Khutbah Jumat: Belajar Ikhlas dari Perang Muktah - Kini kita berada di Jum'at terakhir bulan Jumadul Ula 1434 H. Pada bulan yang sama...
Khutbah Jumat: Belajar Ikhlas dari Perang Muktah - Kini kita berada di Jum'at terakhir bulan Jumadul Ula 1434 H. Pada bulan yang sama di tahun 8 H terjadi perang Muktah. Banyak ibrah dalam perang itu mulai dari kepahlawanan, keistiqamahan berjuang, keberanian, kecerdasan strategi perang dan sebagainya. Diantara ibrah yang tak kalah penting adalah keikhlasan yang utamanya dicontohkan oleh seorang sahabat bernama Tsabit bin Arqam. Ia melakukan pekerjaan besar, tetapi namanya tidak banyak dikenal dan ia juga tidak ingin terkenal. Karenanya Khutbah Jum'at edisi 24 Jumadil Awal 1434 H yang bertepatan dengan 5 April 2013 ini mengambil tema "Belajar Ikhlas dari Perang Muktah".
KHUTBAH PERTAMA
إنَّ الحَمْدَ لله، نَحْمَدُه، ونستعينُه، ونستغفرُهُ، ونعوذُ به مِن شُرُورِ أنفُسِنَا، وَمِنْ سيئاتِ أعْمَالِنا، مَنْ يَهْدِه الله فَلا مُضِلَّ لَهُ، ومن يُضْلِلْ، فَلا هَادِي لَهُ.
أَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وأشهدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه.
اَللَّهُمَّ صَلِّى عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَ هُدًى
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا * يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
Jama'ah Jum'at yang dirahmati Allah,
Hari ini kita berada di Jum’at terakhir bulan Jumadil Ula 1434 H. Pada bulan yang sama, 1426 tahun yang lalu, sebuah perang besar dilakukan umat Islam. Mengapa besar? Karena saat itu Rasulullah mengutus 3.000 pasukan. Jumlah pasukan terbesar yang sampai saat itu hanya tertandingi dengan jumlah pasukan Islam pada Perang Khandaq.
Perang yang kemudian dikenal sebagai Perang Muktah itu bermula ketika Rasulullah mengutus Al Harits bin Umair untuk mengantarkan surat kepada pemimpin Bushra. Namun di perjalanan, Al Harits dihadang Syurahbil bin Amr Al Ghassany, pemimpin Al Balqa’ yang berada di bawah Qaishar Romawi. Syurahbil mengikat Al Harits dan membawanya ke hadapan Qaishar, lalu memenggal lehernya.
Membunuh utusan merupakan kejahatan yang sangat keji sekaligus mengumumkan perang kepaa negara pengutus. Karena itulah Rasulullah sangat murka dan menghimpun 3.000 pasukan. Sebelum memberangkatkan pasukan beliau menunjuk Zaid bin Haritsah sebagai pemimpin pasukan seraya berpesan: “Jika Zaid gugur, penggantinya adalah Ja’far. Jika Ja’far gugur, penggantinya adalah Abdullah bin Rawahah.”
Pesan ini aneh. Belum pernah Rasulullah berpesan seperti ini dalam perang-perang sebelumnya. Kelak, para sahabat dan sejarah mencatat bahwa itu adalah prediksi nubuwah yang benar-benar terjadi. Bahwa mereka yang disebut benar-benar gugur dalam Perang Muktah tersebut.
Jamaah Jum’at rahimakumullah,
Singkat cerita, kemudian kedua pasukan bertemu setelah dua hari saling mengawasi. Mengapa tidak langsung berperang? Sebab mereka sama-sama ragu. Pasukan Islam belum pernah berhadapan dengan pasukan sebanyak itu, sedangkan Pasukan Romawi juga ragu sebab pasukan Islam yang kecil itu tidak memiliki sejarah kalah.
3.000 pasukan Islam melawan 200.000 pasukan Romawi. Jumlah yang sangat tidak seimbang. Tetapi Zaid bin Haritsah memimpin perang dengan gagah berani. Ia bertempur hebat sambil memegang bendera Islam. Di zaman itu, bendera pasukan dipegang oleh pemimpinnya. Hingga, sebuah tombak musuh mengenainya. Zaid pun jatuh ke tanah. Ia syahid.
