Judul Asli : Fi At-Tarbiyah Al-Jihadiyah wal Bina’ Judul Indonesia : Tarbiyah Jihadiyah (Buku kedua, jilid 7-11) Penulis : Dr Abdullah ...
Judul Asli : Fi At-Tarbiyah Al-Jihadiyah wal Bina’
Judul Indonesia : Tarbiyah Jihadiyah (Buku kedua, jilid 7-11)
Penulis : Dr Abdullah Azzam
Penerjemah : Abdurrahman al-Qudsi
Penerbit : Jazera – Solo
Cetakan : I ; Mei 2013 / Rajab 1434 H
Ukuran : 736 Halaman ; 24 cm
Harga : Rp 120.000,-
Jihad sebagai tingkatan tertinggi dalam Islam seringkali disalahmaknai oleh kaum muslimin maupun kaum diluar mereka. Salah faham tentang Jihad ini bisa berdampak pada tindakan anarkisme maupun meremehekan syari’at mulia itu. Umat Islam harus memahami makna Jihad yang sebenarnya.
DR Abdullah Azzam, Sang Maestro Jihad dalam kitabnya Tarbiyah Jihadiyah mendefinisikan Jihad sebagai, “Memerangi orang–orang kafir dengan senjata sampai mereka taslim (memeluk agama Islam) atau membayar jizyah dengan rasa patuh sedang mereka dalam keadaan hina.” Doktor bidang Syari’ah lulusan Universitas al-Azhar ini mengatakan bahwa pengertian tersebut, telah disepakati oleh semua fuqaha’. Tentu, dalam memerangi kaum kafir ini terdapat banyak aturan yang sangat ketat. Sehingga, tidak semua orang kafir boleh diperangi.
Jihad secara bahasa bermakna bersungguh-sungguh. Namun sebuah amal bisa disebut Jihad jika dan hanya jika terkandung amalan sebagaimana kesepakatan fuqaha’ di atas. Hal ini bisa dianalogikan dengan Shalat. Shalat bermakna doa. Namun tidak semua orang yang berdoa bisa disebut sedang mendirikan shalat. Begitupun dengan Jihad. Tidak semua orang yang melakukan amal dengan sungguh-sungguh, bisa serta merta disebut sebagai Mujahid.
Jihad diatur dengan sangat ketat oleh Allah dan RasulNya. Hal ini agar Islam yang suci tidak salah diamalkan oleh pelakunya. Sehingga syari’at langit yang sangat mulia itu tetap terjaga dari tangan-tangan kotor musuh-musuh Islam. Oleh karena hal itu pula, Dr Abdullah Azzam yang terlibat langsung dalam Jihad Afghan menulis sebuah risalah bertajuk Tarbiyah Jihadiyah ini.
Di dalam buku kedua dari tiga seri Tarbiyah Jihadiyah ini, diterangjelaskan tentang sifat-sifat yang harus difahami dan dipraktekan oleh kaum muslimin ketika mereka tengah berada di medan Jihad. Pun, dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Di dalam buku ini tidak terdapat tentang aneka strategi perang maupun jenis-jenis alat peperangan fisik lainnya. Tidak pula terdapat gambar Bambu Runcing, Batu, Pedang, Senapan, AK47, Tank Perang, Granat, Peluru, Roket dan sejenisnya. Buku setebal 732 halaman ini hanya menjelaskan akhlak-akhlak yang harus dimiliki oleh kaum muslimin, khususnya mujahidin yang telah mewakafkan waktu, harta dan dirinya di jalan Jihad. Buku cetakan bulan Mei 2013 ini memuat 5 jilid dalam satu buku. Mulai dari jilid 7 hingga 11.
Hanya dengan Jihad, Islam akan terejawantahkan kemuliaannya. Jihad yang mulia itu, hanya bisa dilakukan oleh mereka yang besar pengharapannya terhadap Allah. Oleh mereka yang menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan. Sehingga berkorban untukNya, lebih dicintai dari dunia dan seisinya.
Mujahid yang berani ‘meninggalkan’ dunianya, adalah mereka yang mempunyai semangat baja dalam menyongsong surga. Bahkan, mereka dengan senang hati memberikan nyawa satu-satunya yang Allah titipkan itu. Bagi mereka, mati itu bisa terjadi dimana saja : di kamar tidur, jalan raya, medan jihad maupun tempat lainnya. Maka dengan semangat yang benar, mereka lebih memilih medan Jihad untuk menyetorkan nyawanya.
