Kepada para wanita yang belum menikah, penantian adalah hal yang pasti dilalui, entah itu lama atau sebentar. Dalam masa penantian itu, a...
Kepada para wanita yang belum menikah, penantian adalah hal yang pasti dilalui, entah itu lama atau sebentar. Dalam masa penantian itu, ada banyak hal yang mencuat dalam benak dan perjalanannya. Kebosanan, putus asa, atau bahkan kesabaran dan tawakal yang mengiringi setiap detiknya. Jenuh, kadang itu yang terlontar, pun tak ingin pula jika moment penentu masa depan kita itu juga kita lalui dengan sembarangan orang walaupun terkadang banyak faktor yang membuat kita harus terburu-buru untuk segera menikah. Tuntutan umur, keluarga, atau bahkan “intimidasi” adat dan tradisi. Akhirnya, tidak sedikit muslimah yang terpaksa menikah dengan orang yang tidak diinginkan, entah karena akhlaknya atau alasan lainnya.
Tentang penantian, sepertinya ada sebuah lirik seorang penyair yang bisa kita toleh, bisa menjadi masukan... Ebiet G.A.D. Ada dua pilihan yang bisa kita lakukan dalam masa penantian: menoreh manfaat atau merugikan diri.
Menunggu ada kalanya terasa mengasyikkan, banyak waktu kita miliki untuk berfikir
Sendiri seringkali sangat kita perlukan, meneropong masa silam yang telah terlewat
Mungkin ada apa yang kita cari, masih tersembunyi di lipatan waktu yang tertinggal
Mungkin ada apa yang kita kejar, justru tak terjamah saat kita melintas
Jika kita manfaatkan masa-masa penantian itu dengan positif, banyak hal yang bisa kita lakukan, entah untuk muhasabah atau pun meng-upgrade diri agar lebih berkualitas. Begitu pun sebaliknya, seperti pada syair selanjutnya.
Menunggu lebih terasa beban yang membosankan, banyak waktu kita terbuang tergilas cuaca
Sendiri seringkali sangat menyakitkan, meneropong masa depan dari sisi yang gelap
Mungkin ada apa yang kita takuti, justru t'lah menghadang di lembaran hari-hari nanti
Mungkin ada apa yang kita benci, justru t'lah menerkam menembusi seluruh jiwa kita
Mungkin ada apa yang kita takuti, justru t'lah menghadang di lembaran hari-hari nanti
Mungkin ada apa yang kita benci, justru t'lah menerkam menembusi s'luruh jiwa kita
Jika kita manfaat waktu penantian itu dengan hal yang negatif, bisa jadi kita justru terkalahkan oleh waktu itu sendiri.
Memang seharusnya kita tak membuang semangat masa silam
Bermain dalam dada, setelah usai mengantar kita tertatih-tatih sampai di sini
Di akhir lirik tersebut ada pesan terakhir yang diselipkan tentang semangat masa silam yang mengantarkan kita menjadi seperti sekarang, untuk tak membuang semangat itu sehingga kita tetap bertahan menjadi lebih baik hingga hari ini.
Bait syair Ebit mungkin memberi inspirasi bagi kita. Namun ada inspirasi yang jauh lebih hebat untuk menjadi pegangan kita dalam penantian. Inspirasi itu tidak lain adalah surat cinta Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hamba-hambaNya yang beriman :
وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ حِينَ تَقُومُ وَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ فَإِنَّكَ بِأَعْيُنِنَا
“Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, maka sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu ketika kamu bangun berdiri. Dan bertasbihlah kepada-Nya pada beberapa saat di malam hari dan di waktu terbenam bintang-bintang (di waktu fajar).” (QS. Ath Thuur: 48-49)
Dalam ayat tersebut, Allah mengarahkan Rasulullah dan kaum mukminin untuk bersabar. “Yakni bersabarlah terhadap gangguan mereka (orang-orang jahiliyah, kafir quraisy)” terang Ibnu Katsir dalam tafsirnya. Sayyid Quthb dalam tafsir Fi Zhilalil Qur’an merinci lebih luas: “bersabar dalam menghadapi kesulitan, pendustaan dan cacian. Juga bersabar di jalan dakwah yang berat lagi panjang seraya menyerahkan persoalan kepada keputusan Allah”
Kata-kata Sayyid Quthb pada kalimat terakhir itulah yang perlu digarisbawahi dalam mengambil inspirasi penantian dari ayat ini: bersabarlah seraya menyerahkan persoalan kepada Allah. Sabar dan tawakal.
Langkah penantian seperti itulah yang dicontohkan Fatimah. Sebenarnya, Fatimah mencintai Ali. Tetapi ia diam. Ia tak pernah mengatakannya, juga tak pernah menjadikan alasan itu untuk menolak lelaki shalih yang lebih dulu datang melamarnya. Sebab ia tak tahu ketentuan Allah kelak seperti apa.
Jika kemudian Abu Bakar melamar Fatimah dan ditolak, Umar melamar juga ditolak, yang menolak adalah Rasulullah, bukan Fatimah. Sampai kemudian ketika Ali melamar Fatimah, Rasulullah menyetujuinya: ahlan wa sahlan.
“Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda ” kata Fatimah kepada Ali setelah keduanya menjadi suami istri.
“Kalau begitu mengapa engkau mau menikah denganku? dan siapakah pemuda itu?” Ali balik bertanya. Ia terkejut dengan apa yang didengarnya dari istri tercinta.
“Ya, karena pemuda itu adalah dirimu” jawab Fatimah sambil tersenyum.
Bisakah kita seperti Fatimah? Merangkai 3 hal dalam masa penantian, seperti petunjuk Allah dalam ayat di atas: bersabar, bertasbih, dan shalat malam. [Gresia Divi]
Tentang penantian, sepertinya ada sebuah lirik seorang penyair yang bisa kita toleh, bisa menjadi masukan... Ebiet G.A.D. Ada dua pilihan yang bisa kita lakukan dalam masa penantian: menoreh manfaat atau merugikan diri.
Menunggu ada kalanya terasa mengasyikkan, banyak waktu kita miliki untuk berfikir
Sendiri seringkali sangat kita perlukan, meneropong masa silam yang telah terlewat
Mungkin ada apa yang kita cari, masih tersembunyi di lipatan waktu yang tertinggal
Mungkin ada apa yang kita kejar, justru tak terjamah saat kita melintas
Jika kita manfaatkan masa-masa penantian itu dengan positif, banyak hal yang bisa kita lakukan, entah untuk muhasabah atau pun meng-upgrade diri agar lebih berkualitas. Begitu pun sebaliknya, seperti pada syair selanjutnya.
Menunggu lebih terasa beban yang membosankan, banyak waktu kita terbuang tergilas cuaca
Sendiri seringkali sangat menyakitkan, meneropong masa depan dari sisi yang gelap
Mungkin ada apa yang kita takuti, justru t'lah menghadang di lembaran hari-hari nanti
Mungkin ada apa yang kita benci, justru t'lah menerkam menembusi seluruh jiwa kita
Mungkin ada apa yang kita takuti, justru t'lah menghadang di lembaran hari-hari nanti
Mungkin ada apa yang kita benci, justru t'lah menerkam menembusi s'luruh jiwa kita
Jika kita manfaat waktu penantian itu dengan hal yang negatif, bisa jadi kita justru terkalahkan oleh waktu itu sendiri.
Memang seharusnya kita tak membuang semangat masa silam
Bermain dalam dada, setelah usai mengantar kita tertatih-tatih sampai di sini
Di akhir lirik tersebut ada pesan terakhir yang diselipkan tentang semangat masa silam yang mengantarkan kita menjadi seperti sekarang, untuk tak membuang semangat itu sehingga kita tetap bertahan menjadi lebih baik hingga hari ini.
Bait syair Ebit mungkin memberi inspirasi bagi kita. Namun ada inspirasi yang jauh lebih hebat untuk menjadi pegangan kita dalam penantian. Inspirasi itu tidak lain adalah surat cinta Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hamba-hambaNya yang beriman :
وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ حِينَ تَقُومُ وَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ فَإِنَّكَ بِأَعْيُنِنَا
Dalam ayat tersebut, Allah mengarahkan Rasulullah dan kaum mukminin untuk bersabar. “Yakni bersabarlah terhadap gangguan mereka (orang-orang jahiliyah, kafir quraisy)” terang Ibnu Katsir dalam tafsirnya. Sayyid Quthb dalam tafsir Fi Zhilalil Qur’an merinci lebih luas: “bersabar dalam menghadapi kesulitan, pendustaan dan cacian. Juga bersabar di jalan dakwah yang berat lagi panjang seraya menyerahkan persoalan kepada keputusan Allah”
Kata-kata Sayyid Quthb pada kalimat terakhir itulah yang perlu digarisbawahi dalam mengambil inspirasi penantian dari ayat ini: bersabarlah seraya menyerahkan persoalan kepada Allah. Sabar dan tawakal.
Langkah penantian seperti itulah yang dicontohkan Fatimah. Sebenarnya, Fatimah mencintai Ali. Tetapi ia diam. Ia tak pernah mengatakannya, juga tak pernah menjadikan alasan itu untuk menolak lelaki shalih yang lebih dulu datang melamarnya. Sebab ia tak tahu ketentuan Allah kelak seperti apa.
Jika kemudian Abu Bakar melamar Fatimah dan ditolak, Umar melamar juga ditolak, yang menolak adalah Rasulullah, bukan Fatimah. Sampai kemudian ketika Ali melamar Fatimah, Rasulullah menyetujuinya: ahlan wa sahlan.
“Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda ” kata Fatimah kepada Ali setelah keduanya menjadi suami istri.
“Kalau begitu mengapa engkau mau menikah denganku? dan siapakah pemuda itu?” Ali balik bertanya. Ia terkejut dengan apa yang didengarnya dari istri tercinta.
“Ya, karena pemuda itu adalah dirimu” jawab Fatimah sambil tersenyum.
Bisakah kita seperti Fatimah? Merangkai 3 hal dalam masa penantian, seperti petunjuk Allah dalam ayat di atas: bersabar, bertasbih, dan shalat malam. [Gresia Divi]