Seperti pesan Rasulullah, Ja’far bin Abu Thalib mengambil bendera itu. Melanjutkan kepemimpinan perang. Ia pun bertempur dengan luar biasa. Membunuh satu per satu pasukan Romawi. Ketika peperangan makin seru, kudanya terkena senjata dan ia terlempar. Ja’far melanjutkan pertemuran hingga pasukan Romawi menebas tangan kanannya. Kehilangan tangan kanan, Ja’far mengamankan bendera dengan tangan kirinya. Namun kemudian tangan kirinya juga tertebas pedang musuh. Ja’far lalu mendekap bendera di dada dengan sisa-sisa lengannya agar tetap berkibar. Lalu pasukan Romawi menebaskan pedang hingga tubuhnya terbelah menjadi dua. Ketika nantinya jasad Ja’far ditemukan, Ibnu Umar mendapati tak kurang dari 50 luka sabetan dan hunjaman di tubuh Ja’far yang terbelah menjadi dua itu. Dan karenanya Ja’far dijuluki Dzul-Janahain (orang yang memiliki dua sayap).
Setelah Ja’far syahid seperti prediksi Rasulullah, bendera diambil alih Abdullah bin Rawahah. Ia juga memimpin pasukan dan bertempur dengan gagah berani. Hingga kemudian ia pun gugur. Pada saat itu di Madinah, Rasulullah mengabarkan gugurnya ketiga panglima Islam tersebut. “Zaid mengambil bendera lalu dia gugur. Kemudian Ja’far mengambilnya lalu dia juga gugur. Kemudian Ibnu Rawahah mengambilnya, dan ia pun juga gugur.” Rasulullah menangis, para sahabat juga ikut menangis.
Kembali ke Muktah. Rasulullah memang menunjuk urutan panglima mulai dari Zaid, Ja’far lalu Ibnu Rawahah. Tetapi setelah itu tidak ada petunjuk. Padahal bendera jatuh dan harus diselamatkan, perang harus dilanjutkan, harus ada pemimpin baru. Pada saat itulah seorang sahabat dari Bani Ajlan, Tsabit bin Arqam maju dan menyelamatkan bendera. Setelah bendera di tangannya ia berteriak, “Wahai semua muslim, angkatlah pemimpin baru!”
“Engkau saja,” jawab mereka.
“Aku tidak akan sanggup” kata Tsabit yang kemudian mencari seseorang dan memintanya memimpin. “Kau yang harus memimpin wahai Abu Sulaiman” semula ia menolak, tetapi setelah musyawarah singkat menunjuknya. Abu Sulaiman pun memimpin dengan gagah berani. Dialah yang disebut Rasulullah Syaifullah (pedang Allah), Khalid bin Walid.
Jamaah Jum’at rahimakumullah,
Ada sebuah nama yang disebutkan dalam sejarah Perang Muktah tersebut. Tsabit bin Arqam. Nama itu mungkin asing bagi kita, karena ia memang tidak terkenal dan tidak ingin terkenal. Dalam sepanjang sirah nabawiyah, namanya hanya disebut satu kali itu, dalam Perang Muktah. Sebelum dan sesudahnya tidak disebut lagi. Tetapi, jasanya sangat besar. Ia ikut berperang, berjihad. Bahkan pada perang kali ini ia menyelamatkan bendera, melanjutkan jalannya peperangan, mengamankan masa transisi hingga terpilihnya pemimpin baru.
Jamaah Jum’at rahimakumullah,
Kita membutuhkan orang-orang seperti Tsabit bin Arqam ini. Jasanya besar, meskipun ia tidak terkenal. Kita juga perlu belajar dari Tsabit bin Arqam, yang terus beramal, terus berkarya, berkontribusi, menyumbang jasa besar, tanpa mempedulikan apakah kita akan dikenal atau tidak. Keihlasan seperti inilah yang sulit dan barangkali cukup langka di zaman kita, hari–hari ini. Tetapi hanya dengan ikhlas-lah, amal-amal kita akan bernilai di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tanpa keikhlasan, sirnalah segala amal, sia-sia dalam pandangan-Nya.