Mujahid bukan preman. Bukan pula teroris yang asal menembakkan peluru atau meledakkan bom. Mereka mempunyai perhitungan yang sangat cermat. Mereka juga sangat memahami aturan-aturan Jihad yang sudah Allah gariskan secara jelas dalam al-Qur’an dan Sunnah. Diantara Adab Jihad tersebut adalah : Dalam rangka fii sabilillah, Taat kepada pemimpin, Berlaku baik terhadap kawan, Memudahkan teman dan Menjauhi kerusakan. ( Hal 71-75)
Kelima adab ini dijelaskan dalam banyak hal. Termasuk larangan menebang pepohonan, mencemari sumber air, larangan membunuh anak kecil dan wanita serta orang jompo. Terkait akhlak terhadap teman, diantaranya adalah setia kawan, mendahulukan sahabatnya dalam urusan dunia, larangan ghibah, saling menasehati, sabar dalam berbagai jenisnya.
Seorang Mujahid juga harus mempunyai mental membina generasi. Ia bukan hanya berjihad seorang diri dan hanya dengan senjata. Melainkan berupaya sekuat tenaga untuk melakukan kerja-kerja amal sholih untuk memakmurkan bumi dengan kalimat Allah. Membina masyarakat, dermawan terhadap sesama, berani karena benar, dan menjadi teladan dimanapun mereka berada.
Mujahid adalah sosok yang selalu memanfaatkan kesempatan untuk melakukan amal ssolih. Apalagi di waktu waktu istimewa. Terlebih ketika waktu mulia itu Allah turunkan dalam bentuk bulan Penuh Cinta, Ramadhan. Mereka sangat menyadari sebuah hadits riwayat Mutafaq ‘Alaih, “Barangsiapa berpuasa sehari di jalan Allah, Allah akan menjauhkan antara dia dengan neraka sejauh tujuh puluh tahun perjalanan.” Atau seperti yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dalam al-Misykat (2064), “Barangsiapa yang berpuasa sehari di jalan Allah, Allah akan menjadikan dia dengan neraka sebuah parit yang lebarnya sebagaimana jarak antara langit dan bumi.” (Hal 713)
Mereka akan menggunakan setiap jenak untuk beramal sholih, khususnya sholat dan Tilawah al-Qur’an. Sebagaimana Imam Syafi’i yang mengkhatamkan al-Qur’an sebanyak 60 kali dalam sebulan. Ketika I’tikaf, mereka mengkhatamkan al-Qur’an sekali dalam semalam. Begitupun ketika mereka berada dalam medan Jihad. Tiada sedetikpun yang mereka lewati kecuali dengan tilawah, muroja’ah dan dzikrullah. Sebagaimana disampaikan oleh Ustadz Abu Hasan an-Nadwi, “Saya sempat hidup bersama syeikh-syeikh saya. Ketika bulan Ramadhan datang, sebagian dari mereka tidak mau berbicara (yang tidak penting). Karena bulan tersebut adalah bulan untuk beribadah, membaca al-Qur’an, dan shalat malam. Jika ada seseorang yang mengajaknya berbicara, dia hanya menjawab dengan sepatah dua patah kata. Dia sangat kikir sekali dengan waktu yang dimilikinya, dan takut kehilangan pahala.” (Hal 712)
Mujahid juga mempunyai jadwal yang terstuktur di bulan Barokah ini. Mereka menyusun agenda berdasarkan waktu sholat (Hal 722-723). Senantiasa menjaga shalat berjama’ah di Masjid, menunggu waktu shalat dengan memperbanyak istighfar, tidur lebih awal agar bisa bangun sahur dan qiyamullail, membaca, menghafal dan mentadabburi al Qur’an, senantiasa menjaga waktu dengan amal shalih, memperbanyak berdoa di waktu sahur, membaca buku-buku tsaqofah dan amal shalih lainnya.
