Anakku yang tercinta yang juga merupakan guruku yang mulia, As-Syahidah Asmaa El-Beltagi Aku tidak katakan selamat tinggal, tetapi aku...
Anakku yang tercinta yang juga merupakan guruku yang mulia,
As-Syahidah Asmaa El-Beltagi
Aku tidak katakan selamat tinggal, tetapi aku mengatakan, besuk kita akan bertemu.
Engkau hidup dengan penuh kehormatan, engkau tak mau menerima kezaliman dan engkau tolak segala perkara yang membelenggunya. Engkau juga mencintai kemerdekaan dan dalam diam engkau mencari ufuk-ufuk baru untuk kembali membangun umat ini untuk menempatkannya dalam ketamadunan.
Engkau tidak disibukkan dengan perkara-perkara yang telah menyibukkan pemuda-pemudi yang sebaya denganmu. Meskipun engkau sentiasa mendapat tempat pertama di dalam pelajaranmu, pelajaran yang hanya ikut-ikutan itu tidak mampu untuk memenuhi harapan dan tanggungjawabmu (terhadap umat).
Aku merasa tidak puas ditemanimu dalam kehidupan yang singkat ini lebih-lebih lagi waktuku tidak begitu banyak untuk merasa bahagia dan menikmati dampingan ini. Ketika pertemuan terakhir kita, kita duduk bersama-sama di Medan Rabaah dan engkau telah mengingatkanku dengan berkata: “Sekalipun engkau (ayah) bersama-sama kami, namun engkau tetap tidak dapat memberi perhatian kepada kami”. Aku berkata kepadamu: “Nampaknya kehidupan ini begitu singkat untuk kita menikmatinya bersama-sama. Aku berdoa agar Allah membantu kita untuk berteman di dalam syurga untuk menikmati (kebahagiaan) bersama-sama.”
Sebelum engkau mendapatkan syahid, aku melihatmu di dalam mimpi dua kali berturut-turut dalam pakaian pengantin. Engkau tampak cantik dan jelita, jauh lebih cantik dari dirimu yang biasanya. Dalam diam aku telah bertanya kepadamu: “Apakah malam ini adalah walimah pernikahanmu?”
Ketika aku diberitahu tentang kesyahidanmu pada waktu Dzuhur hari Rabu, aku faham kerisauanku. Aku telah mendapatkan berita gembira dengan penerimaan Allah terhadap kesyahidanmu dan engkau menambah keyakinanku bahwa sesungguhnya kita di atas kebenaran dan musuh kita berada di atas kebatilan.
Aku sangat sedih karena aku tidak berada denganmu ketika perpisahan terakhir kali itu. Aku tidak bisa melihatmu dalam pertemuan terakhir, aku tidak bisa mencium dahimu, dan aku tidak diberi penghormatan untuk melakukan shalat jenazah untukmu.
Demi Allah wahai putriku sayang, tidak ada yang menghalangi aku untuk melakukan ini semua. Bukan karena takut kematian, dan tidak juga karena takut penjara yang zalim. Tetapi sesungguhnya demi untuk menyempurnakan risalah ini, yang telah kamu tawarkan dirimu dan ruhmu deminya, yakni menyempurnakan perjalanan revolusi ini sehingga mencapai kemenangan dan tujuan sebenarnya menjadi kenyataan.
Telah berangkat ruhmu dan engkau hidup dalam kemuliaan. Engkau teguh menentang pembantai yang telah menembakmu dengan peluru-peluru pengkhianatan, betapa indahnya cita-citamu dan betapa sucinya jiwamu. Aku yakin bahwasanya engkau telah membenarkan Allah, maka Allah membenarkanmu. Dan Allah telah memilihmu, dan bukannya kami semua, untuk memperoleh kemuliaan syahid.
Dan terakhir, wahai putri tercintaku, juga guruku yang mulia,
Aku tidak akan mengucapkan selamat tinggal tetapi aku mengatakan semoga kita bertemu lagi. Pertemuan yang akan terjadi tidak lama lagi di tepi telaga bersama Nabi tercinta dan para sahabat. Pertemuan yang akan terjadi tidak lama lagi di singgasana kebenaran di sisi Yang Maha Kuasa. Pertemuan yang akan merealisasikan cita-cita kita untuk minum sepuas-puasnya bersama-sama, dan juga bersama orang-orang yang kita cintai, dan kita tidak akan dahaga selama-lamanya selepas itu. [Muhammad El-Beltagi. Sumber: Egyptwindow, MesirKini]
As-Syahidah Asmaa El-Beltagi
Aku tidak katakan selamat tinggal, tetapi aku mengatakan, besuk kita akan bertemu.
