Saat itu saya pulang dari kampus menggunakan bus Trans Jogja. Sebelum naik Trans, saya harus berjalan menuju halte yang terletak di depan ...
Saat itu saya pulang dari kampus menggunakan bus Trans Jogja. Sebelum naik Trans, saya harus berjalan menuju halte yang terletak di depan gedung Wanitatama. Persis bersebelahan dengan kampus. Jaraknya lumayan jauh kalau dari dalam kampus. Saya harus berjalan di sepanjang trotoar kampus barat. Yang di sampingnya sengaja ditanami bunga-bunga.
Saya terus berjalan meunuju halte sambil sesekali melihat kebelakang. Tanpa sadar di depan saya ada seorang bapak-bapak usia 40 tahunan. Pakaiannya kotor. Rambutnya agak sedikit gondrong dengan badan yang kumuh dan tas selempang usang yang menggantung di badannya. Ia juga berjalan kebarat, tanpa alas kaki. Entah menuju kemana. Sedang saya berjalan gontai di belakangannya.
Sampai di jalan depan gerbang rektorat tiba-tiba langkah saya terhenti agak dekat dari bapak itu. Saya mengamati bapak itu. Bapak itu masih terus berjalan sampai mendekati tempat sampah yang terletak di pojokan trotoar di depan pagar kampus. Tempat sampah itu tidak terlalu besar dengan sisa-sisa bebakaran di sekelilingnya.
Bapak itu lalu memilah dan memilih tumpukan sampah. Sedang saya terus mengamati bapak itu. Tadinya saya pikir bapak itu pekerja biasa. Karena biasanya saya menjumpai bapak-bapak seperti itu yang saya kira pemulung atau peminta eh ternyata beliau seorang kuli bangunan.
Deg!!! Saya terhenyak. Tak percaya melihat pemandangan di depan saya. Bapak itu mendapati sebuah bungkusan kertas minyak, entah apa isinya, sepertinya nasi sisa. Setelah itu membukanya dan memakannya langsung didekat tempat sampah itu. Setelah beberapa menit makan sambil berdiri, bapak itu melempar kembali kertas minyak di tempat sampah. Bapak itupun melanjutkan perjalanan entah menuju ke mana. Sedang saya meneruskan jalan kaki menuju halte.
Dalam hati saya masih tak percaya dengan apa yang baru saya saksikan. Perut saya ikut mual membayangkan bapak itu memakan makanan sisa dari bak sampah, di samping tempat sampah pula. Yang entah berapa ribu kuman dan penyakit yang bersarang di sana (semoga Allah melindungi bapak itu dari madlarat makanan tersebut).
Saya jadi teringat, makanan-makanan di asrama yang sering terbuang sia-sia. Saya jadi merenungi sikap saya memperlakukan makanan selama ini. Kadangkala kita mengambil makanan seenaknya, tanpa memperdulikan porsi perut atau selera kita. Tapi ternyata, makanan tersebut tidak termakan semua. Dan ujung-ujungnya masuk bak sampah.
Mungkin seandainya butir-butir nasi dan makanan sisa tersebut bisa bersuara, tangisnya akan terdengar oleh kita. Mereka menangis karena telah disia-siakan. Ia dicampakkan begitu saja. Padahal ia punya hak untuk dimakan. Ia juga punya hak untuk dibagi bersama saudara-saudara kita yang lain. Dan seandainya ia juga dapat berkata, mungkin ia akan mencemooh kita “hai manusia, tidakkah kau syukuri nikmat tuhanmu ini. Enkau membuangku sia-sia, sementara di luar sana banyak saudara-saudaramu yang tidak bisa makan?”
Kita sendiri kadangkala lalai untuk bersyukur. Kita yang dengan mudahnya mendapatkan nasi dengan aneka macam lauk yang dihidangkan di meja makan, kadang merasa jenuh, kadangkala merasa “kok cuman itu-itu aja makanannya.” Kalau bahasanya adik-adik asrama “yaaah itu lagi, itu lagi”. Sehingga kita lupa untuk bersyukur. Kita lupa bahwa diluar sana banyak saudara kita yang untuk mendapatkan sesuap nasi saja mereka tidak bisa. Kita lupa bahwa di luar sana banyak saudara-saudara kita yang kelaparan.
