Tidak harus kau! Tapi, aku hanya malu bertemu Tuhanku dalam keadaan masih membujang (Sakti Wibowo : Sepasang Merpati Berkalung Safir) Lu...
Tidak harus kau!
Tapi, aku hanya malu bertemu Tuhanku dalam keadaan masih membujang
(Sakti Wibowo : Sepasang Merpati Berkalung Safir)
Lupakan. Lupakan cinta yang tidak akan bersemi di pelaminan. Demikian, ustadz Anis Matta menulis di Serial Cinta miliknya. Sebab tidak ada cinta tanpa pernikahan. Cinta tanpa temu fisik hanya akan mewariskan penderitaan bagi jiwa. Mencintai itu menikahi. Itulah yang beliau sampaikan.
Masih ingat kisah cinta Nurul dan Fahri dalam Ayat–ayat Cinta nya Kang Abik. Atau mungkin kisah cinta antara Tiara dan Fadhil di Ketika Cinta Bertasbih lebih dikenal. Bukan hanya karena ditulis oleh novelis yang sama yakni Habiburrahman El Shirazy. Namun pesan moral yang coba penulis sampaikan pada para pembacanya. Tak selamanya ujung akhir cinta itu selalu indah. Tak jarang mimpi para pecinta harus luruh, tunduk pasrah pada kehendak takdir Yang Kuasa. Yang mungkin ceritanya bakal jauh lebih indah dari yang mereka sangka.
Sebagaimana terjadi pada banyak wanita, Nurul dan Tiara mungkin tak memilih. Namun dalam hidup selalu ada pilihan, Menikahi orang yang dicintai atau mencintai orang yang dinikahi. Salim A. Fillah menyebut, yang pertama hanyalah kemungkinan. Sedangkan yang kedua adalah kewajiban. Dalam buku Bahagianya Merayakan Cinta, beliau menggubah selarik puisi.
Ada dua pilihan ketika bertemu cinta
Jatuh cinta dan bangun cinta
Padamu… aku memilih yang kedua
Agar cinta kita menjadi istana… tinggi menggapai syurga
Keduanya dalam kondisi yang sama. Menunggu detik-detik menjelang akad nikah dengan lelaki yang tak mereka cintai. Keduanya berkeras bahwa tidak akan mudah atau bahkan tidak akan bisa memberikan hati yang sudah diisi dan ditempati oleh orang lain. Keduanya tunduk pasrah tanpa upaya dan menjadikan cinta sebagai penguasa hingga tanpa sadar merasa sulit menerima yang lebih indah, lebih halal dan lebih agung bagi mereka.
Dalam bukunya, Salim A. Fillah mengutip judul buku yang indah dari Ukhti Izzatul Jannah, Karena Cinta harus Diupayakan. Beliau mengungkapkan bahwa Allah mengajari kita untuk mengupayakan cinta. Seperti cinta kita padaNya yang tidak datang dengan sendirinya. Ia datang dengan iman. Iman datang karena hidayah. Hidayah datang karena menjemput karuniaNya. Dan sebelum itu ada ikhtiar. Jika cinta pada yang Maha Agung adalah buah dari ikhtiar. Maka, mengapa kita tak mengupayakan cinta kita pada dia yang dihalalkan untuk kita. Dan justru lebih memilih terbelenggu oleh cinta yang tak dihalalkanNya. Astaghfirullah …..
Beliau juga menambahkan, sering ia mengatakan pada para ikhwan, “Antum bebas jatuh cinta pada akhwat manapun, berapapun banyaknya, malah kalau bisa sebanyak-banyaknya. Tapi harus jadi gentle dan sportif!, Kalau ada ikhwan atau lelaki lain yang lebih siap datang mendahului menjemput sang angan pengisi sepi… jangan menangisi nasib diri! Persilahkan dengan gagah bahkan… bantu dengan segenap pengorbanan jika perlu!“
Begitupun pada para akhwat hal yang sama berlaku “Antunna bebas mencintai ikhwan manapun. Tetapi kalau seseorang yang berbeda nama, yang baik akhlaqnya dan agamanya datang… sedangkan antum tidak memiliki alasan syar’i untuk menolak… jangan pernah sekali-kali antum menghindar…”
Pada akhirnya jika boleh dikata sebagai mana syair milik Sakti Wibowo yang dikutip diatas “Tidak harus kau… Tapi, aku hanya malu bertemu Tuhanku dalam keadaan masih membujang .” Maka teruntuk para ukhti… tak harus dengan sebuah nama yang sudah tersimpan rapi dalam hati. Tapi amat baiklah jika memilih sebuah nama yang menghampiri anti dengan gagah berani. [Kembang Pelangi]
Tapi, aku hanya malu bertemu Tuhanku dalam keadaan masih membujang
(Sakti Wibowo : Sepasang Merpati Berkalung Safir)
Lupakan. Lupakan cinta yang tidak akan bersemi di pelaminan. Demikian, ustadz Anis Matta menulis di Serial Cinta miliknya. Sebab tidak ada cinta tanpa pernikahan. Cinta tanpa temu fisik hanya akan mewariskan penderitaan bagi jiwa. Mencintai itu menikahi. Itulah yang beliau sampaikan.
