“Di antara banyak orang, hanya sedikit yang beriman. Di antara yang beriman itu hanya sedikit yang beramal. Di antara yang beramal itu ha...
“Di antara banyak orang, hanya sedikit yang beriman. Di antara yang beriman itu hanya sedikit yang beramal. Di antara yang beramal itu hanya sedikit yang berdakwah, dan di antara yang berdakwah itu hanya sedikit yang mampu mencapai tujuan yaitu ridho Allah.”
Bak hujan di siang bolong, kata-kata Syaikh Hasan Al Banna yang dikutip ustadzah tercintaku saat rapat rutin di tempat kerjaku saat itu membuat hati serasa 'melek' kembali. Tersadar dari buaian rutinitas yang seringkali melenakan hati dan tanpa sadar sedikit demi sedikit menggerus keikhlasan dalam setiap langkah dakwah.
Kehidupan manusia diibaratkan seperti orang yang sedang mendaki puncak gunung. Semakin tinggi kita melangkah, maka akan semakin berat pula anginnya dan semakin sedikit pula oksigen yang tersedia. Begitu pula dengan perjalanan hidup kita, banyak godaan yang datang bagi sang pendaki dan hanya sedikit yang mencapai puncaknya.
Lalu bagaimana caranya untuk meraih puncak itu dengan segala keterbatasan yang kita miliki? Hal itu tidak lain adalah bagaimana hubungan kita dengan Allah, sudah maksimalkah kita atau hanya terpaksa saja. Jika kita merenung, sudah berapa banyak karunia yang Allah berikan kepada kita, akan tetapi sudah seimbangkah amalan kita yang kita persembahkan untuk Allah. Jawabannya ada di diri kita masing-masing.
Untuk mengukur hal tersebut kita dapat melihat minimal 3 amalan yang kita miliki yaitu hubungan kita dengan Al Qur'an, perhatian kita dengan shalat kita, dan dzikir kita kepada Allah. Sejauh mana 3 amalan kita tersebut, sejauh itu pula hubungan kita dengan Allah. Jika perhatian kita terhadap Al Qur'an hanya sesempatnya saja –jika ada waktu longgar ya tilawah, jika tidak ya tidak tilawah– sebatas itu pula kesungguhan kita. Begitu pula dengan shalat kita apakah hanya sekedar menggugurkan kewajiban saja ataukah karena kecintaan dan kepatuhan kita pada Allah yang membuat kita melakukan shalat. Apakah shalat-shalat fardhu saja ataukah juga shalat-shalat sunnah yang juga begitu dicintai oleh Allah, sejauh itulah kesungguhan kita. Setiap langkah, peristiwa, dan gerak-gerik kita sudahkah didasari dengan kalimat thayibah sebagai bukti kesungguhan kita mengingat Rabb kita ataukah hanya dzikir-dzikir paketan setelah shalat fardhu saja yang telah kita lakukan, sejauh itulah kesungguhan kita.
Sebagaimana ayat Al Qur'an surat Hud ayat 112 :
فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَن تَابَ مَعَكَ وَلاَ تَطْغَوْاْ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Jika setiap amalan yang kita niatkan untuk mencapai ridha Allah itu benar-benar kita azzamkan untuk sesuai target dan berusaha berkomitmen memenuhi target itu, insya Allah sepenuh itulah kesungguhan kita terhadap Allah. Dan hendaklah kita beramai-ramai dengan kesungguhan yang mantap untuk istiqomah kita termasuk menjadi bagian dari yang sedikit itu. Amin. [Gresia Divi]
Bak hujan di siang bolong, kata-kata Syaikh Hasan Al Banna yang dikutip ustadzah tercintaku saat rapat rutin di tempat kerjaku saat itu membuat hati serasa 'melek' kembali. Tersadar dari buaian rutinitas yang seringkali melenakan hati dan tanpa sadar sedikit demi sedikit menggerus keikhlasan dalam setiap langkah dakwah.
Kehidupan manusia diibaratkan seperti orang yang sedang mendaki puncak gunung. Semakin tinggi kita melangkah, maka akan semakin berat pula anginnya dan semakin sedikit pula oksigen yang tersedia. Begitu pula dengan perjalanan hidup kita, banyak godaan yang datang bagi sang pendaki dan hanya sedikit yang mencapai puncaknya.
Lalu bagaimana caranya untuk meraih puncak itu dengan segala keterbatasan yang kita miliki? Hal itu tidak lain adalah bagaimana hubungan kita dengan Allah, sudah maksimalkah kita atau hanya terpaksa saja. Jika kita merenung, sudah berapa banyak karunia yang Allah berikan kepada kita, akan tetapi sudah seimbangkah amalan kita yang kita persembahkan untuk Allah. Jawabannya ada di diri kita masing-masing.
Untuk mengukur hal tersebut kita dapat melihat minimal 3 amalan yang kita miliki yaitu hubungan kita dengan Al Qur'an, perhatian kita dengan shalat kita, dan dzikir kita kepada Allah. Sejauh mana 3 amalan kita tersebut, sejauh itu pula hubungan kita dengan Allah. Jika perhatian kita terhadap Al Qur'an hanya sesempatnya saja –jika ada waktu longgar ya tilawah, jika tidak ya tidak tilawah– sebatas itu pula kesungguhan kita. Begitu pula dengan shalat kita apakah hanya sekedar menggugurkan kewajiban saja ataukah karena kecintaan dan kepatuhan kita pada Allah yang membuat kita melakukan shalat. Apakah shalat-shalat fardhu saja ataukah juga shalat-shalat sunnah yang juga begitu dicintai oleh Allah, sejauh itulah kesungguhan kita. Setiap langkah, peristiwa, dan gerak-gerik kita sudahkah didasari dengan kalimat thayibah sebagai bukti kesungguhan kita mengingat Rabb kita ataukah hanya dzikir-dzikir paketan setelah shalat fardhu saja yang telah kita lakukan, sejauh itulah kesungguhan kita.
Sebagaimana ayat Al Qur'an surat Hud ayat 112 :
فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَن تَابَ مَعَكَ وَلاَ تَطْغَوْاْ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Jika setiap amalan yang kita niatkan untuk mencapai ridha Allah itu benar-benar kita azzamkan untuk sesuai target dan berusaha berkomitmen memenuhi target itu, insya Allah sepenuh itulah kesungguhan kita terhadap Allah. Dan hendaklah kita beramai-ramai dengan kesungguhan yang mantap untuk istiqomah kita termasuk menjadi bagian dari yang sedikit itu. Amin. [Gresia Divi]