24 Februari 2013, saat fajar menyingsing di sebuah yayasan pondok pesantren di Jawa Barat. Saat itu pula amanah agung kupikulkan. Amanah dak...
24 Februari 2013, saat fajar menyingsing di sebuah yayasan pondok pesantren di Jawa Barat. Saat itu pula amanah agung kupikulkan. Amanah dakwah yang tak terbesit dipikiranku, murobbiyah. Ya, menjadi murobbiyah untuk ketujuh orang bibit-bibit mawar yang harus kutanam. Entah kupantas atau belum? Hanya Dia Yang Memampukanku.
Tiga tahun lebih waktu bergulir bersama mereka para aktivis dakwah kampus adalah waktu yang tidak singkat. Waktu yang tercipta lebih banyak menuai luka dan aku pun telah jatuh cinta dalam perih dan luka. Sebuah pilihan berada bersama mereka di barisan mujahid dakwah. Bertahan atau bersabar? Namun cinta-Nya terus membetot hingga ke ubun-ubun. Ketika lelah menyergap, ketika jenuh membumbung tinggi, saat itu Dia terus menarikku untuk tetap bertahan. Hingga akhirnya Dia memilihku untuk menjaga dan menanamkan bibit-bibit mawar di taman cinta. Babak baru akan segera dimulai.
Kecintaanku pada ladang yang bernama dakwah tidak dapat terpisahkan dari sosok murobbiyah yang senantiasa kucintai, yang mengenalkanku betapa indahnya dakwah. Bermula dari lingkaran cinta yang mampu membius diri. Jika mengingat perkataanku dulu, “aku tidak suka bergabung bersama mereka...” Tetapi nyatanya kini berbalik atas apa yang kusangkakan. Halaqoh mampu mengubah segala haluan dalam sepenggal kisah hidupku. Lingkaran cinta itu selalu kurindukan. Bertemu mereka adalah kebahagiaan yang tiada tara. Penyejuk jiwa di akhir pekan. Madu penawar rindu. Cinta itu hadir bagai embun di kegersangan tanah tandus. Saat sang murobbiyah menyampaikan risalah cinta-Nya, layaknya obat penyemangat hati, menyingkirkan segala keraguan di dada. Melihat senyum saudari-saudariku mampu mengalihkan keindahan dunia dalam pandanganku. Beban berat dalam hidup seketika lenyap saat bersama dalam lingkaran cinta.
Kini, aku harus mampu menularkan virus cinta pada mereka, adik-adikku. Tetapi aku sadar, tidak mungkin kumampu merangkul mereka tanpa mendekati Sang Pemilik Cinta yang Menguasai hati-hati mereka. Aku sadar, masih jauh ujung jalan ini, namun aku harus terus berjalan entah sampai kapan. Diri yang masih jauh dari kata sampurna. Tetapi aku yakin, Dia yang akan menolongku dari kerisauan hati dan berat beban yang kupikulkan. Dalam surat cinta-Nya aku teringat, “Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Al-Baqoroh: 153)
Aku ingin mengungkapkan kecintaanku pada mereka, adik-adik binaan penyemangat hidup. “Dik, semoga kelak kau mampu bercahaya bersama barisan dakwah. Selamat datang di taman cinta kita! Siap mewarnai kampus dengan cinta dan gerak yang nyata. Berkorban seluruh jiwa, harta, waktu, dan pikiran karena Dia semata. Sungguh jalan ini tidak semulus yang kita bayangkan. Maka bertahan dan bersabarlah. Karena Dia telah memilihmu di jalan ini, bersyukurlah! Teruskan perjuangan, jangan berhenti sampai kaki menginjakkan di surga-Nya, begitulah kata Imam Syafi’i. Kita tidak tahu kapan maut memisahkan cinta dari kehidupan. Kita tidak tahu kapan semuanya akan berakhir. Berpisah dengan kebahagiaan bersama orang-orang yang kita cintai. Dakwah adalah kewajiban. Dan kita membutuhkan dakwah itu, bukan dakwah yang membutuhkan kita. Semoga Allah senantiasa merahmati dan meridoi setiap langkah kita hingga kelak dipertemukan kembali dalam lingkaran cinta di surga-Nya. Aamiiinnn. . . .”
