Saya adalah seorang perempuan yang terlahir dari keluarga dengan latar belakang agama Islam yang biasa saja. Bahkan, nenek saya seorang K...
Saya adalah seorang perempuan yang terlahir dari keluarga dengan latar belakang agama Islam yang biasa saja. Bahkan, nenek saya seorang Katolik. Sedari kecil, saya mendapatkan pendidikan formal di sekolah Katolik. Namun, kedua orang tua mendaftarkan saya ke Taman Pendidikan Al Qur’an (TPA) di masjid tempat tinggal kami. Jadilah saya yang setiap pagi harinya belajar dengan bimbingan agama Katolik dan sore harinya belajar dengan bimbingan agama Islam. Saya masih ingat betul ketika bagaimana saya pergi ke gereja karena hal tersebut termasuk dalam kegiatan sekolah. Dan saya juga masih ingat betul ketika bagaimana saya belajar membaca Al Qur’an, bermain dan bernyanyi lagu “Rindu Rasul” bersama teman-teman di TPA.
Seiring berjalannya waktu, ketika SMA, saya mengikuti kegiatan mentoring namun tidak terlalu aktif di Rohis. Beranjak kuliah, Allah memberikan saya kesempatan untuk belajar di salah satu Universitas Swasta, sebuah universitas swasta yang mayoritas civitas akademikanya non Muslim. Ketika menjalani program pengenalan kampus, di sela-sela materi yang diberikan pihak kampus, terdapat kakak-kakak mahasiswa mengenakan jaket menjemput adik-adik mahasiswa yang beragama Islam keluar kelas untuk diantar ke mushola menunaikan ibadah Sholat. Saya tertegun. Baru rasanya di tempat yang asing kala itu, untuk sholat saja diajak oleh orang lain, begitu pedulinya kakak-kakak itu. Mulai dari hal itu, saya mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa Kerohanian Islam. Ketika mengikuti acara Latihan Dasar Kepemimpinan dan Rekruitmen, saya ditanya oleh seorang kakak mentor mengenai hijab. Saya katakan bahwa dalam keseharian saya belum mengenakan hijab. Kemudian, kakak mentor tersebut membuka Al Qur’an lalu saya diminta untuk membaca artinya. “Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang” (Q.S Al Ahzab : 59). Setelah saya membaca, kakak mentor tersebut bertanya kenapa saya tidak mengenakan hijab padahal Allah memerintahkan untuk berhijab. Saya menangis terisak-isak saat itu, betapa berdosanya saya. Saya katakan kepada kakak mentor bahwa saya belum mengenakan hijab karena saya belum siap, saya masih belum memiliki ilmu agama Islam yang cukup dan saya menyukai musik. Kakak mentor menenangkan saya kemudian menulis catatan di kertasnya.
Pada semester keempat saya pun berhijab dengan hati yang mantap. Banyak yang kaget dengan perubahan saya, termasuk kakak-kakak akhwat di UKM. Tahun pertama, saya masuk di departemen keputrian, saya cukup mengetahui apa saja yang dilakukan di departemen tersebut karena dari namanya saja keputrian, pasti berhubungan dengan wanita. Tahun kedua, saya dimasukkan di departemen dakwah. Saya kaget karena yang saya tahu di departemen tersebut pastilah diisi oleh orang-orang yang memiliki pengetahuan Agama Islam secara mendalam. Saya pun bertanya-tanya dalam hati “dakwah?, apa itu dakwah?, kenapa saya dimasukkan di departemen dakwah?”. Tidak ada cara lain selain memperbanyak buku tentang dakwah, buku berjudul “bekal dakwah” menjadi buku pertama tentang dakwah yang kubeli. Kujalani masa kepengurusan dengan mengadakan acara keislaman. Menyusun konsep kajian dan menentukan judul kajian yang menarik di mata mahasiswa yang kadar hedonisnya masih tinggi merupakan PR besar bagi saya dan teman-teman. Hingga akhirnya saya pun mengerti bahwa apa yang dilakukan teman-teman UKM adalah berdakwah, ya, dakwah, dakwah yang artinya menyeru, menyeru kepada kebaikan dan mencegah yang mungkar. Pikiran saya mulai terbuka bahwa setiap orang yang menyeru kepada kebaikan itu dakwah dan mencegah yang mungkar pun dakwah, jadi bukan hanya ustadz atau ustadzah saja yang berdakwah, melainkan setiap kita pun berdakwah. Saya berdakwah dengan yang saya bisa, yang mudah saya lakukan adalah mengajak sholat teman sekelas ketika perkuliahan berlangsung.
Tiga tahun berlalu, sekarang saya bekerja di lingkungan mayoritas non Muslim. Tidak sedikit yang mengira saya lulusan pesantren karena saya wanita yang berjilbab cukup lebar di kantor. Padahal, jika mereka tahu yang sebenarnya, saya masih dalam proses belajar menjadi hamba Allah yang beriman dan bertakwa.
Dalam proses pembelajaran (tarbiyah) dan ilmu yang masih tak seberapa, saya mendapatkan rasa persaudaraan karena Allah sehingga saya ingin terus meningkatkan kapasitas sebagai seorang Muslimah dan mengajak (dakwah) keluarga juga orang-orang sekitar untuk sama-sama mencintai Islam. Alhamdulillah, saya bersyukur hidup di dua “alam”, karena dengan begitu saya bisa menghargai perbedaan dan bisa merasakan nikmatnya Iman dan Islam. Semoga Allah meridhoi.
