Oleh: Farid Nu’man Hasan Banyak pertanyaan kepada kami mengenai ini, baik melalui sms atau email. Terkait adanya Partai Islam yan...
Oleh: Farid Nu’man Hasan
Banyak pertanyaan
kepada kami mengenai ini, baik melalui sms atau email. Terkait adanya Partai
Islam yang mencalonkan Non Muslim sebagai
Caleg (Calon Anggota Legislatif) dari partai Islam tersebut. Yang perlu
ditekankan adalah tentunya caleg non muslim tersebut wajib mengakui asas Islam
dan platform partai Islam tersebut. Apakah hal keberadaan mereka untuk membantu perjuangan
Partai Islam dibenarkan syariat? Ataukah ini hal yang sifatnya situasional dan
bisa berlaku bagi daerah tertentu, daerah yang minim umat Islam dan juga lemah
keadaannya seperti Papua dan Nusa Tenggara Timur, namun tidak boleh bagi daerah lain yang umat
Islam adalah mayoritas dan kuat, seperti pulau Jawa dan Sumatera?
Debatable
Sejak Lama …
Sebenarnya
masalah ini bukan permasalahan baru, tetapi sudah terjadi sejak lama; yakni
bolehkah dalam perjuangan umat Islam dengan memanfaatkan bantuan orang kafir,
baik bantuan dana, persenjataan, atau
partisipasi langsung jiwa raga mereka dalam barisan umat Islam.
Dahulu, awal
tahun 90-an, pasca serangan Irak ke Kuwait, yang akhirnya melahirkan perang
teluk pertama, para ulama di kerajaan Arab Saudi memfatwakan bolehnya meminta
bantuan Amerika Serikat (saat itu dipimpin oleh George Bush Senior) yang nota
bene kafir untuk melawan keberingasan
Saddam Husein, seorang Sosialis Aktifis Partai Ba’ts Irak, yang didirikan oleh
Michael Aflaq, seorang Kristen. Mereka menganggap Saddam Husein sudah bukan
lagi muslim, baik karena kekejamannya kepada umat Islam Kurdi dan semua lawan
politiknya, dan juga karena ideologinya
yang Sosialis. Kekafiran Saddam Husein
difatwakan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, Syaikh Said Hawwa (Siria), Syaikh
Abdullah ‘Azzam (Al Filisthini tsumma Al Urduni), dan lainnya.
Sederhananya adalah memanfaatkan kekuatan orang kafir untuk melawan orang kafir
lainnya, karena keadaan diri yang masih lemah.
Fatwa ini, bukan
berarti tanpa kritik. Para ulama Arab Saudi
sendiri mengkritiknya, khususnya dari para ulama muda semisal Syaikh Salman
Fahd Al ‘Audah (Wakil Ketua Ikatan Ulama Muslimin Sedunia yang diketuai oleh
Syaikh Yusuf Al Qaradhawi) dan Syaikh ‘Aidh Al Qarny (pengarang kitab Laa
Tahzan), yang karena kritikannya itu mereka berdua di penjara oleh pihak
Kerajaan. Kritikan juga datang dari Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah
yang tidak menyetujui fatwa tersebut. Sebab, dari fatwa ini yang menjadi korban
bukanlah AS dan Saddam Husein dan tentaranya, tetapi rakyat Irak yang muslim.
Merekalah yang mengalami penderitaan karena kezaliman AS dan Saddam Husein saat
itu.
Lebih lama lagi,
gerakan Islam terbesar abad modern, Al Ikhwan Al Muslimun di Mesir pada
masa Al Ustadz Syahidul Islam Hasan Al Banna Rahimahullah juga pernah
menempatkan seorang Kristen Koptik (Qibthy) sebagai wakil mereka di
palemen Mesir. Sejak jauh hari, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
memang menyebutkan bahwa kaum Koptik akan menjadi penolong perjuangan umat
Islam.
الله الله فى قبط مصر فإنكم ستظهرون عليهم فيكونون لكم عدة وأعوانًا فى سبيل الله
Takutlah
kepada Allah, takutlah kepada Allah, dalam bergaul dengan kaum Qibthi
Mesir. Sesungguhnya kalian akan mengalahkan mereka, dan mereka
akan menjadi kekuatan dan pertolongan bagi kalian dalam perjuangan fi
sabilillah. (HR. Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir, No.
561, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul ‘Ummal No. 34023)[1]
Abdullah bin Yazid dan Amru bin Huraits, dan slainnya, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إنكم ستقدمون على قوم جعد رؤوسهم فاستوصوا بهم خيرا فإنهم قوة لكم وبلاغ إلى عدوكم بإذن الله ـ يعني قبط مصر ـ
Sesungguhnya kalian akan mendatangi kaum yang
keriting kepalanya, maka berwasiatlah yang baik-baik dengan mereka, karena
mereka akan menjadi kekuatan bagimu, dan menjadi bekal bagimu untuk melawan
musuh-musuhmu dengan izin Allah. –yaitu
kaum Qibthi Mesir. (HR. Abu Ya’la No. 1473, berkata Husein Salim Asad:
para perawinya tsiqaat (terpercaya). Ibnu Hibban No. 6677)[2]
Penolong kita adalah Allah, RasulNya, dan Orang-orang beriman
Inilah dasar bagi setiap orang beriman,
tidak ragu lagi dan tidak diperdebatkan lagi, bahwa mereka menjadikan Allah,
RasulNya, dan orang-orang beriman sebagai tempat memberikan Al Wala. Itulah hizbullah yang dijanjikan
kemenangan oleh Allah Jalla wa ‘Ala. Al Wala bukan kepada orang kafir, musyrik, munafiq, ahludh
dhalal, dan mubtadi’.
Allah Ta’ala
berfirman:
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ (55) وَمَنْ يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ (56)
Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah,
Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan
zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). dan Barangsiapa mengambil Allah,
Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, Maka Sesungguhnya
pengikut (agama) Allah (hizbullah) Itulah yang pasti menang. (QS. Al Maidah: 55-56)
Secara khusus, tidak pula memberikan Al
Wala (loyalitas dan cinta) kepada Yahudi dan Nasrani, dan ini terlarang.
Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ (51)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu);
sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa
diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu
termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang zalim.
(QS. Al Maidah: 51)
Secara khusus, tidak pula memberikan Al
Wala kepada orang-orang yang mempermainkan agama. Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (57)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil Jadi
pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu Jadi buah ejekan dan permainan,
(yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu (Yakni Ahli
Kitab), dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). dan bertakwalah kepada
Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman. (QS. Al Maidah: 57)
Apakah makna wali dalam ayat-ayat
ini? Wali jamaknya adalah auliya’ yang berati penolong dan
kekasih. (Imam Ibnu Jarir, Jami’ul Bayan,
9/319) Bisa juga bermakna teman dekat, yang mengurus urusan, yang mengusai
(pemimpin). (Ahmad Warson
Al Munawwir, Kamus Al Munawwir, Hal. 1582)
Maka, jelaslah bahwa umat Islam tidak
dibenarkan menjadikan orang kafir sebagai penolong, kekasih, teman dekat, dan
pemimpin mereka. Sebab wali kita hanyalah kepada Allah, RasulNya, dan
orang-orang beriman.
Bagaimana jika keadaan tidak normal; lemah dan masih sedikit
Bagaimana jika keadaan umat Islam masih
sedikit (minoritas) -tentunya juga masih lemah- bolehkah meminta bantuan mereka
dalam sebagian urusan kaum muslimin? Tentunya dalam hal ini adalah Partai Islam
di sana memanfaatkan non muslim sebagai wakilnya di parlemen mereka
di sana? Sebab,
jangankan mencari kadernya sendiri, mencari orang Islam saja tidak mudah. Tentunya
adalah sebuah prestasi tersendiri jika ada Partai Islam yang mampu mengajak
orang kafir untuk turut membantu perjuangan ideologi dan platform Partai Islam
tersebut. Bagaimana bisa seseorang yang tidak meyakini kerasulan Nabi Muhammad Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, dan tidak mengakui kebenaran Islam, justru dengan sadar
jatuh hati dan tertarik, lalu menawarkan
dirinya ikut membantu perjuangan Partai Islam?
Lalu, apakah ayat-ayat tentang larangan
meminta bantuan kepada orang kafir tetap berlaku dalam keadaan lemah dan minor
seperti ini? Ataukah ini situasi yang dimaafkan dan dikecualikan?
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah melakukannya
Dalam proses perjalanan hijrah ke Madinah,
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu
‘Anhu memanfaatkan jasa bantuan seorang dari Bani Ad Diil yang
beragama kafir Quraisy sebagai petunjuk jalan menuju Madinah.
‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha
bercerita:
وَاسْتَأْجَرَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، وَأَبُو
بَكْرٍ رَجُلًا
مِنْ بَنِي
الدِّيلِ هَادِيًا
خِرِّيتًا، وَهُوَ
عَلَى دِينِ
كُفَّارِ قُرَيْشٍ
Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam dan Abu Bakar mengupah seorang laki-laki dari Bani Ad
Diil sebagai petunjuk jalan, dan dia adalah seorang beragama kafir Quraisy.
(HR. Bukhari No. 2264)
Ini menjadi dasar bahwa meminta bantuan
orang kafir adalah boleh, jika dalam keadaan lemah, dan masih sedikit. Jika
memang ini terlarang secara mutlak, tentu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
menjadi orang pertama yang mencegah dirinya sendiri untuk melakukan itu dan dia
akan serukan kepada segenap manusia. Tetapi, kenyataan justru menunjukkan
sebaliknya, saat itu kaum muslimin yang tersisa di Mekkah tinggal berlima;
Nabi, Abu Bakar, putranya, Asma, dan Ali. Jumlah yang sedikit dan tentunya
lemah. Mereka pun sudah memiliki tugas masing-masing, putranya Abu Bakar tetap
berada di Mekkah untuk mengawasi keadaan dan mencari=cari perkembangan berita.
Asma Radhiallau ‘Anha bertugas membawakan makanan untuk Nabi dan Abu
Bakar, sementara Ali Radhiallahu ‘Anhu berada di rumah nabi menggantikannya
setelah nabi dikepung oleh gabungan berbagai kabilah kaum kuffar Quraisy.
Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga pernah mendapatkan dukungan dari
Musyrikin Bani Khuza’ah untuk melawan musuhnya. Juga masih banyak
peristiwa-peristiwa lainnya, sebagaimana yang nanti kami lampirkan.
Pandangan Para Ulama
Al Hafizh Ibnu
Hajar Rahimahullah berkata tentang peristwa hijrah tersebut:
وَفِي الْحَدِيثِ اسْتِئْجَارُ الْمُسْلِمِ الْكَافِرَ عَلَى هِدَايَةِ الطَّرِيقِ إِذَا أُمِنَ إِلَيْهِ واستئجار الْإِثْنَيْنِ وَاحِدًا على عمل وَاحِد جَازَ
Dalam hadits ini
menunjukkan bahwa seorang muslim mengupah orang kafir untuk membantunya
memberikan petunjuk jalan jika hal itu aman baginya, dan juga dua orang yang
mengupah satu orang dalam satu
perbuatan, itu adalah diperbolehkan. (Fathul Bari, 4/442-443)
Imam Ibnu Baththal Rahimahullah
menjelaskan:
عامة الفقهاء، يجيزون استئجارهم - أي المشركين - عند الضرورة وغيرها لما في ذلك من المذلة لهم، وإنما الممتنع أن يؤاجر المسلم نفسه من المشرك لما فيه من إذلال المسلم
Kebanyakan ahli fiqih membolehkan mengupah
mereka –yaitu kaum musyrikin- ketika kebutuhannya mendesak dan selainnya, dan
karena hal itu dapat merendahkan mereka (musyrikin), sebaliknya seorang muslim
janganlah menjadi orang yang diupah oleh kaum musyrikin, karena hal itu dapat
merendahkan seorang muslim. (Imam Ibnu Baththal, Syarh Shahih Al Bukhari, 6/387)
Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah
berkata:
في استئجار النبي صلى الله عليه وسلم عبد الله بن أريقط الدؤلي هاديا في وقت الهجرة وهو كافر دليل على جواز الرجوع إلى الكافر في الطب والكحل والأدوية والكتابة والحساب والعيوب ونحوها ما لم يكن ولاية تتضمن عدالة ولا يلزم من مجرد كونه كافرا أن لا يوثق به في شيء أصلا فإنه لا شيء أخطر من الدلالة في الطريق ولا سيما في مثل طريق الهجرة.
Pada saat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam mengupahi Abdullah bin Uraikith Ad Du’aliy sebagai orang yang menunjuki
jalan pada waktu hijrah, dia dalam
keadaan kafir, menunjukkan bolehnya merujuk kepada orang kafir dalam hal
kedokteran, pengobatan, tulis menulis, menghitung, dan semisalnya, selama pertolongan itu tidak mengandung semakin
kuatnya kekafirannya, maka tidak apa-apa memintanya sebagai petunjuk jalan
apalagi jalan untuk hijrah. (Bada’i Al Fawaid, 3/208)
Imam Al Hazimi mengatakan:
وذهبت طائفة: إلى أن للإمام أن يأذن للمشركين أن يغزوا معه ويستعين بهم ولكن بشرطين:
(1) أن يكون في المسلمين قلة وتدعو الحاجة إلى ذلك.
