Berada di lingkup mayoritas mungkin terasa mudah bagi kita. Namun, pernahkah kita merasakan situasi di mana kita adalah minoritas dari ya...
Berada di lingkup mayoritas mungkin terasa mudah bagi kita. Namun, pernahkah kita merasakan situasi di mana kita adalah minoritas dari yang lain. Sekarang saya berkuliah di sebuah Universitas Negeri di Jatinangor. Di sana saya merasakan kekuatan dakwah Islamnya sangat kuat dan saya pun adalah bagian dari itu. Semangat dakwah teman-teman di lingkungan saya sekarang tinggi sekali. Kita mengadakan berbagai acara seperti mentoring hingga seminar keislaman. Saya pandang ini wajar karena teman-teman dan saya berada di lingkungan mayoritas Islam. Hal yang tidak wajar adalah saya melihat semangat dakwah di kampus yang bernuansa Islam ini jauh dibanding semangat dakwah di lingkungan minoritas. Ini saya alami sendiri.
Sebelum masuk ke Universitas, saya bersekolah di sebuah SMA yang masuk siang di Palembang. SMA saya ini berbasiskan keagamaan, tetapi agama yang dipakai di sana adalah agama Katolik. Meskipun sekolah Katolik, SMA saya ini memiliki murid-murid yang memeluk agama lain seperti Buddha, Hindu, hingga Islam. Dibandingkan yang lain, siswa beragama Islam adalah minoritas. Saat pertama kali masuk tahun 2009, saya merasakan kesulitan dalam beribadah. Sekolah saya ini memulai kegiatan belajar mengajarnya di pukul 13.00 sampai pukul 18.00 dan istirahat yang diberikan hanya 10 menit. Di sini ada waktu sholat Ashar. Kesulitan yang saya alami adalah mencari tempat untuk sholatnya. Karena di sekolah tidak disediakan tempat sholat.
Suatu siang saat saya sedang berbincang dengan senior saya yang juga seorang Muslim, dia mengajak saya untuk mampir ke rumah penjual pempek di depan sekolah. Di sinilah biasanya dia melaksanakan ibadah Sholat Ashar selama mencari ilmu di SMA ini. Alhamdulillah, Allah mempertemukan saya dengannya. Selesai sholat ada keinginan dalam hati saya untuk mengajak teman-teman saya untuk bersama sholat di sana. Mengajak, inilah poin sulitnya. Tetapi, tekad saya sudah bulat karena saya merasa Islam akan kuat jika berjamaah, begitu juga dengan Islam di SMA saya.
Saat pertama kali mengajak teman-teman yang lain, sambutan yang kurang saya terima. Banyak yang memilih untuk bermain dan berkumpul dengan teman lain dibanding untuk melaksanakan kewajibannya. Alhamdulillah, Allah memberi saya seorang sahabat baru, bernama Praoja Yordan. Dia adalah anak petani di wilayah Belitang, Sumatera Selatan, yang merantau ke Palembang. Di sini dia bekerja sebagai asisten rumah tangga di sebuah rumah yang majikannya adalah seorang Katolik.
Praoja inilah yang selalu menemani saya untuk mencapai pahala 27o saat sholat Ashar di sekolah. Dia juga yang selalu bertanya bermacam hal mengenai Islam, Nabi Muhammad SAW, dan Al-Quran. Semangatnya yang tidak pernah padam dari tahun pertama di SMA yang membuat saya juga terus semangat. Benar kata Salim A. Fillah bahwa dengan sahabat yang kuat, tekad berdakwah kita juga akan lebih kuat. Dalam Dekapan Ukhuwah.