Engkau hidup dengan penuh kehormatan, engkau tak mau menerima kezaliman dan engkau tolak segala perkara yang membelenggunya. Engkau juga mencintai kemerdekaan dan dalam diam engkau mencari ufuk-ufuk baru untuk kembali membangun umat ini untuk menempatkannya dalam ketamadunan.
Engkau tidak disibukkan dengan perkara-perkara yang telah menyibukkan pemuda-pemudi yang sebaya denganmu. Meskipun engkau sentiasa mendapat tempat pertama di dalam pelajaranmu, pelajaran yang hanya ikut-ikutan itu tidak mampu untuk memenuhi harapan dan tanggungjawabmu (terhadap umat).
Aku merasa tidak puas ditemanimu dalam kehidupan yang singkat ini lebih-lebih lagi waktuku tidak begitu banyak untuk merasa bahagia dan menikmati dampingan ini. Ketika pertemuan terakhir kita, kita duduk bersama-sama di Medan Rabaah dan engkau telah mengingatkanku dengan berkata: “Sekalipun engkau (ayah) bersama-sama kami, namun engkau tetap tidak dapat memberi perhatian kepada kami”. Aku berkata kepadamu: “Nampaknya kehidupan ini begitu singkat untuk kita menikmatinya bersama-sama. Aku berdoa agar Allah membantu kita untuk berteman di dalam syurga untuk menikmati (kebahagiaan) bersama-sama.”
Sebelum engkau mendapatkan syahid, aku melihatmu di dalam mimpi dua kali berturut-turut dalam pakaian pengantin. Engkau tampak cantik dan jelita, jauh lebih cantik dari dirimu yang biasanya. Dalam diam aku telah bertanya kepadamu: “Apakah malam ini adalah walimah pernikahanmu?”
Ketika aku diberitahu tentang kesyahidanmu pada waktu Dzuhur hari Rabu, aku faham kerisauanku. Aku telah mendapatkan berita gembira dengan penerimaan Allah terhadap kesyahidanmu dan engkau menambah keyakinanku bahwa sesungguhnya kita di atas kebenaran dan musuh kita berada di atas kebatilan.
Aku sangat sedih karena aku tidak berada denganmu ketika perpisahan terakhir kali itu. Aku tidak bisa melihatmu dalam pertemuan terakhir, aku tidak bisa mencium dahimu, dan aku tidak diberi penghormatan untuk melakukan shalat jenazah untukmu.
Demi Allah wahai putriku sayang, tidak ada yang menghalangi aku untuk melakukan ini semua. Bukan karena takut kematian, dan tidak juga karena takut penjara yang zalim. Tetapi sesungguhnya demi untuk menyempurnakan risalah ini, yang telah kamu tawarkan dirimu dan ruhmu deminya, yakni menyempurnakan perjalanan revolusi ini sehingga mencapai kemenangan dan tujuan sebenarnya menjadi kenyataan.
Telah berangkat ruhmu dan engkau hidup dalam kemuliaan. Engkau teguh menentang pembantai yang telah menembakmu dengan peluru-peluru pengkhianatan, betapa indahnya cita-citamu dan betapa sucinya jiwamu. Aku yakin bahwasanya engkau telah membenarkan Allah, maka Allah membenarkanmu. Dan Allah telah memilihmu, dan bukannya kami semua, untuk memperoleh kemuliaan syahid.
Dan terakhir, wahai putri tercintaku, juga guruku yang mulia,
Aku tidak akan mengucapkan selamat tinggal tetapi aku mengatakan semoga kita bertemu lagi. Pertemuan yang akan terjadi tidak lama lagi di tepi telaga bersama Nabi tercinta dan para sahabat. Pertemuan yang akan terjadi tidak lama lagi di singgasana kebenaran di sisi Yang Maha Kuasa. Pertemuan yang akan merealisasikan cita-cita kita untuk minum sepuas-puasnya bersama-sama, dan juga bersama orang-orang yang kita cintai, dan kita tidak akan dahaga selama-lamanya selepas itu. [Muhammad El-Beltagi. Sumber: Egyptwindow, MesirKini]