(2) أن يكونوا ممن يوثق بهم فلا تخش ثائرتهم.
Segolongan ulama berpendapat: “Pemimpin bisa
mengijinkan orang-orang musyrik bergabung bersamanya dalam peperangan dan
membantu kaum muslimin, dengan dua syarat:
Pertama,
jumlah kaum muslimin hanya sedikit dan ada faktor yang mendorong kebutuhan itu.
Kedua, orang-orang musyrik tersebut bisa dipercaya dan tidak dikhawatiri
akan memberontak.” (Imam Al Hazimi, Al
I’tibar fin Naasikh wa Mansuukh, Hal. 219)
Al Hazimi menambahkan:
ولا بأس أن يستعان بالمشركين على قتال المشركين إذا خرجوا طوعاً ولا يسهم لهم
“Boleh meminta pertolongan kepada orang
musyrik untuk memerangi orang musyrik lainnya, selagi mereka bergabung dengan
patuh dan tidak memberi andil bagi musuh.” (Ibid, Hal. 220)
Imam Ibnul Qayyim
mengatakan:
الاستعانة بالمشرك المأمون في الجهاد جائزة عند الحاجة لأن عينه صلى الله عليه وسلم الخزاعي كان كافراً إذ ذاك، وفيه من المصلحة أنه أقرب إلى اختلاطه بالعدو وأخذه أخبارهم
Meminta
pertolongan orang musyrik yang terpercaya dalam
medan
jihad adalah dibolehkan ketika dibutuhkan, sebab Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam sendiri pernah meminta pertolongan kepada seorang dari Bani Khuzaah
yang kafir, dan di sini adanya maslahat karena orang yang diminta bantuan
tersebut bisa bergaul dengan musuh dan bisa diambil berita tentang mereka
darinya. (Zaadul Ma’ad, 3/303)
Imam Ibnul Qayyim juga berkata:
للإمام أن يستعير سلاح المشركين وعدتهم لقتال عدوه. كما استعار رسول الله صلى الله عليه وسلم أدرع صفوان بن أمية وهو يؤمئذ مشرك
Seorang pemimpin bisa meminjam senjata
dari kaum musyrikin dan apa saja yang mereka miliki untuk memerangi musuh.
Sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meminjam baju
perang dari Shafwan bin Umayyah yang saat itu masih musyrik. (Ibid,
3/479)
Imam Muhamamd bin Abdul Wahhab
Rahimahullah mengatakan:
الانتفاع بالكفار في بعض أمور الدين ليس مذموماً لقصة الخزاعي
Memanfaatkan kaum
kuffar pada sebagian urusan agama bukanlah termasuk tercela berdasarkan kisah
seorang dari Bani Khuza’ah. (Mulhaq Mushannafat Al Imam Muhamamd bin
Abdul Wahhab Hal. 7)
Demikianlah,
dapat disimpulkan dari penjelasan para imam di atas:
-
Tidak apa-apa memanfaatkan bantuan orang kafir jika dalam keadaan
lemah dan masih sedikit, sebagaimana memanfaatkan non muslim menjadi caleg
partai Islam di daerah minoritas muslimnya. Ini adalah keadaan yang memang
tidak bisa disamakan dengan keadaan normal. Jika memang mutlak terlarang, pasti
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak akan memanfaatkan bantuan Abdullah bin
Uraikith, bantuan Musyrikin Bani Khuza’ah, dan lainnya, ketika masih dalam
keadaan awal da’wah Islam yang sedikit dan belum memiliki power yang cukup.
-
Lalu, mereka wajib amanah dan mau patuh kepada kaum
muslimin (dalam konteks Partai Islam, mereka mau tunduk dengan AD/ART, Asas
Islam, dan Platformnya)
Jika Kaum Muslimin mayoritas ….
Ada pun jika keadaan umat Islam mayoritas di
sebuah daerah, maka tidak ada pilihan yang sulit untuk menjadikan seorang
muslim saja sebagai caleg. Maka, tidak dibenarkan menjadikan non muslim
sebagai caleg. Sebab, ini bukan situasi
yang dikecualikan.