Berangsur-angsur saya mengajak teman-teman lain di SMA bersama Praoja. Ada yang awalnya juga mengalami masalah yang sama mengenai tempat, menjadi semangat setelah diberi tahu tempat untuk sholat yang lebih nyaman. Semangat mengajak dalam nuansa Islami di lingkungan minoritas ini sangat tinggi. Mungkin karena kami sudah minoritas, kami tidak ingin kehilangan jati diri. Apalagi saat mengingat amanat ayah dan ibu yang disampaikan sebelum saya masuk gerbang SMA Katolik ini, “Kamu memang akan menjadi minoritas, tetapi jangan sampai kehilangan jati diri kamu sebagai Muslim ya!”
Penulis : Rio Alfajri
Palembang, Sumatera Selatan
Sebelum masuk ke Universitas, saya bersekolah di sebuah SMA yang masuk siang di Palembang. SMA saya ini berbasiskan keagamaan, tetapi agama yang dipakai di sana adalah agama Katolik. Meskipun sekolah Katolik, SMA saya ini memiliki murid-murid yang memeluk agama lain seperti Buddha, Hindu, hingga Islam. Dibandingkan yang lain, siswa beragama Islam adalah minoritas. Saat pertama kali masuk tahun 2009, saya merasakan kesulitan dalam beribadah. Sekolah saya ini memulai kegiatan belajar mengajarnya di pukul 13.00 sampai pukul 18.00 dan istirahat yang diberikan hanya 10 menit. Di sini ada waktu sholat Ashar. Kesulitan yang saya alami adalah mencari tempat untuk sholatnya. Karena di sekolah tidak disediakan tempat sholat.
Suatu siang saat saya sedang berbincang dengan senior saya yang juga seorang Muslim, dia mengajak saya untuk mampir ke rumah penjual pempek di depan sekolah. Di sinilah biasanya dia melaksanakan ibadah Sholat Ashar selama mencari ilmu di SMA ini. Alhamdulillah, Allah mempertemukan saya dengannya. Selesai sholat ada keinginan dalam hati saya untuk mengajak teman-teman saya untuk bersama sholat di sana. Mengajak, inilah poin sulitnya. Tetapi, tekad saya sudah bulat karena saya merasa Islam akan kuat jika berjamaah, begitu juga dengan Islam di SMA saya.
Saat pertama kali mengajak teman-teman yang lain, sambutan yang kurang saya terima. Banyak yang memilih untuk bermain dan berkumpul dengan teman lain dibanding untuk melaksanakan kewajibannya. Alhamdulillah, Allah memberi saya seorang sahabat baru, bernama Praoja Yordan. Dia adalah anak petani di wilayah Belitang, Sumatera Selatan, yang merantau ke Palembang. Di sini dia bekerja sebagai asisten rumah tangga di sebuah rumah yang majikannya adalah seorang Katolik.
Praoja inilah yang selalu menemani saya untuk mencapai pahala 27o saat sholat Ashar di sekolah. Dia juga yang selalu bertanya bermacam hal mengenai Islam, Nabi Muhammad SAW, dan Al-Quran. Semangatnya yang tidak pernah padam dari tahun pertama di SMA yang membuat saya juga terus semangat. Benar kata Salim A. Fillah bahwa dengan sahabat yang kuat, tekad berdakwah kita juga akan lebih kuat. Dalam Dekapan Ukhuwah.
Berangsur-angsur saya mengajak teman-teman lain di SMA bersama Praoja. Ada yang awalnya juga mengalami masalah yang sama mengenai tempat, menjadi semangat setelah diberi tahu tempat untuk sholat yang lebih nyaman. Semangat mengajak dalam nuansa Islami di lingkungan minoritas ini sangat tinggi. Mungkin karena kami sudah minoritas, kami tidak ingin kehilangan jati diri. Apalagi saat mengingat amanat ayah dan ibu yang disampaikan sebelum saya masuk gerbang SMA Katolik ini, “Kamu memang akan menjadi minoritas, tetapi jangan sampai kehilangan jati diri kamu sebagai Muslim ya!”
Penulis : Rio Alfajri
Palembang, Sumatera Selatan
Tulisan ini adalah salah satu peserta
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)