Ikhlas inilah yang menjadi kaidah agama Allah secara mutlak, baik Islam di masa kini maupun agama samawi di masa sebelumnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
"Padahal mereka tidak diperintah kecuali supaya beribadah kepada Allâh dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam menjalankan agama dengan lurus..." (QS. Al Bayyinah : 5)
Allah Azza wa Jalla juga mengajarkan kepada kita untuk meneguhkan keikhlasan dalam setiap amal, bahkan dalam setiap langkah kehidupan kita.
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
"Katakanlah, 'Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam..." (QS. Al An'am : 162)
Maka segala amal, baik ibadah mahdhah maupun ghairu mahdhah, semuanya harus berangkat dari ikhlas, semata-mata untuk Allah. Jika ikhlas ini sudah mendarah daging, sudah menjadi landasan amal, sudah menjadi ruh ibadah, maka pada setiap aktifitas tidak terlalu penting bagi kita, apakah itu akan dipuji orang atau tidak. Tidak penting bagi orang yang ikhlas, apakah amalnya akan diingat orang atau tidak. Tidak penting bagi orang yang ikhlas, apakah kontribusi sosialnya akan diliput media atau tidak. Tidak penting bagi orang yang ikhlas, apakah karyanya akan ditulis sejarah atau tidak.
Orang yang ikhlas itu berpikir produktifitas, bukan popularitas. Orang yang ikhlas itu fokus pada peran dan pekerjaan, bukan status dan jabatan. Orang yang ikhlas itu berorientasi pada persoalan apakah amalnya diterima Allah Ta'ala, bukan pada apakah manusia melihatnya. Dan sekali lagi, tanpa keikhlasan, sirnalah segala nilai amal, betatapun besarnya.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ ، وَإِنَّمَا لاِمْرِئٍ مَا نَوَى ، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
“Semua amal perbuatan tergantung niatnya dan setiap orang akan mendapatkan sesuai yang ia niatkan. Maka barangsiapa hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya menuju Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa hijrahnya karena dunia yang dicari atau wanita yang ingin dinikahi, maka hijrahnya menuju apa yang ia tuju" (HR. Bukhari - Muslim)
Lihatlah. Amal yang sangat besar seperti hijrah saja tidak akan diterima Allah jika tidak ikhlas. Apatah lagi amal-amal lainnya. Padahal hijrah itu meninggalkan harta. Meninggalkan rumah dan aset-aset lainnya. Meninggalkan tanah kelahiran yang sangat berat bagi banyak orang, hingga Bilal pun demam akibat kerinduannya pada Makkah, lalu sembuh setelah Rasulullah mendoakannya. Bahkan hijrah tidak jarang juga meninggalkan keluarga dan saudara. Amal apalagi yang lebih besar dari itu? Tetapi ia akan sia-sia jika tidak diniatkan karena Allah Azza wa Jalla.
Jama'ah Jum'at rahimakumullah,
Mungkin kita akan menyebut jihad sebagai amal yang lebih besar dari hijrah. Jihad juga sama, tanpa keikhlasan ia menjadi sia-sia. Mati dalam jihad tetapi niatnya tidak ikhlas juga tidak bisa berujung ridha Allah dan surga-Nya. Karenanya dalam sebuah hadits disebutkan bahwa tiga orang yang pertama-tama masuk neraka adalah orang berilmu, orang kaya yang dermawan dan orang yang mati dalam jihad, tetapi ketiganya tidak ikhlas dalam niatnya.
Suatu saat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ditanya, siapakah yang dinilai Allah fi sabilillah, apakah orang yang berperang karena ia berani, karena fanatisme kebangsaan atau karena ingin dipuji orang. Maka Rasulullah bersabda:
مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللَّهِ هِىَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
"Barangsiapa berperang agar kalimat Allah menjadi tinggi, maka dia fi sabilillah" (HR. Bukhari)
Jama'ah Jum'at yang dirahmati Allah,
Di era modern saat ini, sangat sulit untuk meluruskan niat menjadi ikhlas. Banyak godaan datang, termasuk godaan ingin disanjung dan popularitas. Tetapi tidak ada pilihan lain agar amal kita diterima Allah, kecuali dengan ikhlas. Sebagaimana Tsabit bin Arqam mengajarkan kepada kita, melakukan pekerjaan besar dengan ikhlas tanpa mempedulikan popularitas. Tetap beramal walaupun kita tak pernah dikenal.
وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِينَ
KHUTBAH KEDUA
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ
أَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وأشهدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه.
اَللَّهُمَّ صَلِّى عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَ هُدًى
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Jama'ah Jum'at rahimakumullah,
Selain popularitas, ingin dikenal, ingin dipuji dan ingin dikenang, godaan keikhlasan lainnya adalah meniatkan amal akhirat untuk tujuan dunia. Untuk mendapatkan harta, kekayaan, jabatan atau kekuasaan. Di dalam sirah nabawiyah pernah dicontohkan ada seorang yang ikut berjihad, ia mati dalam kondisi mencuri satu benda bagian dari ghanimah. Nilainya tidak seberapa, tetapi ketidakikhlasan dalam berjihad itu membuatnya tidak mendapatkan pahala sebagai syuhada.
Maka bayangkanlah, jika nanti pada yaumul hisab (hari perhitungan), kita menyangka catatan kebaikan kita banyak, bertumpuk-tumpuk, menggunung. Sebab di dunia memang kita banyak beramal. Tetapi alangkah kecewanya kita jika semua amal kita tidak dinilai sama sekali karena tidak ada ikhlas di dalam hati. Alangkah sedihnya kita, jika di waktu itu kita hanya menemui catatan kejelekan, tanpa pahala dan kebaikan.
Jama'ah Jum'at rahimakumullah,
Kita tak bisa selamat kecuali hati kita ikhlas. Di akhirat itu tidak bermanfaat harta yang dulunya kita kejar dengan menggadai keikhlasan dalam beramal. Bahkan tidak bermanfaat anak-anak yang kita banggakan. Kecuali hati kita bersih, dipenuhi keikhlasan.
يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ * إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
"(yaitu) hari yang tiada bermanfaat harta dan anak-anak. Kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih" (QS. Asy Syu'ara : 88-89)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا * يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
اللَّهُمَّ صَلِّ وسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ وسَلّمْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، فِي العَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنْ خُلَفَائِهِ الرَّاشِدِيْنَ، وَعَنْ أَزْوَاجِهِ أُمَّهَاتِ المُؤْمِنِيْنَ، وَعَنْ سَائِرِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ، وَعَنْ المُؤْمِنِيْنَ وَالمُؤْمِنَاتِ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، وَعَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
اللَّهُمَّ اجْعَلْ جَمْعَنَا هَذَا جَمْعًا مَرْحُوْمًا، وَاجْعَلْ تَفَرُّقَنَا مِنْ بَعْدِهِ تَفَرُّقًا مَعْصُوْمًا، وَلا تَدَعْ فِيْنَا وَلا مَعَنَا شَقِيًّا وَلا مَحْرُوْمًا.
اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالعَفَافَ وَالغِنَى.
اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ أَنْ تَرْزُقَ كُلاًّ مِنَّا لِسَانًا صَادِقًا ذَاكِرًا، وَقَلْبًا خَاشِعًا مُنِيْبًا، وَعَمَلاً صَالِحًا زَاكِيًا، وَعِلْمًا نَافِعًا رَافِعًا، وَإِيْمَانًا رَاسِخًا ثَابِتًا، وَيَقِيْنًا صَادِقًا خَالِصًا، وَرِزْقًا حَلاَلاًَ طَيِّبًا وَاسِعًا، يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ.
اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَوَحِّدِ اللَّهُمَّ صُفُوْفَهُمْ، وَأَجْمِعْ كَلِمَتَهُمْ عَلَى الحَقِّ، وَاكْسِرْ شَوْكَةَ الظَّالِمِينَ، وَاكْتُبِ السَّلاَمَ وَالأَمْنَ لِعِبادِكَ أَجْمَعِينَ.