Umar bin Al
Khathab Radhiallahu ‘Anhu menulis surat
kepada Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu sebagai penguasa (gubernur) Bahrain yang
sudah berhasil ditaklukan, berikut ini penggalan suratnya:
…وَأَبْعِدْ أَهْلَ الشَّرِّ وَأَنْكِرْ أَفْعَالَهُمْ وَلَا تَسْتَعِنْ فِي أَمْرٍ مِنْ أُمُورِ الْمُسْلِمِينَ بِمُشْرِكٍ، وَسَاعِدْ عَلَى مَصَالِحِ الْمُسْلِمِينَ بِنَفْسِكَ، فَإِنَّمَا أَنْتَ رَجُلٌ مِنْهُمْ غَيْرَ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى جَعَلَكَ حَامِلًا لِأَثْقَالِهِمْ.
“… dan
jauhilah pelaku keburukan dan ingkarilah
perbuatan mereka, dan janganlah meminta pertolongan kepada orang musyrik dalam
mengurus urusan kaum muslimin, dan bantulah kemaslahatan kaum muslimin oleh
dirimu sendiri, karena engkau adalah seorang laki-laki termasuk golongan mereka
maka Allah akan menjadikanmu sebagai pembawa beban berat yang mereka bawa.” (Imam
Ibnul Qayyim, Ahkam Ahludz Dzimmah, 1/455)
Umar bin Al
Khathab Radhiallahu ‘Anhu juga pernah meminta Abu Musa Al Asya’ri Radhiallahu
‘Anhu mencopot sekretarisnya yang
Nasrani, berikut ini kisahnya:
عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قُلْتُ لِعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: إِنَّ لِي كَاتِبًا نَصْرَانِيًّا، قَالَ: مَالِكٌ؟ قَاتَلَكَ اللَّهُ! أَمَّا سَمِعْتَ اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ: {يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ} [المائدة: 51] ، أَلَا اتَّخَذْتَ حَنِيفًا، قَالَ: قُلْتُ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ لِي كِتَابَتُهُ وَلَهُ دِينُهُ، قَالَ: لَا أُكْرِمْهُمْ إِذْ أَهَانَهُمُ اللَّهُ وَلَا أُعِزُّهُمْ إِذْ أَذَلَّهُمُ اللَّهُ، وَلَا أُدْنِيهِمْ إِذْ أَقْصَاهُمُ اللَّهُ.
Abu Musa Al
Asy’ari berkata: Aku berkata kepada Umar: “Aku punya seorang sekretaris seorang
Nasrani.” Beliau menjawab: “Kenapa kamu ini? Semoga Allah memerangimu.” Aku
pernah mendengar Allah Ta’ala berfirman: Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang
lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka
Sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. (QS. Al Maidah: 51).
Kenapa kamu tidak menjadikan seorang yang hanif (muslim)?
Aku menjawab:
“Wahai Amirul mu’minin, saya membutuhkan tulisannya, sedangkan agamanya urusan
dia sendiri.”
Umar menjawab:
“Aku tidak memuliakan mereka ketika Allah telah menghinakan mereka, dan aku
tidak meninggikan mereka ketika Allah telah merendahkan mereka. Aku tidak
merendahkan mereka ketika Allah telah meninggikan mereka.” (Ibid, 1/454)
Demikian. Wallahu A’lam. []
[1] Imam Al Haitsami berkata tentang hadits ini:
رواه الطبراني ورجاله رجال الصحيح.
Diriwayatkan oleh Ath Thabarani dan para perawinya adalah perawi
shahih. (Majma’ Az Zawaid, 10/63)
Syaikh Al Albani juga berkata tentang hadits ini:
قلت: وهذا إسناد صحيح لا أعرف له علة؛ فإن رجاله كلهم ثقات
Saya berkata: isnad hasits ini shahih, saya tidak
mengetahui adanya cacat, dan semua perawinya adalah terpercaya. (As
Silsilah Ash Shahihah No. 3113)
Imam An Nawawi menyebutkan:
وفيه معجزات ظاهرة لرسول الله صلى الله عليه و سلم منها اخباره بأن الامة تكون لهم قوة وشوكة بعدهPada hadits ini terdapat mu’jizat yang jelas bagi
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, di antaranya adalah pengabaran
Beliau bahwa bagi mereka akan ada umat
yang menjadi kekuatan dan senjata
setelah itu. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 16/97. Mawqi’ Ruh Al
Islam)
رواه أبو يعلى ورجاله رجال الصحيح.
Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan para perawinya adalah perawi shahih.
(Majma’ Az Zawaid, 10/64)