Akhirnya, buku ini perlu dikaji ulang diberbagai Majlis Ta’lim. Agar Jihad tidak disalahmaknai, agar tidak ada lagi malpraktik Jihad. Khususnya di Negeri yang kita cintai ini, dan di seluruh penjuru bumi. []
Penulis : Pirman
Penulis Antologi Surat Cinta Untuk Murobbi dan sejumlah buku lainnya
Penulis resensi di sejumlah media cetak
Judul Indonesia : Tarbiyah Jihadiyah (Buku kedua, jilid 7-11)
Penulis : Dr Abdullah Azzam
Penerjemah : Abdurrahman al-Qudsi
Penerbit : Jazera – Solo
Cetakan : I ; Mei 2013 / Rajab 1434 H
Ukuran : 736 Halaman ; 24 cm
Harga : Rp 120.000,-
Jihad sebagai tingkatan tertinggi dalam Islam seringkali disalahmaknai oleh kaum muslimin maupun kaum diluar mereka. Salah faham tentang Jihad ini bisa berdampak pada tindakan anarkisme maupun meremehekan syari’at mulia itu. Umat Islam harus memahami makna Jihad yang sebenarnya.
DR Abdullah Azzam, Sang Maestro Jihad dalam kitabnya Tarbiyah Jihadiyah mendefinisikan Jihad sebagai, “Memerangi orang–orang kafir dengan senjata sampai mereka taslim (memeluk agama Islam) atau membayar jizyah dengan rasa patuh sedang mereka dalam keadaan hina.” Doktor bidang Syari’ah lulusan Universitas al-Azhar ini mengatakan bahwa pengertian tersebut, telah disepakati oleh semua fuqaha’. Tentu, dalam memerangi kaum kafir ini terdapat banyak aturan yang sangat ketat. Sehingga, tidak semua orang kafir boleh diperangi.
Jihad secara bahasa bermakna bersungguh-sungguh. Namun sebuah amal bisa disebut Jihad jika dan hanya jika terkandung amalan sebagaimana kesepakatan fuqaha’ di atas. Hal ini bisa dianalogikan dengan Shalat. Shalat bermakna doa. Namun tidak semua orang yang berdoa bisa disebut sedang mendirikan shalat. Begitupun dengan Jihad. Tidak semua orang yang melakukan amal dengan sungguh-sungguh, bisa serta merta disebut sebagai Mujahid.
Jihad diatur dengan sangat ketat oleh Allah dan RasulNya. Hal ini agar Islam yang suci tidak salah diamalkan oleh pelakunya. Sehingga syari’at langit yang sangat mulia itu tetap terjaga dari tangan-tangan kotor musuh-musuh Islam. Oleh karena hal itu pula, Dr Abdullah Azzam yang terlibat langsung dalam Jihad Afghan menulis sebuah risalah bertajuk Tarbiyah Jihadiyah ini.
Di dalam buku kedua dari tiga seri Tarbiyah Jihadiyah ini, diterangjelaskan tentang sifat-sifat yang harus difahami dan dipraktekan oleh kaum muslimin ketika mereka tengah berada di medan Jihad. Pun, dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Di dalam buku ini tidak terdapat tentang aneka strategi perang maupun jenis-jenis alat peperangan fisik lainnya. Tidak pula terdapat gambar Bambu Runcing, Batu, Pedang, Senapan, AK47, Tank Perang, Granat, Peluru, Roket dan sejenisnya. Buku setebal 732 halaman ini hanya menjelaskan akhlak-akhlak yang harus dimiliki oleh kaum muslimin, khususnya mujahidin yang telah mewakafkan waktu, harta dan dirinya di jalan Jihad. Buku cetakan bulan Mei 2013 ini memuat 5 jilid dalam satu buku. Mulai dari jilid 7 hingga 11.
Hanya dengan Jihad, Islam akan terejawantahkan kemuliaannya. Jihad yang mulia itu, hanya bisa dilakukan oleh mereka yang besar pengharapannya terhadap Allah. Oleh mereka yang menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan. Sehingga berkorban untukNya, lebih dicintai dari dunia dan seisinya.
Mujahid yang berani ‘meninggalkan’ dunianya, adalah mereka yang mempunyai semangat baja dalam menyongsong surga. Bahkan, mereka dengan senang hati memberikan nyawa satu-satunya yang Allah titipkan itu. Bagi mereka, mati itu bisa terjadi dimana saja : di kamar tidur, jalan raya, medan jihad maupun tempat lainnya. Maka dengan semangat yang benar, mereka lebih memilih medan Jihad untuk menyetorkan nyawanya.