اللَّهُمَّ رَبَّنَا احْفَظْ أَوْطَانَنَا وَأَعِزَّ سُلْطَانَنَا وَأَيِّدْهُ بِالْحَقِّ وَأَيِّدْ بِهِ الْحَقَّ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ
اللَّهُمَّ رَبَّنَا اسْقِنَا مِنْ فَيْضِكَ الْمِدْرَارِ، وَاجْعَلْنَا مِنَ الذَّاكِرِيْنَ لَكَ في اللَيْلِ وَالنَّهَارِ، الْمُسْتَغْفِرِيْنَ لَكَ بِالْعَشِيِّ وَالأَسْحَارِ
اللَّهُمَّ أَنْزِلْ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِ السَّمَاء وَأَخْرِجْ لَنَا مِنْ خَيْرَاتِ الأَرْضِ، وَبَارِكْ لَنَا في ثِمَارِنَا وَزُرُوْعِنَا وكُلِّ أَرزَاقِنَا يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ.
رَبَّنَا آتِنَا في الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
رَبَّنَا لا تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا، وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً، إِنَّكَ أَنْتَ الوَهَّابُ.
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الخَاسِرِيْنَ.
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدُّعَاءِ.
عِبَادَ اللهِ :إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي القُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ
[Khutbah Jum'at edisi 24 Jumadil Awal 1434 H bertepatan dengan 5 April 2013 M; Bersama Dakwah]
KHUTBAH PERTAMA
إنَّ الحَمْدَ لله، نَحْمَدُه، ونستعينُه، ونستغفرُهُ، ونعوذُ به مِن شُرُورِ أنفُسِنَا، وَمِنْ سيئاتِ أعْمَالِنا، مَنْ يَهْدِه الله فَلا مُضِلَّ لَهُ، ومن يُضْلِلْ، فَلا هَادِي لَهُ.
أَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وأشهدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه.
اَللَّهُمَّ صَلِّى عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَ هُدًى
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا * يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
Hari ini kita berada di Jum’at terakhir bulan Jumadil Ula 1434 H. Pada bulan yang sama, 1426 tahun yang lalu, sebuah perang besar dilakukan umat Islam. Mengapa besar? Karena saat itu Rasulullah mengutus 3.000 pasukan. Jumlah pasukan terbesar yang sampai saat itu hanya tertandingi dengan jumlah pasukan Islam pada Perang Khandaq.
Perang yang kemudian dikenal sebagai Perang Muktah itu bermula ketika Rasulullah mengutus Al Harits bin Umair untuk mengantarkan surat kepada pemimpin Bushra. Namun di perjalanan, Al Harits dihadang Syurahbil bin Amr Al Ghassany, pemimpin Al Balqa’ yang berada di bawah Qaishar Romawi. Syurahbil mengikat Al Harits dan membawanya ke hadapan Qaishar, lalu memenggal lehernya.
Membunuh utusan merupakan kejahatan yang sangat keji sekaligus mengumumkan perang kepaa negara pengutus. Karena itulah Rasulullah sangat murka dan menghimpun 3.000 pasukan. Sebelum memberangkatkan pasukan beliau menunjuk Zaid bin Haritsah sebagai pemimpin pasukan seraya berpesan: “Jika Zaid gugur, penggantinya adalah Ja’far. Jika Ja’far gugur, penggantinya adalah Abdullah bin Rawahah.”
Pesan ini aneh. Belum pernah Rasulullah berpesan seperti ini dalam perang-perang sebelumnya. Kelak, para sahabat dan sejarah mencatat bahwa itu adalah prediksi nubuwah yang benar-benar terjadi. Bahwa mereka yang disebut benar-benar gugur dalam Perang Muktah tersebut.
Jamaah Jum’at rahimakumullah,
Singkat cerita, kemudian kedua pasukan bertemu setelah dua hari saling mengawasi. Mengapa tidak langsung berperang? Sebab mereka sama-sama ragu. Pasukan Islam belum pernah berhadapan dengan pasukan sebanyak itu, sedangkan Pasukan Romawi juga ragu sebab pasukan Islam yang kecil itu tidak memiliki sejarah kalah.
3.000 pasukan Islam melawan 200.000 pasukan Romawi. Jumlah yang sangat tidak seimbang. Tetapi Zaid bin Haritsah memimpin perang dengan gagah berani. Ia bertempur hebat sambil memegang bendera Islam. Di zaman itu, bendera pasukan dipegang oleh pemimpinnya. Hingga, sebuah tombak musuh mengenainya. Zaid pun jatuh ke tanah. Ia syahid.