Penulis: Nur Zulfiani Imamah
Cirebon, Jawa Barat
Tiga tahun lebih waktu bergulir bersama mereka para aktivis dakwah kampus adalah waktu yang tidak singkat. Waktu yang tercipta lebih banyak menuai luka dan aku pun telah jatuh cinta dalam perih dan luka. Sebuah pilihan berada bersama mereka di barisan mujahid dakwah. Bertahan atau bersabar? Namun cinta-Nya terus membetot hingga ke ubun-ubun. Ketika lelah menyergap, ketika jenuh membumbung tinggi, saat itu Dia terus menarikku untuk tetap bertahan. Hingga akhirnya Dia memilihku untuk menjaga dan menanamkan bibit-bibit mawar di taman cinta. Babak baru akan segera dimulai.
Kecintaanku pada ladang yang bernama dakwah tidak dapat terpisahkan dari sosok murobbiyah yang senantiasa kucintai, yang mengenalkanku betapa indahnya dakwah. Bermula dari lingkaran cinta yang mampu membius diri. Jika mengingat perkataanku dulu, “aku tidak suka bergabung bersama mereka...” Tetapi nyatanya kini berbalik atas apa yang kusangkakan. Halaqoh mampu mengubah segala haluan dalam sepenggal kisah hidupku. Lingkaran cinta itu selalu kurindukan. Bertemu mereka adalah kebahagiaan yang tiada tara. Penyejuk jiwa di akhir pekan. Madu penawar rindu. Cinta itu hadir bagai embun di kegersangan tanah tandus. Saat sang murobbiyah menyampaikan risalah cinta-Nya, layaknya obat penyemangat hati, menyingkirkan segala keraguan di dada. Melihat senyum saudari-saudariku mampu mengalihkan keindahan dunia dalam pandanganku. Beban berat dalam hidup seketika lenyap saat bersama dalam lingkaran cinta.
Kini, aku harus mampu menularkan virus cinta pada mereka, adik-adikku. Tetapi aku sadar, tidak mungkin kumampu merangkul mereka tanpa mendekati Sang Pemilik Cinta yang Menguasai hati-hati mereka. Aku sadar, masih jauh ujung jalan ini, namun aku harus terus berjalan entah sampai kapan. Diri yang masih jauh dari kata sampurna. Tetapi aku yakin, Dia yang akan menolongku dari kerisauan hati dan berat beban yang kupikulkan. Dalam surat cinta-Nya aku teringat, “Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Al-Baqoroh: 153)
Aku ingin mengungkapkan kecintaanku pada mereka, adik-adik binaan penyemangat hidup. “Dik, semoga kelak kau mampu bercahaya bersama barisan dakwah. Selamat datang di taman cinta kita! Siap mewarnai kampus dengan cinta dan gerak yang nyata. Berkorban seluruh jiwa, harta, waktu, dan pikiran karena Dia semata. Sungguh jalan ini tidak semulus yang kita bayangkan. Maka bertahan dan bersabarlah. Karena Dia telah memilihmu di jalan ini, bersyukurlah! Teruskan perjuangan, jangan berhenti sampai kaki menginjakkan di surga-Nya, begitulah kata Imam Syafi’i. Kita tidak tahu kapan maut memisahkan cinta dari kehidupan. Kita tidak tahu kapan semuanya akan berakhir. Berpisah dengan kebahagiaan bersama orang-orang yang kita cintai. Dakwah adalah kewajiban. Dan kita membutuhkan dakwah itu, bukan dakwah yang membutuhkan kita. Semoga Allah senantiasa merahmati dan meridoi setiap langkah kita hingga kelak dipertemukan kembali dalam lingkaran cinta di surga-Nya. Aamiiinnn. . . .”
Penulis: Nur Zulfiani Imamah
Cirebon, Jawa Barat
Tulisan ini adalah salah satu peserta
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)