Saya membayangkan barangkali bukan hanya bapak itu yang memungut makanan sisa dari tong sampah. Barangkali masih banyak orang lain, terutama pemulung dan peminta-minta, yang karena keterbatasan hingga tak mampu untuk membeli sesuap nasi. Meski aspek thayyiban tidak terpenuhi, bagi mereka, mengambil makanan sisa dari bak sampah adalah sebuah alternatif dalam keterpaksaan. Wallahu a’lam bish shawab. [Ukhtu Emil]
Saya terus berjalan meunuju halte sambil sesekali melihat kebelakang. Tanpa sadar di depan saya ada seorang bapak-bapak usia 40 tahunan. Pakaiannya kotor. Rambutnya agak sedikit gondrong dengan badan yang kumuh dan tas selempang usang yang menggantung di badannya. Ia juga berjalan kebarat, tanpa alas kaki. Entah menuju kemana. Sedang saya berjalan gontai di belakangannya.
Sampai di jalan depan gerbang rektorat tiba-tiba langkah saya terhenti agak dekat dari bapak itu. Saya mengamati bapak itu. Bapak itu masih terus berjalan sampai mendekati tempat sampah yang terletak di pojokan trotoar di depan pagar kampus. Tempat sampah itu tidak terlalu besar dengan sisa-sisa bebakaran di sekelilingnya.
Bapak itu lalu memilah dan memilih tumpukan sampah. Sedang saya terus mengamati bapak itu. Tadinya saya pikir bapak itu pekerja biasa. Karena biasanya saya menjumpai bapak-bapak seperti itu yang saya kira pemulung atau peminta eh ternyata beliau seorang kuli bangunan.
Deg!!! Saya terhenyak. Tak percaya melihat pemandangan di depan saya. Bapak itu mendapati sebuah bungkusan kertas minyak, entah apa isinya, sepertinya nasi sisa. Setelah itu membukanya dan memakannya langsung didekat tempat sampah itu. Setelah beberapa menit makan sambil berdiri, bapak itu melempar kembali kertas minyak di tempat sampah. Bapak itupun melanjutkan perjalanan entah menuju ke mana. Sedang saya meneruskan jalan kaki menuju halte.
Dalam hati saya masih tak percaya dengan apa yang baru saya saksikan. Perut saya ikut mual membayangkan bapak itu memakan makanan sisa dari bak sampah, di samping tempat sampah pula. Yang entah berapa ribu kuman dan penyakit yang bersarang di sana (semoga Allah melindungi bapak itu dari madlarat makanan tersebut).
Saya jadi teringat, makanan-makanan di asrama yang sering terbuang sia-sia. Saya jadi merenungi sikap saya memperlakukan makanan selama ini. Kadangkala kita mengambil makanan seenaknya, tanpa memperdulikan porsi perut atau selera kita. Tapi ternyata, makanan tersebut tidak termakan semua. Dan ujung-ujungnya masuk bak sampah.
Mungkin seandainya butir-butir nasi dan makanan sisa tersebut bisa bersuara, tangisnya akan terdengar oleh kita. Mereka menangis karena telah disia-siakan. Ia dicampakkan begitu saja. Padahal ia punya hak untuk dimakan. Ia juga punya hak untuk dibagi bersama saudara-saudara kita yang lain. Dan seandainya ia juga dapat berkata, mungkin ia akan mencemooh kita “hai manusia, tidakkah kau syukuri nikmat tuhanmu ini. Enkau membuangku sia-sia, sementara di luar sana banyak saudara-saudaramu yang tidak bisa makan?”
Kita sendiri kadangkala lalai untuk bersyukur. Kita yang dengan mudahnya mendapatkan nasi dengan aneka macam lauk yang dihidangkan di meja makan, kadang merasa jenuh, kadangkala merasa “kok cuman itu-itu aja makanannya.” Kalau bahasanya adik-adik asrama “yaaah itu lagi, itu lagi”. Sehingga kita lupa untuk bersyukur. Kita lupa bahwa diluar sana banyak saudara kita yang untuk mendapatkan sesuap nasi saja mereka tidak bisa. Kita lupa bahwa di luar sana banyak saudara-saudara kita yang kelaparan.
Saya membayangkan barangkali bukan hanya bapak itu yang memungut makanan sisa dari tong sampah. Barangkali masih banyak orang lain, terutama pemulung dan peminta-minta, yang karena keterbatasan hingga tak mampu untuk membeli sesuap nasi. Meski aspek thayyiban tidak terpenuhi, bagi mereka, mengambil makanan sisa dari bak sampah adalah sebuah alternatif dalam keterpaksaan. Wallahu a’lam bish shawab. [Ukhtu Emil]