Seperti pesan Rasulullah, Ja’far bin Abu Thalib mengambil bendera itu. Melanjutkan kepemimpinan perang. Ia pun bertempur dengan luar biasa. Membunuh satu per satu pasukan Romawi. Ketika peperangan makin seru, kudanya terkena senjata dan ia terlempar. Ja’far melanjutkan pertemuran hingga pasukan Romawi menebas tangan kanannya. Kehilangan tangan kanan, Ja’far mengamankan bendera dengan tangan kirinya. Namun kemudian tangan kirinya juga tertebas pedang musuh. Ja’far lalu mendekap bendera di dada dengan sisa-sisa lengannya agar tetap berkibar. Lalu pasukan Romawi menebaskan pedang hingga tubuhnya terbelah menjadi dua. Ketika nantinya jasad Ja’far ditemukan, Ibnu Umar mendapati tak kurang dari 50 luka sabetan dan hunjaman di tubuh Ja’far yang terbelah menjadi dua itu. Dan karenanya Ja’far dijuluki Dzul-Janahain (orang yang memiliki dua sayap).
Setelah Ja’far syahid seperti prediksi Rasulullah, bendera diambil alih Abdullah bin Rawahah. Ia juga memimpin pasukan dan bertempur dengan gagah berani. Hingga kemudian ia pun gugur. Pada saat itu di Madinah, Rasulullah mengabarkan gugurnya ketiga panglima Islam tersebut. “Zaid mengambil bendera lalu dia gugur. Kemudian Ja’far mengambilnya lalu dia juga gugur. Kemudian Ibnu Rawahah mengambilnya, dan ia pun juga gugur.” Rasulullah menangis, para sahabat juga ikut menangis.
Kembali ke Muktah. Rasulullah memang menunjuk urutan panglima mulai dari Zaid, Ja’far lalu Ibnu Rawahah. Tetapi setelah itu tidak ada petunjuk. Padahal bendera jatuh dan harus diselamatkan, perang harus dilanjutkan, harus ada pemimpin baru. Pada saat itulah seorang sahabat dari Bani Ajlan, Tsabit bin Arqam maju dan menyelamatkan bendera. Setelah bendera di tangannya ia berteriak, “Wahai semua muslim, angkatlah pemimpin baru!”
“Engkau saja,” jawab mereka.
“Aku tidak akan sanggup” kata Tsabit yang kemudian mencari seseorang dan memintanya memimpin. “Kau yang harus memimpin wahai Abu Sulaiman” semula ia menolak, tetapi setelah musyawarah singkat menunjuknya. Abu Sulaiman pun memimpin dengan gagah berani. Dialah yang disebut Rasulullah Syaifullah (pedang Allah), Khalid bin Walid.
Jamaah Jum’at rahimakumullah,
Ada sebuah nama yang disebutkan dalam sejarah Perang Muktah tersebut. Tsabit bin Arqam. Nama itu mungkin asing bagi kita, karena ia memang tidak terkenal dan tidak ingin terkenal. Dalam sepanjang sirah nabawiyah, namanya hanya disebut satu kali itu, dalam Perang Muktah. Sebelum dan sesudahnya tidak disebut lagi. Tetapi, jasanya sangat besar. Ia ikut berperang, berjihad. Bahkan pada perang kali ini ia menyelamatkan bendera, melanjutkan jalannya peperangan, mengamankan masa transisi hingga terpilihnya pemimpin baru.
Jamaah Jum’at rahimakumullah,
Kita membutuhkan orang-orang seperti Tsabit bin Arqam ini. Jasanya besar, meskipun ia tidak terkenal. Kita juga perlu belajar dari Tsabit bin Arqam, yang terus beramal, terus berkarya, berkontribusi, menyumbang jasa besar, tanpa mempedulikan apakah kita akan dikenal atau tidak. Keihlasan seperti inilah yang sulit dan barangkali cukup langka di zaman kita, hari–hari ini. Tetapi hanya dengan ikhlas-lah, amal-amal kita akan bernilai di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tanpa keikhlasan, sirnalah segala amal, sia-sia dalam pandangan-Nya.