Mujahid bukan preman. Bukan pula teroris yang asal menembakkan peluru atau meledakkan bom. Mereka mempunyai perhitungan yang sangat cermat. Mereka juga sangat memahami aturan-aturan Jihad yang sudah Allah gariskan secara jelas dalam al-Qur’an dan Sunnah. Diantara Adab Jihad tersebut adalah : Dalam rangka fii sabilillah, Taat kepada pemimpin, Berlaku baik terhadap kawan, Memudahkan teman dan Menjauhi kerusakan. ( Hal 71-75)
Kelima adab ini dijelaskan dalam banyak hal. Termasuk larangan menebang pepohonan, mencemari sumber air, larangan membunuh anak kecil dan wanita serta orang jompo. Terkait akhlak terhadap teman, diantaranya adalah setia kawan, mendahulukan sahabatnya dalam urusan dunia, larangan ghibah, saling menasehati, sabar dalam berbagai jenisnya.
Seorang Mujahid juga harus mempunyai mental membina generasi. Ia bukan hanya berjihad seorang diri dan hanya dengan senjata. Melainkan berupaya sekuat tenaga untuk melakukan kerja-kerja amal sholih untuk memakmurkan bumi dengan kalimat Allah. Membina masyarakat, dermawan terhadap sesama, berani karena benar, dan menjadi teladan dimanapun mereka berada.
Mujahid adalah sosok yang selalu memanfaatkan kesempatan untuk melakukan amal ssolih. Apalagi di waktu waktu istimewa. Terlebih ketika waktu mulia itu Allah turunkan dalam bentuk bulan Penuh Cinta, Ramadhan. Mereka sangat menyadari sebuah hadits riwayat Mutafaq ‘Alaih, “Barangsiapa berpuasa sehari di jalan Allah, Allah akan menjauhkan antara dia dengan neraka sejauh tujuh puluh tahun perjalanan.” Atau seperti yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dalam al-Misykat (2064), “Barangsiapa yang berpuasa sehari di jalan Allah, Allah akan menjadikan dia dengan neraka sebuah parit yang lebarnya sebagaimana jarak antara langit dan bumi.” (Hal 713)
Mereka akan menggunakan setiap jenak untuk beramal sholih, khususnya sholat dan Tilawah al-Qur’an. Sebagaimana Imam Syafi’i yang mengkhatamkan al-Qur’an sebanyak 60 kali dalam sebulan. Ketika I’tikaf, mereka mengkhatamkan al-Qur’an sekali dalam semalam. Begitupun ketika mereka berada dalam medan Jihad. Tiada sedetikpun yang mereka lewati kecuali dengan tilawah, muroja’ah dan dzikrullah. Sebagaimana disampaikan oleh Ustadz Abu Hasan an-Nadwi, “Saya sempat hidup bersama syeikh-syeikh saya. Ketika bulan Ramadhan datang, sebagian dari mereka tidak mau berbicara (yang tidak penting). Karena bulan tersebut adalah bulan untuk beribadah, membaca al-Qur’an, dan shalat malam. Jika ada seseorang yang mengajaknya berbicara, dia hanya menjawab dengan sepatah dua patah kata. Dia sangat kikir sekali dengan waktu yang dimilikinya, dan takut kehilangan pahala.” (Hal 712)
Mujahid juga mempunyai jadwal yang terstuktur di bulan Barokah ini. Mereka menyusun agenda berdasarkan waktu sholat (Hal 722-723). Senantiasa menjaga shalat berjama’ah di Masjid, menunggu waktu shalat dengan memperbanyak istighfar, tidur lebih awal agar bisa bangun sahur dan qiyamullail, membaca, menghafal dan mentadabburi al Qur’an, senantiasa menjaga waktu dengan amal shalih, memperbanyak berdoa di waktu sahur, membaca buku-buku tsaqofah dan amal shalih lainnya.
Akhirnya, buku ini perlu dikaji ulang diberbagai Majlis Ta’lim. Agar Jihad tidak disalahmaknai, agar tidak ada lagi malpraktik Jihad. Khususnya di Negeri yang kita cintai ini, dan di seluruh penjuru bumi. []
Penulis : Pirman
Penulis Antologi Surat Cinta Untuk Murobbi dan sejumlah buku lainnya
Penulis resensi di sejumlah media cetak