Kata orang aku dulu belagu , sombong, ceplas ceplos saat bicara dan terkesan memiliki watak yang keras. Bagi beberapa teman aku cukup di...
Kata orang aku dulu belagu, sombong, ceplas ceplos saat bicara dan terkesan memiliki watak yang keras. Bagi beberapa teman aku cukup ditakuti karena pembawaan karakter yang terkesan galak. Namun sebenarnya aku hanya berusaha untuk menjadi seseorang yang tegas, berwibawa dan memiliki pandangan yang jelas sebagai seorang pemimpin kelas. Tiga tahun bergelut dengan ekstrakulikuler paskibra semasa SMP dan kemudianpun masih berlanjut saat memasuki jenjang pendidikan atas, sedikit banyaknya mempengaruhi sudut pandangku sebagai seorang murid yang ingin terus menonjol dan unggul di antara teman-teman sebayaku di sekolah.
Aku biasa berdebat dalam banyak perspektif, meski untuk hal-hal yang sepele. Aku tidak terlalu suka pada jawaban yang mengambang dan aku senantiasa membutuhkan kepastian dalam banyak hal. Hingga di suatu ketika, akupun bertemu dengan salah satu kakak kelas yang membawaku pada hidayah yang hingga kini sangat kusyukuri.
Pertemuan awal kami dimulai saat aku diajak seorang teman untuk mengikuti kajian pekanan Rohis. Saat itu aku sebenarnya agak sedikit enggan untuk ikut dalam kelompok diskusi yang bagiku tidak asik, terkesan monoton dan berkutat pada satu tema yang menurutku usang. Namun karena saat itu aku masih harus menunggu waktu latihan baris berbaris yang masih berkisar satu jam ke depan dan sambil mengisi waktu yang kosong, akhirnya ajakan temanku tersebutpun kusambut meski dengan setengah hati.
Akupun kemudian bergabung dengan sekitar belasan peserta laki-laki yang terpisah sekat kain hijau tinggi dengan peserta perempuan di sebelahnya. Dalam pikiranku saat itu, formasi duduk macam ini sangat aneh. Kemudian acarapun dimulai hingga berlanjut pada acara inti. Diskui tentang pacaran.
Untuk masalah pacaran, memang aku tidak mempunya pacar. Aku beranggapan, kelak akan berpacaran jika sudah bekerja, mapan dan siap menjalin hubungan yang serius. Namun aku tidak melarang teman-temanku jika ingin berpacaran meski saat itu masih berstatus sebagai pelajar sekolah. Tema dan inti persoalan yang didiskusikan pada kajian tersebut, sungguh sangat bertolak belakang dengan pandanganku. Akupun mulai resah dan di sesi tanya jawab, aku banyak mendebat dan memberikan banyak argumen bantahan tentang kelirunya materi yang disampaikan oleh kakak kelasku tersebut.
Retorika dan kata-kata tajampun kuatur sedemikian rupa agar pernyataanku lebih meyakinkan. Namun sebanyak pertanyaan dan pernyataan keras yang kulontarkan padanya, sebanyak itu pula ia menjawab dengan senyum dan suara lembut khas miliknya. Sedikitpun pemikirannya tidak goyah dan iapun nampak tidak mudah terpancing amarah. Ia sangat tenang dan dari balik kacamatanya, dapat kusaksikan dua buah bola mata yang terlihat teduh.
Saat kegiatan selesai, diskusi dengannyapun masih terus kulakukan. Aku sangat berambisi agar debat yang kulakukan dapat kumenangkan meski di luar arena. Segala cara kulakukan agar ia mau mengubah pandangannya, namun kembali ia tetap teguh dengan pendiriannya. Hingga tak terasa waktu sholat asar tiba. Iapun mengajak untuk sholat asar berjama’ah. Kamipun kemudian sholat bersama dan setelah sholat, diskusi dengannya masih terus kulanjutkan. Aku masih belum puas dengan segala argumen miliknya.
Berhari-hari yang terjadi antara aku dan dirinya hanyalah diskusi. Namun semakin lama aku berdiskusi dengannya, semakin aku merasa bahwa ia adalah orang yang menyenangkan. Ia amat mudah sekali tersenyum, sikapnya dewasa dan yang paling menyenangkan ia sering sekali mentraktirku makan di kantin sekolah.
Setelah sekian lama diskusi antara aku dan kakak kelasku terjalin, justru semakin goyahlah sedikit demi sedikit pandangan awalku tentang pacaran. Berbagai argumen yang coba kulontarkan padanya, seakan semakin membuatku putus asa mencari alasan baru dalam menguatkan pandanganku yang mulai kuanggap keliru tersebut.Dalam beberapa hal, akupun cukup tersudutkan dengan pernyataan ringan darinya, namun membuat pikiranku tak mampu menjawab dengan sempurna di balik alasan tidak bolehnya berpacaran.
Akhirnya, akupun mulai merasa bahwa pandangannya tentang ketidakbolehan pacaran benar. Ia tidak salah dan justru akulah yang salah. Sejak saat itu, aku mulai menyadari kesalahan pemikiran yang memang biasa kucerna mentah-mentah dari lingkunganku. Akupun mulai mempelajari islam dengan lebih dalam. Kakak kelasku itupun sering meminjamkanku buku. Aku semakin bertambah dekat dengannya. Hingga tiba masanya saat kelulusan tiba dan ia mulai bekerja serta jarang singgah untuk membina Rohis sekolah, aku mulai sangat merasa kehilangannya.