Ikhlas inilah yang menjadi kaidah agama Allah secara mutlak, baik Islam di masa kini maupun agama samawi di masa sebelumnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
Allah Azza wa Jalla juga mengajarkan kepada kita untuk meneguhkan keikhlasan dalam setiap amal, bahkan dalam setiap langkah kehidupan kita.
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Maka segala amal, baik ibadah mahdhah maupun ghairu mahdhah, semuanya harus berangkat dari ikhlas, semata-mata untuk Allah. Jika ikhlas ini sudah mendarah daging, sudah menjadi landasan amal, sudah menjadi ruh ibadah, maka pada setiap aktifitas tidak terlalu penting bagi kita, apakah itu akan dipuji orang atau tidak. Tidak penting bagi orang yang ikhlas, apakah amalnya akan diingat orang atau tidak. Tidak penting bagi orang yang ikhlas, apakah kontribusi sosialnya akan diliput media atau tidak. Tidak penting bagi orang yang ikhlas, apakah karyanya akan ditulis sejarah atau tidak.
Orang yang ikhlas itu berpikir produktifitas, bukan popularitas. Orang yang ikhlas itu fokus pada peran dan pekerjaan, bukan status dan jabatan. Orang yang ikhlas itu berorientasi pada persoalan apakah amalnya diterima Allah Ta'ala, bukan pada apakah manusia melihatnya. Dan sekali lagi, tanpa keikhlasan, sirnalah segala nilai amal, betatapun besarnya.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ ، وَإِنَّمَا لاِمْرِئٍ مَا نَوَى ، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Lihatlah. Amal yang sangat besar seperti hijrah saja tidak akan diterima Allah jika tidak ikhlas. Apatah lagi amal-amal lainnya. Padahal hijrah itu meninggalkan harta. Meninggalkan rumah dan aset-aset lainnya. Meninggalkan tanah kelahiran yang sangat berat bagi banyak orang, hingga Bilal pun demam akibat kerinduannya pada Makkah, lalu sembuh setelah Rasulullah mendoakannya. Bahkan hijrah tidak jarang juga meninggalkan keluarga dan saudara. Amal apalagi yang lebih besar dari itu? Tetapi ia akan sia-sia jika tidak diniatkan karena Allah Azza wa Jalla.
Jama'ah Jum'at rahimakumullah,
Mungkin kita akan menyebut jihad sebagai amal yang lebih besar dari hijrah. Jihad juga sama, tanpa keikhlasan ia menjadi sia-sia. Mati dalam jihad tetapi niatnya tidak ikhlas juga tidak bisa berujung ridha Allah dan surga-Nya. Karenanya dalam sebuah hadits disebutkan bahwa tiga orang yang pertama-tama masuk neraka adalah orang berilmu, orang kaya yang dermawan dan orang yang mati dalam jihad, tetapi ketiganya tidak ikhlas dalam niatnya.
Suatu saat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ditanya, siapakah yang dinilai Allah fi sabilillah, apakah orang yang berperang karena ia berani, karena fanatisme kebangsaan atau karena ingin dipuji orang. Maka Rasulullah bersabda:
مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللَّهِ هِىَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
Jama'ah Jum'at yang dirahmati Allah,
Di era modern saat ini, sangat sulit untuk meluruskan niat menjadi ikhlas. Banyak godaan datang, termasuk godaan ingin disanjung dan popularitas. Tetapi tidak ada pilihan lain agar amal kita diterima Allah, kecuali dengan ikhlas. Sebagaimana Tsabit bin Arqam mengajarkan kepada kita, melakukan pekerjaan besar dengan ikhlas tanpa mempedulikan popularitas. Tetap beramal walaupun kita tak pernah dikenal.
وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِينَ
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ
أَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وأشهدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه.
اَللَّهُمَّ صَلِّى عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَ هُدًى
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Selain popularitas, ingin dikenal, ingin dipuji dan ingin dikenang, godaan keikhlasan lainnya adalah meniatkan amal akhirat untuk tujuan dunia. Untuk mendapatkan harta, kekayaan, jabatan atau kekuasaan. Di dalam sirah nabawiyah pernah dicontohkan ada seorang yang ikut berjihad, ia mati dalam kondisi mencuri satu benda bagian dari ghanimah. Nilainya tidak seberapa, tetapi ketidakikhlasan dalam berjihad itu membuatnya tidak mendapatkan pahala sebagai syuhada.
