Di waktu kuliah di jenjang sarjana, Allah memberikan hidayah untuk mempelajari Islam dengan lebih dalam melalui aktivis dakwah kampus. Merek...
Di waktu kuliah di jenjang sarjana, Allah memberikan hidayah untuk mempelajari Islam dengan lebih dalam melalui aktivis dakwah kampus. Mereka begitu berharga. Apalagi saya berasal dari keluarga yang tidak terlalu membekali anaknya dengan pemahaman agama yang cukup. Bahkan pengenalan makna iman, Islam dan ihsan di dapat dari majelis melingkar yang anggotanya 5-7 orang dan dipandu seorang ustad yang kami sebut sebagai tarbiyah.
Selama kuliah tiga tahun tujuh bulan di Universitas, selama itu pula lembaga dakwah kampus membersamai. Mereka tidak hanya menjadi sahabat, tetapi juga telah lebih dari itu. Mereka adalah saudara seperjuangan yang mengajarkan makna dari dakwah dan pengorbanan di jalan Allah. Bisa dikatakan, masa sarjana telah menjadi sepenggal episode kehidupan yang paling indah dan berarti.
Dua tahun lalu, Allah mempertemukanku dengan seseorang yang telah ditetapkan dalam lauhul mahfudz sebagai jodoh belahan jiwa. Jika harus menuliskan anugerah terindah secara berurutan, maka dimulai dengan Addynul Islam, orang tua lalu dia sebagai istri tecinta.
Dengan segala rahmatNya, kami bertemu insya Allah dengan cara-cara yang syar’i dan diridhai. Mulai proses dari ta’aruf, khitbah dan walimah, semuanya diusahakan berlandaskan kaidah-kaidah syar’i. Alhamdulillah dia juga memiliki pandangan yang sama, bahwa visi berkeluarga adalah membentuk keluarga islami yang menjadi mozaik bagi peradaban Islam.
Sebagai kepala keluarga, memberi nafkah, menyediakan tempat tinggal dan memberi pakaian yang layak adalah kewajiban yang harus ditunaikan. Bukan main-main, karena pertanggungjawabannya di hadapan Allah Azza wa Jalla.
Sewaktu menikah saya hanyalah mahasiswa semester dua Pasca Sarjana di sebuah perguruan tinggi negeri di Jokjakarta, belum memiliki pekerjaan dan rumah. Sangat jauh dari kata mapan. Dengan kondisi tersebut, tidak ada pilihan lain selain berupaya sekuat tenaga untuk mencari nafkah. Prinsipnya, bukan pekerjaan tetap yang penting, tetapi tetap bekerja jauh lebih penting.
Selama setahun, hampir semua jenis pekerjaan kasar telah dicoba. Mulai dari tukang ojek, menjajal kripik singkong, jualan donat dan berbagai makanan ringan lainnya. Karena tak memiliki rumah, kami berdua tinggal di kos-kosan yang atapnya bocor dan klosed kamar mandinya telah jebol.
Tepat sebelas bulan pernikahan, lahirlah manusia kecil yang insya Allah akan menjadi penerus peradaban Islam. Tentu bayi manis ini juga menjadi amanah untuk dinafkahi, dirawat dan dibesarkan. Kebutuhan eknomi semakin meningkat. Dengan hanya mejadi tukang ojek dan penjual kripik, rasanya tidak cukup menopang beban kebutuhan keluarga.
Alhamdulillah melalui do’a kami berdua, Allah memberikan pekerjaan baru sebagai makelar tanah kavlingan. Mungkin ini bukan pekerjaan tetap, tetapi paling tidak penghasilannya lebih besar daripada pekerjaan sebelumnya. Ironikah ini, bagi mahasiswa lulusan terbaik dan telah menjadi magister fisika.
Karena harus mencari pembeli, pekerjaan ini sangat menyita waktu. Ketika matahari belum menyingsing, mesin motor telah dipacu ke lokasi penjualan. Jangan tanyakan sebelum larut malam di mana saya berada, karena bisa dipastikan masih di luar rumah. Pergi sebelum si kecil bangun melihat pagi dan datang setelah ia terlelap dengan pulas.