Namun aku sangat bersyukur bisa dipertemukan dengannya. Di sela-sela rasa egoku yang pernah teramat besar, kesombongan dan tinggi hati, ia ternyata bisa menaklukan segala kejelakan sikap tersebut dengan segala hal yang menurutku sangat bernilai tulus. Syukron katsiron my big brother. semoga Allah SWT senantiasa menjagamu di manapun berada. Amin.
Penulis : Muhammad Azies Rachman
Semarang
Aku biasa berdebat dalam banyak perspektif, meski untuk hal-hal yang sepele. Aku tidak terlalu suka pada jawaban yang mengambang dan aku senantiasa membutuhkan kepastian dalam banyak hal. Hingga di suatu ketika, akupun bertemu dengan salah satu kakak kelas yang membawaku pada hidayah yang hingga kini sangat kusyukuri.
Pertemuan awal kami dimulai saat aku diajak seorang teman untuk mengikuti kajian pekanan Rohis. Saat itu aku sebenarnya agak sedikit enggan untuk ikut dalam kelompok diskusi yang bagiku tidak asik, terkesan monoton dan berkutat pada satu tema yang menurutku usang. Namun karena saat itu aku masih harus menunggu waktu latihan baris berbaris yang masih berkisar satu jam ke depan dan sambil mengisi waktu yang kosong, akhirnya ajakan temanku tersebutpun kusambut meski dengan setengah hati.
Akupun kemudian bergabung dengan sekitar belasan peserta laki-laki yang terpisah sekat kain hijau tinggi dengan peserta perempuan di sebelahnya. Dalam pikiranku saat itu, formasi duduk macam ini sangat aneh. Kemudian acarapun dimulai hingga berlanjut pada acara inti. Diskui tentang pacaran.
Untuk masalah pacaran, memang aku tidak mempunya pacar. Aku beranggapan, kelak akan berpacaran jika sudah bekerja, mapan dan siap menjalin hubungan yang serius. Namun aku tidak melarang teman-temanku jika ingin berpacaran meski saat itu masih berstatus sebagai pelajar sekolah. Tema dan inti persoalan yang didiskusikan pada kajian tersebut, sungguh sangat bertolak belakang dengan pandanganku. Akupun mulai resah dan di sesi tanya jawab, aku banyak mendebat dan memberikan banyak argumen bantahan tentang kelirunya materi yang disampaikan oleh kakak kelasku tersebut.
Retorika dan kata-kata tajampun kuatur sedemikian rupa agar pernyataanku lebih meyakinkan. Namun sebanyak pertanyaan dan pernyataan keras yang kulontarkan padanya, sebanyak itu pula ia menjawab dengan senyum dan suara lembut khas miliknya. Sedikitpun pemikirannya tidak goyah dan iapun nampak tidak mudah terpancing amarah. Ia sangat tenang dan dari balik kacamatanya, dapat kusaksikan dua buah bola mata yang terlihat teduh.
Saat kegiatan selesai, diskusi dengannyapun masih terus kulakukan. Aku sangat berambisi agar debat yang kulakukan dapat kumenangkan meski di luar arena. Segala cara kulakukan agar ia mau mengubah pandangannya, namun kembali ia tetap teguh dengan pendiriannya. Hingga tak terasa waktu sholat asar tiba. Iapun mengajak untuk sholat asar berjama’ah. Kamipun kemudian sholat bersama dan setelah sholat, diskusi dengannya masih terus kulanjutkan. Aku masih belum puas dengan segala argumen miliknya.
Berhari-hari yang terjadi antara aku dan dirinya hanyalah diskusi. Namun semakin lama aku berdiskusi dengannya, semakin aku merasa bahwa ia adalah orang yang menyenangkan. Ia amat mudah sekali tersenyum, sikapnya dewasa dan yang paling menyenangkan ia sering sekali mentraktirku makan di kantin sekolah.
Setelah sekian lama diskusi antara aku dan kakak kelasku terjalin, justru semakin goyahlah sedikit demi sedikit pandangan awalku tentang pacaran. Berbagai argumen yang coba kulontarkan padanya, seakan semakin membuatku putus asa mencari alasan baru dalam menguatkan pandanganku yang mulai kuanggap keliru tersebut.Dalam beberapa hal, akupun cukup tersudutkan dengan pernyataan ringan darinya, namun membuat pikiranku tak mampu menjawab dengan sempurna di balik alasan tidak bolehnya berpacaran.
Akhirnya, akupun mulai merasa bahwa pandangannya tentang ketidakbolehan pacaran benar. Ia tidak salah dan justru akulah yang salah. Sejak saat itu, aku mulai menyadari kesalahan pemikiran yang memang biasa kucerna mentah-mentah dari lingkunganku. Akupun mulai mempelajari islam dengan lebih dalam. Kakak kelasku itupun sering meminjamkanku buku. Aku semakin bertambah dekat dengannya. Hingga tiba masanya saat kelulusan tiba dan ia mulai bekerja serta jarang singgah untuk membina Rohis sekolah, aku mulai sangat merasa kehilangannya.
Namun aku sangat bersyukur bisa dipertemukan dengannya. Di sela-sela rasa egoku yang pernah teramat besar, kesombongan dan tinggi hati, ia ternyata bisa menaklukan segala kejelakan sikap tersebut dengan segala hal yang menurutku sangat bernilai tulus. Syukron katsiron my big brother. semoga Allah SWT senantiasa menjagamu di manapun berada. Amin.
Penulis : Muhammad Azies Rachman
Semarang
Tulisan ini adalah salah satu peserta
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)