“Al mukminu mir’atu akhihi” ...Seorang mukmin adalah cermin bagi Saudaranya… (HR. Al Bukhari dalam Adabul Mufrad) Adakah di antara an...
...Seorang mukmin adalah cermin bagi Saudaranya…
(HR. Al Bukhari dalam Adabul Mufrad)
Adakah di antara antum yang pernah merasa menyesal telah mengenal seseorang? Menyesal bahwa seseorang pernah hadir dalam kehidupan antum. Semoga tidak pernah.
Jika boleh berbagi pengalaman, yang saya rasa hampir semua orang pernah mengalaminya. Bertemu, berkenalan, dan menjalin hubungan dengan banyak orang. Yang seandainya jumlahnya seratus. Maka, akan ada seratus kombinasi perilaku dan karakter yang akan kita hadapi. Jika jumlahnya naik berlipat menjadi seribu maka kombinasi perilaku dan karakternya pun turut merangkak naik. Kemudian, efek selanjutnya yang muncul adalah peluang timbulnya konflik dan gesekan pun makin terbuka lebar. Gesekan, tumbukan atau bahkan hantaman yang memicu keretakan adalah hal yang lumrah, sangat lumrah. Yang akan menjadikannya tidak lumrah adalah cara kita memandang masalah. Cara kita memandang dengan siapa bermasalah. Dan tentu, cara kita menyelesaikan masalah.
Pernah ada sebuah nama yang saya kenal. Kami saling akrab sebab diwashilahi oleh kebaikan. Bersama dengan berlalunya waktu kami saling dekat. Saling memperhatikan. Saling menasehati dan mengingatkan dalam kebaikan. Saling membantu dan meringankan beban. Bukan tidak pernah ada kesalahpahaman, pastinya ada. Dengan cara yang baik, semuanya pun terselesaikan. Selayaknya sebuah kurva pastinya ada titik puncak. Puncak keakraban dan puncak ketegangan. Dan suatu ketika, datang juga masa bagi puncak kurva yang kedua. Pyyaaaaaarrr… hancurlah salah satu kaca kebaikan tempat saya biasa bercermin. Seketika dunia saya serasa runtuh. Rasa kepercayaan yang sekian lama dibina musnah begitu saja. Rasa sesal pun muncul... jika saja saya tidak pernah mengenalnya. Astaghfirullah... ukhuwah kami hancur, sayapun jadi futur.
Tiba- tiba diantara jeda waktu yang ada, saya pun teringat apa yang sudah saya baca di buku Dalam Dekapan Ukhuwah tulisan Salim A. Fillah.
Karena kehormatan diri sering kita tinggikan di atas kebenaran
Karena satu kesalahanmu padaku seolah menghapus sejuta kebaikan yang lalu
wasiat Sang Nabi itu rasanya berat sekali: “jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara”.
Mungkin lebih baik kita berpisah sementara, sejenak saja menjadi kepompong dan menyendiri
Berdiri malam-malam, bersujud dalam dalam
Bertafakkur bersama iman yang menerangi hati
Hingga tiba waktunya menjadi kupu kupu yang terbang menari
Melantun kebaikan di antara bunga, menebar keindahan pada dunia
Lalu dengan rindu kita kembali ke dalam dekapan ukhuwah
Mengambil cinta dari langit dan menebarkannya di bumi dengan persaudaraan suci, sebening prasangka, selembut nurani, sehangat semangat, senikmat berbagi dan sekokoh janji..
Saat membaca rangkaian kata beliau di atas, dada saya pun tergetar. Tanpa sadar, sudah ada khilaf yang telah saya lakukan. Sebab sebuah masalah, putus tali persaudaraan. Dan itu sangat bertolak belakang dengan yang diajarkan. Meski, ada egoisme dan kesombongan hati yang harus dikalahkan. Saya rasa demi cinta dan keridhaan yang Maha Tinggi. Keikhlasan hati dalam memaafkan harus tetap diupayakan.
Maka di atas itu semua, jika diizinkan saya memberi garis bawah. Karena setiap orang yang datang silih berganti dalam kehidupan kita, semuanya istimewa. Semuanya adalah cermin. Semuanya adalah guru bagi kita, karena dari merekalah kita turut belajar tentang ilmu kehidupan. Dan begitupun, saya berusaha meyakinkan hati dan diri saya. Bahwa tidak pernah ada penyesalan. [Kembang Pelangi]