Berdakwah memanglah suatu tugas yang berat. Dakwah adalah kewajiban bagi setiap umat Islam, namun tidak semua bisa melakukan dakwah denga...
Berdakwah memanglah suatu tugas yang berat. Dakwah adalah kewajiban bagi setiap umat Islam, namun tidak semua bisa melakukan dakwah dengan baik dan istiqomah.
Ladang dakwah yang saya pikirkan adalah anak-anak. Saya melihat di sekitar saya, begitu banyak anak yang tidak dapat membaca Al-Qur’an meski usia mereka sudah di atas 10 tahun. Bagi mereka yang memperhatikan masalah ini, membaca Al-Qur’an sudah ditekankan sejak Taman Kanak-Kanak atau Sekolah Dasar kelas satu.
Orang tua lebih menekankan pada pelajaran sekolah. Mereka memilih bimbingan belajar matematika atau bahasa asing supaya anak mereka bisa menguasai dengan baik. Tetapi, mengapa merasa tenang-tenang saja ketika anak mereka tidak bisa mengaji?
Ini merupakan tantangan buat saya. Di sekitar rumah ada banyak TPA atau Taman Pendidikan Al-Qur’an. Tetapi tidak ada yang serius penggarapannya meski jumlah siswanya banyak.
Akhirnya saya memutuskan untuk mendirikan TPA sendiri di rumah. Dengan visi yang jelas, program yang tertata dengan pembuatan silabus jangka pendek, saya berharap anak-anak bisa lebih cepat belajar membaca Al-Qur’an.
Awalnya, hanya ada delapan anak yang mendaftar. Setiap sore hari Senin hingga Jum’at, anak-anak datang ke rumah saya. Kami belajar mengaji di teras rumah.
Banyak tantangan yang saya hadapi. Selain harus membuat anak-anak itu tetap nyaman belajar, saya juga harus membuat para orang tua percaya menitipkan anak-anak mereka di sini. Ternyata untuk membuat anak-anak merasa nyaman sangatlah mudah. Sesekali saya buatkan makanan untuk mereka, sesekali bermain bersama-sama, sudah cukup membuat mereka nyaman. Bahkan ada yang minta dijemput 15 menit dari waktu pulang supaya bisa bermain lebih lama.
Tetapi, membuat orang tua percaya itulah yang lebih rumit. Baru jalan satu bulan, sudah ada dua anak yang keluar. Alasannya bukan karena si anak tidak mau TPA. Tetapi karena ibunya tidak mau mengantar anaknya. “TPA hanya begitu-begitu saja, capek saya harus bolak balik antar jemput.” Padahal jarak rumah saya dan rumahnya tidak lebih dari 100 meter.
Ada juga yang anaknya jarang masuk. Ketika saya tanya, dengan polos dia menjawab, “Saya diajak ibu ke mall.” Atau “Diajak ke rumah saudara.” Atau ke tempat-tempat lain. Padahal sebagai TPA Tahfidz, setiap hari ada hafalan baru. Kalau bolos lama-lama akan banyak tertinggal.
Ada lagi yang mencibir di depan banyak orang. “Orang kekurangan pekerjaan itu adalah orang yang membuat TPA.” Atau komentar pedas lainnya. “Buat apa TPA, hafalan Al-Qur’an tidak ada dalam ujian negara.”
Saya terus berjalan tanpa menghiraukan komentar apapun yang datang. Hingga suatu hari murid saya habis tinggal tiga orang saja. Godaan datang ingin menyudahi TPA ini. Rasanya berat sekali.
Pernah juga mendapat murid yang sangat nakal. Kenakalannya membuat TPA tidak bisa berjalan. Kami benar-benar merasa terganggu. Bahkan anak-anak yang lain menangis tersedu-sedu karena diganggu oleh anak ini. Saya berusaha memberi tahu orang tuanya, dan selalu menasehati anak tersebut. Setelah berjalan beberapa bulan, tidak ada perubahan pada anak tersebut, juga tidak ada tanggapan dari orang tuanya, terpaksa saya mengeluarkan anak itu. Padahal anak itu kelas 4 SD baru bisa membaca iqro’ jilid 2.
Orang tuanya marah karena merasa saya pilih-pilih murid. Kenyataannya, setelah anak itu keluar dari TPA, anak-anak yang lain lebih bersemangat mengaji.
Masalah pakaian ketika mengaji pun timbul. Karena belum bisa membuat seragam TPA, maka kami menggunakan pakaian bebas, asal sopan. Kenyataannya mereka tidak memiliki banyak pakaian muslim. Terutama yang perempuan. Mereka menggunakan pakaian ‘adek’ yang sangat ketat dan pendek, juga menggunakan kerudung gaul yang hanya membuat mereka repot membetulkan kerudung selama mengaji.