“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau condongkan hati kami kepada kesesatan setelah Engkau berikan petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami Rahmat dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi.” (Q.S Ali Imran : 8).
Penulis : Ayu Aulia Julisyah
Jakarta Utara
Seiring berjalannya waktu, ketika SMA, saya mengikuti kegiatan mentoring namun tidak terlalu aktif di Rohis. Beranjak kuliah, Allah memberikan saya kesempatan untuk belajar di salah satu Universitas Swasta, sebuah universitas swasta yang mayoritas civitas akademikanya non Muslim. Ketika menjalani program pengenalan kampus, di sela-sela materi yang diberikan pihak kampus, terdapat kakak-kakak mahasiswa mengenakan jaket menjemput adik-adik mahasiswa yang beragama Islam keluar kelas untuk diantar ke mushola menunaikan ibadah Sholat. Saya tertegun. Baru rasanya di tempat yang asing kala itu, untuk sholat saja diajak oleh orang lain, begitu pedulinya kakak-kakak itu. Mulai dari hal itu, saya mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa Kerohanian Islam. Ketika mengikuti acara Latihan Dasar Kepemimpinan dan Rekruitmen, saya ditanya oleh seorang kakak mentor mengenai hijab. Saya katakan bahwa dalam keseharian saya belum mengenakan hijab. Kemudian, kakak mentor tersebut membuka Al Qur’an lalu saya diminta untuk membaca artinya. “Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang” (Q.S Al Ahzab : 59). Setelah saya membaca, kakak mentor tersebut bertanya kenapa saya tidak mengenakan hijab padahal Allah memerintahkan untuk berhijab. Saya menangis terisak-isak saat itu, betapa berdosanya saya. Saya katakan kepada kakak mentor bahwa saya belum mengenakan hijab karena saya belum siap, saya masih belum memiliki ilmu agama Islam yang cukup dan saya menyukai musik. Kakak mentor menenangkan saya kemudian menulis catatan di kertasnya.
Pada semester keempat saya pun berhijab dengan hati yang mantap. Banyak yang kaget dengan perubahan saya, termasuk kakak-kakak akhwat di UKM. Tahun pertama, saya masuk di departemen keputrian, saya cukup mengetahui apa saja yang dilakukan di departemen tersebut karena dari namanya saja keputrian, pasti berhubungan dengan wanita. Tahun kedua, saya dimasukkan di departemen dakwah. Saya kaget karena yang saya tahu di departemen tersebut pastilah diisi oleh orang-orang yang memiliki pengetahuan Agama Islam secara mendalam. Saya pun bertanya-tanya dalam hati “dakwah?, apa itu dakwah?, kenapa saya dimasukkan di departemen dakwah?”. Tidak ada cara lain selain memperbanyak buku tentang dakwah, buku berjudul “bekal dakwah” menjadi buku pertama tentang dakwah yang kubeli. Kujalani masa kepengurusan dengan mengadakan acara keislaman. Menyusun konsep kajian dan menentukan judul kajian yang menarik di mata mahasiswa yang kadar hedonisnya masih tinggi merupakan PR besar bagi saya dan teman-teman. Hingga akhirnya saya pun mengerti bahwa apa yang dilakukan teman-teman UKM adalah berdakwah, ya, dakwah, dakwah yang artinya menyeru, menyeru kepada kebaikan dan mencegah yang mungkar. Pikiran saya mulai terbuka bahwa setiap orang yang menyeru kepada kebaikan itu dakwah dan mencegah yang mungkar pun dakwah, jadi bukan hanya ustadz atau ustadzah saja yang berdakwah, melainkan setiap kita pun berdakwah. Saya berdakwah dengan yang saya bisa, yang mudah saya lakukan adalah mengajak sholat teman sekelas ketika perkuliahan berlangsung.
Tiga tahun berlalu, sekarang saya bekerja di lingkungan mayoritas non Muslim. Tidak sedikit yang mengira saya lulusan pesantren karena saya wanita yang berjilbab cukup lebar di kantor. Padahal, jika mereka tahu yang sebenarnya, saya masih dalam proses belajar menjadi hamba Allah yang beriman dan bertakwa.
Dalam proses pembelajaran (tarbiyah) dan ilmu yang masih tak seberapa, saya mendapatkan rasa persaudaraan karena Allah sehingga saya ingin terus meningkatkan kapasitas sebagai seorang Muslimah dan mengajak (dakwah) keluarga juga orang-orang sekitar untuk sama-sama mencintai Islam. Alhamdulillah, saya bersyukur hidup di dua “alam”, karena dengan begitu saya bisa menghargai perbedaan dan bisa merasakan nikmatnya Iman dan Islam. Semoga Allah meridhoi.
“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau condongkan hati kami kepada kesesatan setelah Engkau berikan petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami Rahmat dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi.” (Q.S Ali Imran : 8).
Penulis : Ayu Aulia Julisyah
Jakarta Utara
Tulisan ini adalah salah satu peserta
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)