“Kak, mau ajarkan aku pakai jilbab?” Pinta adik kelasku saat jam istirahat baru saja dimulai. “Tentu,” jawabku mantap. “Tapi aku tidak ...
“Kak, mau ajarkan aku pakai jilbab?” Pinta adik kelasku saat jam istirahat baru saja dimulai.
“Tentu,” jawabku mantap.
“Tapi aku tidak bisa kalau harus pakai jilbab seperti kakak,” katanya mulai ragu.
“Kenapa?” Kutatap wajah adik kelasku yang tertunduk pasrah.
“Ya, aku tidak bisa kalau harus pakai jilbab lebar seperti kakak,” aku tersenyum mendengarnya.
“Dulu kakak juga seperti kamu, mulai berjilbab saat Tsanawiyah, Itu juga belum istiqomah, masih bongkar pasang.” Perlahan diangkat wajah yang manis itu. Terbayang jika wajah itu terbalut jilbab yang syar’i.
“Perempuan itu semuanya cantik, bahkan yang tidak berjilbab. Kalau si perempuan pakai jilbab, pasti lebih cantik lagi.” Begitu kata seorang sahabat.
“Kakak mulai pakai jilbab dari yang sederhana dulu. Memakainya hanya saat sekolah, sampai rumah langsung dilepas lagi,” kudekatkan posisi duduk ini padanya. Tangga besi tempat kami berdua duduk terasa lebih lapng karena kita berdekatan.
Si adik menyimak tenang.
“Sedikit demi sedikit kakak ubah, dipanjangkan sampai menutup dada, dilapis agar tidak transparan, dilonggarkan agar tidak membentuk lekuk tubuh.” Dia mengangguk. Entah mengerti atau pusing karena ucapan kakak kelasnya ini yang panjang lebar.
Dia bukan adik kelas pertama yang mencurahkan isi hatinya berkenaan dengan jilbab. Tepatnya dia orang kelima. Dengan kata-kata yang sama, “Aku ingin berjilbab”. Empat lainnya telah mendengarkan apa kata hatinya. Berjilbab.
Walau belum sepenuhnya menuruti perintah syaria’at yaitu syar’i. Masih memakai celana jeans, kaos yang membentuk tubuh. Karena pengertian jilbab itu menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Tidak ketat atau membentuk lekuk tubuh. Tidak tipis / harus tebal. Tidak menyerupai pakaian lelaki. Warnanya tidak mencolok. Tidak menyerupai pakaian wanita kafir dan bukan untuk mencari popularitas.
Dan berhijab, hanya menutup, tanpa syarat seperti halnya jilbab.
Tapi rasa hati ini begitu bahagia menyaksikan sang adik yang tempo hari menghampiriku dengan kepala telanjang, sekarang rambut indah itu telah rapat lebih terlindungi.
Memang, jika kita memberi, orang yang akan merasakan bahagia lebih dulu adalah orang yang memberi, baru setelah itu orang yang diberi yang merasakan bahagianya. Dalam hal ini adalah memberi motivasi untuk mereka agar lebih semangat menutup auratnya.
Sekarang setelah 3 tahun kejadian itu berlalu, kulihat lagi si adik yang dulu duduk di anak tangga bersamaku, si adik yang masih telanjang kepala, sekarang sangat berbeda.
Jilbab ungu dan gamis warna senada sangat serasi dikenakannya. Senyum itu juga berbeda dengan yang dulu. Manis, karena dibalut kesyar’ian. Indah karena mengikuti kata hati.
Tak terasa air mata ini tumpah. Membasahi bibir yang dulu bicara panjang lebar di hadapannya tentang jilbab. Dia berubah. Senantiasa do’a terucap untuknya agar tetap istiqomah memenuhi syari’at. Semoga diri ini juga istiqomah dengan ketaatan. Aamiin… []
Penulis : Nurlela
Jakarta Selatan
“Tentu,” jawabku mantap.
“Tapi aku tidak bisa kalau harus pakai jilbab seperti kakak,” katanya mulai ragu.
“Kenapa?” Kutatap wajah adik kelasku yang tertunduk pasrah.
“Ya, aku tidak bisa kalau harus pakai jilbab lebar seperti kakak,” aku tersenyum mendengarnya.
“Dulu kakak juga seperti kamu, mulai berjilbab saat Tsanawiyah, Itu juga belum istiqomah, masih bongkar pasang.” Perlahan diangkat wajah yang manis itu. Terbayang jika wajah itu terbalut jilbab yang syar’i.
“Perempuan itu semuanya cantik, bahkan yang tidak berjilbab. Kalau si perempuan pakai jilbab, pasti lebih cantik lagi.” Begitu kata seorang sahabat.
“Kakak mulai pakai jilbab dari yang sederhana dulu. Memakainya hanya saat sekolah, sampai rumah langsung dilepas lagi,” kudekatkan posisi duduk ini padanya. Tangga besi tempat kami berdua duduk terasa lebih lapng karena kita berdekatan.
Si adik menyimak tenang.
“Sedikit demi sedikit kakak ubah, dipanjangkan sampai menutup dada, dilapis agar tidak transparan, dilonggarkan agar tidak membentuk lekuk tubuh.” Dia mengangguk. Entah mengerti atau pusing karena ucapan kakak kelasnya ini yang panjang lebar.
Dia bukan adik kelas pertama yang mencurahkan isi hatinya berkenaan dengan jilbab. Tepatnya dia orang kelima. Dengan kata-kata yang sama, “Aku ingin berjilbab”. Empat lainnya telah mendengarkan apa kata hatinya. Berjilbab.
Walau belum sepenuhnya menuruti perintah syaria’at yaitu syar’i. Masih memakai celana jeans, kaos yang membentuk tubuh. Karena pengertian jilbab itu menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Tidak ketat atau membentuk lekuk tubuh. Tidak tipis / harus tebal. Tidak menyerupai pakaian lelaki. Warnanya tidak mencolok. Tidak menyerupai pakaian wanita kafir dan bukan untuk mencari popularitas.
Dan berhijab, hanya menutup, tanpa syarat seperti halnya jilbab.
Tapi rasa hati ini begitu bahagia menyaksikan sang adik yang tempo hari menghampiriku dengan kepala telanjang, sekarang rambut indah itu telah rapat lebih terlindungi.
Memang, jika kita memberi, orang yang akan merasakan bahagia lebih dulu adalah orang yang memberi, baru setelah itu orang yang diberi yang merasakan bahagianya. Dalam hal ini adalah memberi motivasi untuk mereka agar lebih semangat menutup auratnya.
Sekarang setelah 3 tahun kejadian itu berlalu, kulihat lagi si adik yang dulu duduk di anak tangga bersamaku, si adik yang masih telanjang kepala, sekarang sangat berbeda.
Jilbab ungu dan gamis warna senada sangat serasi dikenakannya. Senyum itu juga berbeda dengan yang dulu. Manis, karena dibalut kesyar’ian. Indah karena mengikuti kata hati.
Tak terasa air mata ini tumpah. Membasahi bibir yang dulu bicara panjang lebar di hadapannya tentang jilbab. Dia berubah. Senantiasa do’a terucap untuknya agar tetap istiqomah memenuhi syari’at. Semoga diri ini juga istiqomah dengan ketaatan. Aamiin… []
Penulis : Nurlela
Jakarta Selatan
Tulisan ini adalah salah satu peserta
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)