Tiga bulan menjalani pekerjaan ini membuat rumah tangga kami terasa hampa. Batin telah gersang, ruhiyah melemah dan keimanan berada pada level kritis yang memperihatinkan. Jarang berjama’ah di masjid dan jadi ahli masbuk. Naudzu billah. Tidak ada lagi puasa senin-kamis, apalagi shalat tahajjud. Jangan tanyakan saya di majelis tarbiyah, karena dipastikan tidak ada. Ya Rabb… inilah badai futur yang sungguh menghempas dahsyat. Inikah cita-cita pernikahan itu? Kemana bunga-bunga mimpi hidup dalam keluarga sakinah, mawaddah, warahmah?
Suatu ketika di larut malam yang gelap setelah seharian mencari pembeli. Istri yang terkasih memelukku erat sejadi-jadinya. Ia menangis seperti anak kecil yang terisak-isak tak beraturan. Mendekap erat, seakan-akan saya akan pergi dan tak akan pernah kembali lagi.
“Akhi… saya tidak pernah meminta dari antum uang yang banyak. Saya juga tidak meminta antum untuk bekerja sekaras ini. Sederhana sekali pintaku, antum jadi orang yang shaleh, dan aktif dalam dakwah” ucapnya sambil terisak dan mendekap erat.
Saya hanya bisa terdiam dan tak terasa kata-katanya melelehkan butiran air mata di ujung kelopak mata.
“Akhi.,., saya ingin seperti dulu, biar susah tapi kita bisa berjalan bersama ke tempat ta’lim. Sahur senin-kamis bareng. Saling membangunkan dan mengingatkan shalat malam. Mungkin antum tidak tahu, kenapa ana memilih antum jadi suami? Karena tidak ada yang lebih membahagiakan dari melihat suami yang berjalan meninggalkan rumah menuju masjid untuk shalat berjama’ah”
***
Beberapa untaian kalimatnya itu seperti gemuruh guntur yang membangunkanku dari tidur panjang. Engkau memang anugrah terindah. Semoga Allah memberikanmu kehidupan hebat, sayang. []
Penulis : Abu Fakir
Kota Bandung
Selama kuliah tiga tahun tujuh bulan di Universitas, selama itu pula lembaga dakwah kampus membersamai. Mereka tidak hanya menjadi sahabat, tetapi juga telah lebih dari itu. Mereka adalah saudara seperjuangan yang mengajarkan makna dari dakwah dan pengorbanan di jalan Allah. Bisa dikatakan, masa sarjana telah menjadi sepenggal episode kehidupan yang paling indah dan berarti.
Dua tahun lalu, Allah mempertemukanku dengan seseorang yang telah ditetapkan dalam lauhul mahfudz sebagai jodoh belahan jiwa. Jika harus menuliskan anugerah terindah secara berurutan, maka dimulai dengan Addynul Islam, orang tua lalu dia sebagai istri tecinta.
Dengan segala rahmatNya, kami bertemu insya Allah dengan cara-cara yang syar’i dan diridhai. Mulai proses dari ta’aruf, khitbah dan walimah, semuanya diusahakan berlandaskan kaidah-kaidah syar’i. Alhamdulillah dia juga memiliki pandangan yang sama, bahwa visi berkeluarga adalah membentuk keluarga islami yang menjadi mozaik bagi peradaban Islam.
Sebagai kepala keluarga, memberi nafkah, menyediakan tempat tinggal dan memberi pakaian yang layak adalah kewajiban yang harus ditunaikan. Bukan main-main, karena pertanggungjawabannya di hadapan Allah Azza wa Jalla.
