Sedekah pada mulanya adalah berbagi. Apapun, asal kebaikan. Bahkan, mereka yang tidak mempunyai uang sekalipun, bisa bersedekah dengan se...
Sedekah pada mulanya adalah berbagi. Apapun, asal kebaikan. Bahkan, mereka yang tidak mempunyai uang sekalipun, bisa bersedekah dengan senyum dan bermuka manis. Sabda Nabi, “Senyummu kepada saudaramu adalah sedekah.”
Kejadian ini terjadi sekitar 3 bulan yang lalu, tepatnya setelah Shalat Ashar. Ketika itu, saya tengah mengulang-ulang bacaan Surah al-Waqi’ah, surah ke 56 dalam al-Qur’an. Bagi saya, surah tersebut merupakan kunci ‘kekayaan’. Bagaimana tidak? Dalam sajian singkat itu, terpampang pemandangan indah seputar surga dan pemandangan mengerikan terkait neraka. Sehingga, dua hal ini saja, jika dihayati, akan membuat kita berharap surga dan cemas ketika kelak dimasukkan ke dalam jurang neraka. Dan itulah kaya yang sebenarnya, ketika surga lebih kita harapkan melebihi apapun di dunia ini.
Sesaat kemudian, saya teringat kalau ada beberapa teman yang melaksanakan puasa sunnah Senin - Kamis. Maka, sayapun beranjak merogoh kantong. Niatnya, membelikan sedikit makanan untuk mereka ketika masa berbuka tiba. Teringatlah sebuah hadits, “Barangsiapa menyediakan hidangan untuk berbuka kepada orang yang berpuasa, maka orang tersebut akan diberikan ganjaran berpuasa, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tersebut.”
Niat pun tertunaikan dengan gemilang. Hanya Jus Sirsak dan sedikit makanan khas Indonesia, Gorengan. Nilai kesemua hidangan itu, hanya dua puluh lima ribu rupiah.
Sesaat sebelum maghrib, ‘rampasan perang’ tersebut saya bagikan kepada mereka yang telah saya jadikan target. Alhamdulillah, rasanya nikmat ketika bisa berbagi, meski ala kadarnya.
Tak lama kemudian, adzan berkumandang. Saya memilih menikmati teh tubruk buatan sendiri. Dan memakan gorengan rame-rame dengan teman-teman. Sekitar lima menit setelah adzan, ada Bos yang menghampiri. Teman-teman tengah mengambil lapaknya masing-masing. Beliau tiba-tiba menyodorkan lembaran rupiah berwarna biru, lima puluh ribu. Katanya, “Buat tambahan jajan.” Dengan tanpa basa basi, saya berucap, “Baik, Pak. Terima kasih ya.”
Sekitar lima menit berselang, Bos lain menghampiri. Kali ini, dia datang dari arah belakang. Tanpa saya perkirakan, beliau pun menyodorkan selembar uang rupiah berwarna merah, seratus ribu, dengan berucap, “Buat tambahan beli pulsa, Mas. Hadiah dari saya.” Tanpa koma, saya pun menerima hadiah tersebut dengan beriring senyum dan kalimat syukur, “Baik, Pak. Terima kasih ya. Alhamdulillah”
Setelah kedua Bos itu berlalu, saya baru berpikir. Ada dua rejeki beruntun. Jumlahnya pun lumayan bagi seorang karyawan pabrik seperti saya. Dalam jenak, saya berkesimpulan, “Mungkin, ini balasan dari Allah atas niat saya berbagi kepada teman-teman yang tengah berpuasa sunnah tadi. Sehingga uang dua puluh lima ribu, dibalas tunai dengan seratus lima puluh ribu. Enam kali lipat.”
Saya pun terdiam sembari bersyukur. Bahwa janji Allah itu benar. Ketika niat kita lurus, maka Allah akan membuktikan janjiNya. Sehingga, akhirnya kita harus sepakat, bahwa sedekah, jika dilakukan dengan ikhlas, hanya akan menghasilkan keberkahan bagi pelaku dan penerimanya.
Jikapun ia tidak berbalas saat itu, berarti Allah sedang mempersiapkan balasan lain, dengan jumlah yang lebih banyak, dan akan diberikan pada waktu yang paling tepat. Penundaan balasan itu, bisa juga untuk tabungan akhirat kita. Bukankah itu jauh lebih berharga dari nilai mata uang di dunia ini? Sebanyak apapun jumlahnya?