Maka bayangkanlah, jika nanti pada yaumul hisab (hari perhitungan), kita menyangka catatan kebaikan kita banyak, bertumpuk-tumpuk, menggunung. Sebab di dunia memang kita banyak beramal. Tetapi alangkah kecewanya kita jika semua amal kita tidak dinilai sama sekali karena tidak ada ikhlas di dalam hati. Alangkah sedihnya kita, jika di waktu itu kita hanya menemui catatan kejelekan, tanpa pahala dan kebaikan.
Jama'ah Jum'at rahimakumullah,
Kita tak bisa selamat kecuali hati kita ikhlas. Di akhirat itu tidak bermanfaat harta yang dulunya kita kejar dengan menggadai keikhlasan dalam beramal. Bahkan tidak bermanfaat anak-anak yang kita banggakan. Kecuali hati kita bersih, dipenuhi keikhlasan.
يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ * إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا * يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
اللَّهُمَّ صَلِّ وسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ وسَلّمْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، فِي العَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنْ خُلَفَائِهِ الرَّاشِدِيْنَ، وَعَنْ أَزْوَاجِهِ أُمَّهَاتِ المُؤْمِنِيْنَ، وَعَنْ سَائِرِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ، وَعَنْ المُؤْمِنِيْنَ وَالمُؤْمِنَاتِ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، وَعَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
اللَّهُمَّ اجْعَلْ جَمْعَنَا هَذَا جَمْعًا مَرْحُوْمًا، وَاجْعَلْ تَفَرُّقَنَا مِنْ بَعْدِهِ تَفَرُّقًا مَعْصُوْمًا، وَلا تَدَعْ فِيْنَا وَلا مَعَنَا شَقِيًّا وَلا مَحْرُوْمًا.
اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالعَفَافَ وَالغِنَى.
اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ أَنْ تَرْزُقَ كُلاًّ مِنَّا لِسَانًا صَادِقًا ذَاكِرًا، وَقَلْبًا خَاشِعًا مُنِيْبًا، وَعَمَلاً صَالِحًا زَاكِيًا، وَعِلْمًا نَافِعًا رَافِعًا، وَإِيْمَانًا رَاسِخًا ثَابِتًا، وَيَقِيْنًا صَادِقًا خَالِصًا، وَرِزْقًا حَلاَلاًَ طَيِّبًا وَاسِعًا، يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ.
اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَوَحِّدِ اللَّهُمَّ صُفُوْفَهُمْ، وَأَجْمِعْ كَلِمَتَهُمْ عَلَى الحَقِّ، وَاكْسِرْ شَوْكَةَ الظَّالِمِينَ، وَاكْتُبِ السَّلاَمَ وَالأَمْنَ لِعِبادِكَ أَجْمَعِينَ.
اللَّهُمَّ رَبَّنَا احْفَظْ أَوْطَانَنَا وَأَعِزَّ سُلْطَانَنَا وَأَيِّدْهُ بِالْحَقِّ وَأَيِّدْ بِهِ الْحَقَّ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ
اللَّهُمَّ رَبَّنَا اسْقِنَا مِنْ فَيْضِكَ الْمِدْرَارِ، وَاجْعَلْنَا مِنَ الذَّاكِرِيْنَ لَكَ في اللَيْلِ وَالنَّهَارِ، الْمُسْتَغْفِرِيْنَ لَكَ بِالْعَشِيِّ وَالأَسْحَارِ
اللَّهُمَّ أَنْزِلْ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِ السَّمَاء وَأَخْرِجْ لَنَا مِنْ خَيْرَاتِ الأَرْضِ، وَبَارِكْ لَنَا في ثِمَارِنَا وَزُرُوْعِنَا وكُلِّ أَرزَاقِنَا يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ.
رَبَّنَا آتِنَا في الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
رَبَّنَا لا تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا، وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً، إِنَّكَ أَنْتَ الوَهَّابُ.
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الخَاسِرِيْنَ.
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدُّعَاءِ.
عِبَادَ اللهِ :إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي القُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