan analisis. Jika kita memandang suatu peristiwa, kemudian meramalkan apa yang akan terjadi, maka itu adalah suatu hal yang semestinya ditempatkan sesudah analisis, yaitu prediksi. Mengenai kata “prediksi”, KBBI hanya menyandingkannya dengan dua sinonimnya, yaitu “ramalan” dan “prakiraan”.
Mengenai kasus dugaan korupsi impor daging sapi, sampai tulisan ini dibuat, faktanya belum terungkap. Oleh karena itu, mereka yang dianggap terlibat masih disebut “tersangka”, dan bukannya “terpidana”. Dengan demikian, analisis yang tepat untuk diberikan dalam kasus ini adalah, misalnya, seputar kejadian penangkapan AF dan M, tuduhan yang dialamatkan kepada Luthfi Hasan Ishaaq, seluk-beluk peraturan impor daging sapi, dan sebagainya. Analisis yang terlampau jauh, yang bahkan melampaui ketukan palu hakim, bukanlah analisis yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.
Dengan memberi penekanan bahwa analisis haruslah bersandar pada fakta yang berlaku di lapangan, maka pernyataan bahwa elektabilitas PKS akan turun drastis di Pemilu 2014 semestinya dimasukkan dalam kategori prediksi, bukan analisis. Sebab, peristiwanya belum tentu terjadi. Sah-sah saja membuat prediksi, namun selama hal yang diramalkan belum terjadi, maka ia tetaplah hanya sebuah prediksi. Jika faktanya berbeda dengan ramalan, maka itulah prediksi yang meleset, dan ini pun tidak jarang terjadi.
PKS, di satu sisi, adalah ‘kesayangan’ media. Sebab, apa pun yang terjadi padanya akan senantiasa menjadi bahan analisis dan prediksi. Bukan sekali dua kali PKS diprediksikan ‘terjun bebas’. Pada Pemilu 2004 dan 2009, banyak yang memprediksi bahwa PKS akan kehilangan banyak suara. Pada kenyataannya, perolehan suara PKS tetap stabil meski dilanda ‘badai Demokrat’, bahkan jumlah anggota legislatifnya di DPR terus bertambah. Tentu saja, prediksi orang tentang nasib PKS di 2014 sah belaka, namun sebelum waktunya tiba, ia tetaplah sebuah prediksi, bukan fakta.
Pernyataan bahwa sikap PKS memperlihatkan gaya defensif yang akan merusak kepercayaan publik adalah sebuah opini, dan mungkin juga bisa disebut sebagai prediksi jika dikaitkan dengan Pemilu 2014. Begitu juga pernyataan bahwa konstituen PKS yang berasal dari ‘golongan menengah yang rasional’ akan kecewa juga merupakan opini dan menyiratkan sebuah prediksi. Keduanya bukan analisis, sebab faktanya tidak ada. Jika hendak disahkan sebagai analisis, maka ia semestinya mengacu pada fakta di lapangan.
Jika, misalnya, ada aksi bakar Kartu Tanda Anggota (KTA) dan atribut PKS disertai pernyataan ramai-ramai keluar dari PKS, maka seorang analis boleh membuat kesimpulan bahwa para peserta aksi adalah kader-kader PKS yang kecewa dengan partainya. Nah, di sinilah para analis boleh memutar otaknya untuk menjelaskan sebab-sebab di balik kekecewaan itu, tentunya dengan berbagai metode yang valid. Atau, jika Pemilu 2014 telah digelar, dan perolehan suara PKS memang terjun bebas, maka para analis boleh menyajikan berbagai macam analisisnya. Sekali lagi, adanya fakta di lapangan menjadi alasan yang kuat untuk melakukan analisis. Jika faktanya belum ada, maka ia adalah prediksi.
Jika kita melihat perkembangan di lapangan, yang terjadi justru sebaliknya. Di satu sisi, memang banyak yang menghujat PKS. Akan tetapi, yang menghujat PKS nampaknya memang pihak-pihak yang sejak dulu tidak simpati pada PKS. Dibenci oleh kelompok yang tak pernah mencintai sejak awal tentu bukan alasan yang tepat untuk membuat kesimpulan bahwa PKS telah ‘ditinggalkan konstituennya’. Sebaliknya, PKS justru tampil tidak seperti kelompok yang babak belur dihakimi massa. Sehari sesudah Luthfi Hasan Ishaaq menghuni Rutan Guntur, Majelis Syura PKS sudah menerima pengunduran diri beliau dan menunjuk Anis Matta sebagai penggantinya. Anis, segera setelah dilantik, tidak menghabiskan waktu dengan bermelankoli, melainkan malah menyampaikan orasi politik yang berapi-api dan disebut-sebut sebagai orasi yang sangat menggetarkan hati seluruh kader PKS yang menyaksikannya. Setelah itu, Anis langsung menyibukkan diri dengan melakukan konsolidasi kader di berbagai wilayah, dan kegiatan-kegiatan ini selalu penuh sesak dihadiri massa PKS.
Dari berbagai wilayah, muncul laporan bahwa kader PKS justru meningkat secara signifikan, bukannya berkurang. Para pengurus di berbagai level menerima pertanyaan seputar prosedur untuk menjadi kader PKS, bahkan ada yang langsung mendaftarkan diri beramai-ramai, dan ada juga yang langsung memberikan sumbangan dalam jumlah besar. Semua ini terjadi karena PKS adalah partai kader dan partai dakwah sekaligus. Dengan demikian, perubahan yang diperjuangkan oleh PKS dapat dengan mudah dilihat dan dirasakan oleh masyarakat. Karena itu, meski berbagai komentar negatif bermunculan di media massa, masyarakat yang melihat langsung aksi-aksi para kader PKS tidak banyak terpengaruh.
Menariknya, fakta lapangan ini luput begitu saja dari pantauan para ‘analis’. Padahal, mereka yang menyebut dirinya analis semestinya akrab dengan fakta-fakta dan mampu memisahkannya dari opini, apalagi prediksi. Meskipun prediksi memang boleh dan wajar saja dikemukakan oleh seorang analis, namun prediksi itu semestinya berpijak pada analisis berdasarkan fakta, dan bukannya berdasarkan opininya sendiri. Hilangnya suara konstituen PKS bukanlah fakta, dan berbagai efek yang disebut-sebut akan terjadi akibat sikap PKS tidak lebih dari sebuah prediksi.
Lebih mengenaskan lagi, kiranya, jika seorang analis telah berubah menjadi propagandis; bukannya menyajikan analisis yang berdasarkan fakta, ia malah mempropagandakan opininya sendiri agar situasi di lapangan berubah sesuai keinginannya. Kredibilitas media massa sesungguhnya dipertaruhkan di sini. Sudahkah media-media itu menyajikan analisis secara ilmiah? Apakah media sudah memberikan tempat untuk para analis menyatakan pendapatnya secara adil, dan bukannya terus-menerus mengulang opini yang sama – bukan analisis – dengan memberi tempat pada analis dan opini ‘yang itu-itu saja’? Apakah media massa benar-benar bekerja untuk menyajikan fakta-fakta, ataukah hendak menebar propaganda?[]
Penulis : Akmal Sjafril
Penulis Buku "Islam Liberal 101"
Blog: akmalsjafril.com