Sewaktu menikah saya hanyalah mahasiswa semester dua Pasca Sarjana di sebuah perguruan tinggi negeri di Jokjakarta, belum memiliki pekerjaan dan rumah. Sangat jauh dari kata mapan. Dengan kondisi tersebut, tidak ada pilihan lain selain berupaya sekuat tenaga untuk mencari nafkah. Prinsipnya, bukan pekerjaan tetap yang penting, tetapi tetap bekerja jauh lebih penting.
Selama setahun, hampir semua jenis pekerjaan kasar telah dicoba. Mulai dari tukang ojek, menjajal kripik singkong, jualan donat dan berbagai makanan ringan lainnya. Karena tak memiliki rumah, kami berdua tinggal di kos-kosan yang atapnya bocor dan klosed kamar mandinya telah jebol.
Tepat sebelas bulan pernikahan, lahirlah manusia kecil yang insya Allah akan menjadi penerus peradaban Islam. Tentu bayi manis ini juga menjadi amanah untuk dinafkahi, dirawat dan dibesarkan. Kebutuhan eknomi semakin meningkat. Dengan hanya mejadi tukang ojek dan penjual kripik, rasanya tidak cukup menopang beban kebutuhan keluarga.
Alhamdulillah melalui do’a kami berdua, Allah memberikan pekerjaan baru sebagai makelar tanah kavlingan. Mungkin ini bukan pekerjaan tetap, tetapi paling tidak penghasilannya lebih besar daripada pekerjaan sebelumnya. Ironikah ini, bagi mahasiswa lulusan terbaik dan telah menjadi magister fisika.
Karena harus mencari pembeli, pekerjaan ini sangat menyita waktu. Ketika matahari belum menyingsing, mesin motor telah dipacu ke lokasi penjualan. Jangan tanyakan sebelum larut malam di mana saya berada, karena bisa dipastikan masih di luar rumah. Pergi sebelum si kecil bangun melihat pagi dan datang setelah ia terlelap dengan pulas.
Tiga bulan menjalani pekerjaan ini membuat rumah tangga kami terasa hampa. Batin telah gersang, ruhiyah melemah dan keimanan berada pada level kritis yang memperihatinkan. Jarang berjama’ah di masjid dan jadi ahli masbuk. Naudzu billah. Tidak ada lagi puasa senin-kamis, apalagi shalat tahajjud. Jangan tanyakan saya di majelis tarbiyah, karena dipastikan tidak ada. Ya Rabb… inilah badai futur yang sungguh menghempas dahsyat. Inikah cita-cita pernikahan itu? Kemana bunga-bunga mimpi hidup dalam keluarga sakinah, mawaddah, warahmah?
Suatu ketika di larut malam yang gelap setelah seharian mencari pembeli. Istri yang terkasih memelukku erat sejadi-jadinya. Ia menangis seperti anak kecil yang terisak-isak tak beraturan. Mendekap erat, seakan-akan saya akan pergi dan tak akan pernah kembali lagi.
“Akhi… saya tidak pernah meminta dari antum uang yang banyak. Saya juga tidak meminta antum untuk bekerja sekaras ini. Sederhana sekali pintaku, antum jadi orang yang shaleh, dan aktif dalam dakwah” ucapnya sambil terisak dan mendekap erat.
Saya hanya bisa terdiam dan tak terasa kata-katanya melelehkan butiran air mata di ujung kelopak mata.
“Akhi.,., saya ingin seperti dulu, biar susah tapi kita bisa berjalan bersama ke tempat ta’lim. Sahur senin-kamis bareng. Saling membangunkan dan mengingatkan shalat malam. Mungkin antum tidak tahu, kenapa ana memilih antum jadi suami? Karena tidak ada yang lebih membahagiakan dari melihat suami yang berjalan meninggalkan rumah menuju masjid untuk shalat berjama’ah”
***
Beberapa untaian kalimatnya itu seperti gemuruh guntur yang membangunkanku dari tidur panjang. Engkau memang anugrah terindah. Semoga Allah memberikanmu kehidupan hebat, sayang. []
Penulis : Abu Fakir
Kota Bandung
Tulisan ini adalah salah satu peserta
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)