Masih ingat kisah cinta Nurul dan Fahri dalam Ayat–ayat Cinta nya Kang Abik. Atau mungkin kisah cinta antara Tiara dan Fadhil di Ketika Cinta Bertasbih lebih dikenal. Bukan hanya karena ditulis oleh novelis yang sama yakni Habiburrahman El Shirazy. Namun pesan moral yang coba penulis sampaikan pada para pembacanya. Tak selamanya ujung akhir cinta itu selalu indah. Tak jarang mimpi para pecinta harus luruh, tunduk pasrah pada kehendak takdir Yang Kuasa. Yang mungkin ceritanya bakal jauh lebih indah dari yang mereka sangka.
Sebagaimana terjadi pada banyak wanita, Nurul dan Tiara mungkin tak memilih. Namun dalam hidup selalu ada pilihan, Menikahi orang yang dicintai atau mencintai orang yang dinikahi. Salim A. Fillah menyebut, yang pertama hanyalah kemungkinan. Sedangkan yang kedua adalah kewajiban. Dalam buku Bahagianya Merayakan Cinta, beliau menggubah selarik puisi.
Ada dua pilihan ketika bertemu cinta
Jatuh cinta dan bangun cinta
Padamu… aku memilih yang kedua
Agar cinta kita menjadi istana… tinggi menggapai syurga
Keduanya dalam kondisi yang sama. Menunggu detik-detik menjelang akad nikah dengan lelaki yang tak mereka cintai. Keduanya berkeras bahwa tidak akan mudah atau bahkan tidak akan bisa memberikan hati yang sudah diisi dan ditempati oleh orang lain. Keduanya tunduk pasrah tanpa upaya dan menjadikan cinta sebagai penguasa hingga tanpa sadar merasa sulit menerima yang lebih indah, lebih halal dan lebih agung bagi mereka.
Dalam bukunya, Salim A. Fillah mengutip judul buku yang indah dari Ukhti Izzatul Jannah, Karena Cinta harus Diupayakan. Beliau mengungkapkan bahwa Allah mengajari kita untuk mengupayakan cinta. Seperti cinta kita padaNya yang tidak datang dengan sendirinya. Ia datang dengan iman. Iman datang karena hidayah. Hidayah datang karena menjemput karuniaNya. Dan sebelum itu ada ikhtiar. Jika cinta pada yang Maha Agung adalah buah dari ikhtiar. Maka, mengapa kita tak mengupayakan cinta kita pada dia yang dihalalkan untuk kita. Dan justru lebih memilih terbelenggu oleh cinta yang tak dihalalkanNya. Astaghfirullah …..
Beliau juga menambahkan, sering ia mengatakan pada para ikhwan, “Antum bebas jatuh cinta pada akhwat manapun, berapapun banyaknya, malah kalau bisa sebanyak-banyaknya. Tapi harus jadi gentle dan sportif!, Kalau ada ikhwan atau lelaki lain yang lebih siap datang mendahului menjemput sang angan pengisi sepi… jangan menangisi nasib diri! Persilahkan dengan gagah bahkan… bantu dengan segenap pengorbanan jika perlu!“
Begitupun pada para akhwat hal yang sama berlaku “Antunna bebas mencintai ikhwan manapun. Tetapi kalau seseorang yang berbeda nama, yang baik akhlaqnya dan agamanya datang… sedangkan antum tidak memiliki alasan syar’i untuk menolak… jangan pernah sekali-kali antum menghindar…”
Pada akhirnya jika boleh dikata sebagai mana syair milik Sakti Wibowo yang dikutip diatas “Tidak harus kau… Tapi, aku hanya malu bertemu Tuhanku dalam keadaan masih membujang .” Maka teruntuk para ukhti… tak harus dengan sebuah nama yang sudah tersimpan rapi dalam hati. Tapi amat baiklah jika memilih sebuah nama yang menghampiri anti dengan gagah berani. [Kembang Pelangi]