Semoga Allah menerima setiap sedekah kita. KarenaNya semata, bukan lantaran janji pelipatgandaan yang kadang tertunda pelaksanaannya. Karena prinsipnya, berbagi itu indah dan menyemangati. Maha benar Allah dengan firmanNya, “Tidak ada balasan bagi kebaikan kecuali kebaikan serupa.” (Surah ar-Rahmaan [55] : 60)
Penulis : Pirman
Redaksi Bersamadakwah.com, Owner Toko Buku Bahagia
Kejadian ini terjadi sekitar 3 bulan yang lalu, tepatnya setelah Shalat Ashar. Ketika itu, saya tengah mengulang-ulang bacaan Surah al-Waqi’ah, surah ke 56 dalam al-Qur’an. Bagi saya, surah tersebut merupakan kunci ‘kekayaan’. Bagaimana tidak? Dalam sajian singkat itu, terpampang pemandangan indah seputar surga dan pemandangan mengerikan terkait neraka. Sehingga, dua hal ini saja, jika dihayati, akan membuat kita berharap surga dan cemas ketika kelak dimasukkan ke dalam jurang neraka. Dan itulah kaya yang sebenarnya, ketika surga lebih kita harapkan melebihi apapun di dunia ini.
Sesaat kemudian, saya teringat kalau ada beberapa teman yang melaksanakan puasa sunnah Senin - Kamis. Maka, sayapun beranjak merogoh kantong. Niatnya, membelikan sedikit makanan untuk mereka ketika masa berbuka tiba. Teringatlah sebuah hadits, “Barangsiapa menyediakan hidangan untuk berbuka kepada orang yang berpuasa, maka orang tersebut akan diberikan ganjaran berpuasa, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tersebut.”
Niat pun tertunaikan dengan gemilang. Hanya Jus Sirsak dan sedikit makanan khas Indonesia, Gorengan. Nilai kesemua hidangan itu, hanya dua puluh lima ribu rupiah.
Sesaat sebelum maghrib, ‘rampasan perang’ tersebut saya bagikan kepada mereka yang telah saya jadikan target. Alhamdulillah, rasanya nikmat ketika bisa berbagi, meski ala kadarnya.
Tak lama kemudian, adzan berkumandang. Saya memilih menikmati teh tubruk buatan sendiri. Dan memakan gorengan rame-rame dengan teman-teman. Sekitar lima menit setelah adzan, ada Bos yang menghampiri. Teman-teman tengah mengambil lapaknya masing-masing. Beliau tiba-tiba menyodorkan lembaran rupiah berwarna biru, lima puluh ribu. Katanya, “Buat tambahan jajan.” Dengan tanpa basa basi, saya berucap, “Baik, Pak. Terima kasih ya.”
Sekitar lima menit berselang, Bos lain menghampiri. Kali ini, dia datang dari arah belakang. Tanpa saya perkirakan, beliau pun menyodorkan selembar uang rupiah berwarna merah, seratus ribu, dengan berucap, “Buat tambahan beli pulsa, Mas. Hadiah dari saya.” Tanpa koma, saya pun menerima hadiah tersebut dengan beriring senyum dan kalimat syukur, “Baik, Pak. Terima kasih ya. Alhamdulillah”
Setelah kedua Bos itu berlalu, saya baru berpikir. Ada dua rejeki beruntun. Jumlahnya pun lumayan bagi seorang karyawan pabrik seperti saya. Dalam jenak, saya berkesimpulan, “Mungkin, ini balasan dari Allah atas niat saya berbagi kepada teman-teman yang tengah berpuasa sunnah tadi. Sehingga uang dua puluh lima ribu, dibalas tunai dengan seratus lima puluh ribu. Enam kali lipat.”
Saya pun terdiam sembari bersyukur. Bahwa janji Allah itu benar. Ketika niat kita lurus, maka Allah akan membuktikan janjiNya. Sehingga, akhirnya kita harus sepakat, bahwa sedekah, jika dilakukan dengan ikhlas, hanya akan menghasilkan keberkahan bagi pelaku dan penerimanya.
Jikapun ia tidak berbalas saat itu, berarti Allah sedang mempersiapkan balasan lain, dengan jumlah yang lebih banyak, dan akan diberikan pada waktu yang paling tepat. Penundaan balasan itu, bisa juga untuk tabungan akhirat kita. Bukankah itu jauh lebih berharga dari nilai mata uang di dunia ini? Sebanyak apapun jumlahnya?
Semoga Allah menerima setiap sedekah kita. KarenaNya semata, bukan lantaran janji pelipatgandaan yang kadang tertunda pelaksanaannya. Karena prinsipnya, berbagi itu indah dan menyemangati. Maha benar Allah dengan firmanNya, “Tidak ada balasan bagi kebaikan kecuali kebaikan serupa.” (Surah ar-Rahmaan [55] : 60)
Penulis : Pirman
Redaksi Bersamadakwah.com, Owner Toko Buku Bahagia