Alhamdulillah, Allah menguatkan hati saya. Sekarang, saya memiliki 25 murid dengan empat tenaga pengajar termasuk saya. Orang tua pun mulai mengikuti peraturan saya dengan tenang. Pakaian anak-anak menjadi lebih tertib. Bahkan yang dulu berkomentar pedas, kini anaknya ikut belajar mengaji di TPA saya. Allah lah yang memudahkan jalan saya untuk terus beristiqomah mendidik anak-anak untuk belajar Al-Qur’an. Semoga TPA ini bisa terus berjalan dan berhasil mendidik anak-anak kaum muslimin untuk lebih memahami Al-Qur’an. []
Penulis : Sholihah Ja’far Baraja
Solo
Ladang dakwah yang saya pikirkan adalah anak-anak. Saya melihat di sekitar saya, begitu banyak anak yang tidak dapat membaca Al-Qur’an meski usia mereka sudah di atas 10 tahun. Bagi mereka yang memperhatikan masalah ini, membaca Al-Qur’an sudah ditekankan sejak Taman Kanak-Kanak atau Sekolah Dasar kelas satu.
Orang tua lebih menekankan pada pelajaran sekolah. Mereka memilih bimbingan belajar matematika atau bahasa asing supaya anak mereka bisa menguasai dengan baik. Tetapi, mengapa merasa tenang-tenang saja ketika anak mereka tidak bisa mengaji?
Ini merupakan tantangan buat saya. Di sekitar rumah ada banyak TPA atau Taman Pendidikan Al-Qur’an. Tetapi tidak ada yang serius penggarapannya meski jumlah siswanya banyak.
Akhirnya saya memutuskan untuk mendirikan TPA sendiri di rumah. Dengan visi yang jelas, program yang tertata dengan pembuatan silabus jangka pendek, saya berharap anak-anak bisa lebih cepat belajar membaca Al-Qur’an.
Awalnya, hanya ada delapan anak yang mendaftar. Setiap sore hari Senin hingga Jum’at, anak-anak datang ke rumah saya. Kami belajar mengaji di teras rumah.
Banyak tantangan yang saya hadapi. Selain harus membuat anak-anak itu tetap nyaman belajar, saya juga harus membuat para orang tua percaya menitipkan anak-anak mereka di sini. Ternyata untuk membuat anak-anak merasa nyaman sangatlah mudah. Sesekali saya buatkan makanan untuk mereka, sesekali bermain bersama-sama, sudah cukup membuat mereka nyaman. Bahkan ada yang minta dijemput 15 menit dari waktu pulang supaya bisa bermain lebih lama.
Tetapi, membuat orang tua percaya itulah yang lebih rumit. Baru jalan satu bulan, sudah ada dua anak yang keluar. Alasannya bukan karena si anak tidak mau TPA. Tetapi karena ibunya tidak mau mengantar anaknya. “TPA hanya begitu-begitu saja, capek saya harus bolak balik antar jemput.” Padahal jarak rumah saya dan rumahnya tidak lebih dari 100 meter.
Ada juga yang anaknya jarang masuk. Ketika saya tanya, dengan polos dia menjawab, “Saya diajak ibu ke mall.” Atau “Diajak ke rumah saudara.” Atau ke tempat-tempat lain. Padahal sebagai TPA Tahfidz, setiap hari ada hafalan baru. Kalau bolos lama-lama akan banyak tertinggal.
Ada lagi yang mencibir di depan banyak orang. “Orang kekurangan pekerjaan itu adalah orang yang membuat TPA.” Atau komentar pedas lainnya. “Buat apa TPA, hafalan Al-Qur’an tidak ada dalam ujian negara.”
Saya terus berjalan tanpa menghiraukan komentar apapun yang datang. Hingga suatu hari murid saya habis tinggal tiga orang saja. Godaan datang ingin menyudahi TPA ini. Rasanya berat sekali.
Pernah juga mendapat murid yang sangat nakal. Kenakalannya membuat TPA tidak bisa berjalan. Kami benar-benar merasa terganggu. Bahkan anak-anak yang lain menangis tersedu-sedu karena diganggu oleh anak ini. Saya berusaha memberi tahu orang tuanya, dan selalu menasehati anak tersebut. Setelah berjalan beberapa bulan, tidak ada perubahan pada anak tersebut, juga tidak ada tanggapan dari orang tuanya, terpaksa saya mengeluarkan anak itu. Padahal anak itu kelas 4 SD baru bisa membaca iqro’ jilid 2.
Orang tuanya marah karena merasa saya pilih-pilih murid. Kenyataannya, setelah anak itu keluar dari TPA, anak-anak yang lain lebih bersemangat mengaji.
Masalah pakaian ketika mengaji pun timbul. Karena belum bisa membuat seragam TPA, maka kami menggunakan pakaian bebas, asal sopan. Kenyataannya mereka tidak memiliki banyak pakaian muslim. Terutama yang perempuan. Mereka menggunakan pakaian ‘adek’ yang sangat ketat dan pendek, juga menggunakan kerudung gaul yang hanya membuat mereka repot membetulkan kerudung selama mengaji.
Alhamdulillah, Allah menguatkan hati saya. Sekarang, saya memiliki 25 murid dengan empat tenaga pengajar termasuk saya. Orang tua pun mulai mengikuti peraturan saya dengan tenang. Pakaian anak-anak menjadi lebih tertib. Bahkan yang dulu berkomentar pedas, kini anaknya ikut belajar mengaji di TPA saya. Allah lah yang memudahkan jalan saya untuk terus beristiqomah mendidik anak-anak untuk belajar Al-Qur’an. Semoga TPA ini bisa terus berjalan dan berhasil mendidik anak-anak kaum muslimin untuk lebih memahami Al-Qur’an. []
Penulis : Sholihah Ja’far Baraja
Solo
Tulisan ini adalah salah satu peserta
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)