Suami : “Aku sudah menunggu saat seperti ini sejak lama. Akhirnya kesampaian juga. Istri : “Apakah kau rela kalau aku pergi meninggalka...
Suami : “Aku sudah menunggu saat seperti ini sejak lama. Akhirnya kesampaian juga.
Istri : “Apakah kau rela kalau aku pergi meninggalkanmu?”
Suami : “Tentu tidak! Jangan pernah kau berpikiran seperti itu.”
Istri : “Apakah kau benar-benar mencintaiku?”
Suami : “Tentu! Selamanya akan tetap begitu.”
Istri : “Apakah kau akan selingkuh?”
Suami : “Tidak! Aku tak akan pernah melakukan hal buruk itu.”
Istri : “Maukah kau menciumku?”
Suami : “Ya.”
Istri : “Hmmmmm… Sayangku…”
Dialog yang ditulis Ustadz Cahyadi Takariawan dalam buku Wonderful Husband ini sungguh menggelitik. Jika dibaca dari atas ke bawah, dialog ini adalah dialog pengantin baru. Romantis, mesra.
Tetapi, dialog ini juga dapat menggambarkan ‘prahara’ rumah tangga pengantin lama. Jika, dialognya dibaca dari bawah ke atas.
Lalu bagaimana agar dialog keluarga kita selalu ‘dari atas ke bawah’? “Maka selalu rawat dan sirami cinta kasih dalam keluarga Anda,” nasehat Ustadz Cahyadi usai mengetengahkan dialog tersebut, “selamanya Anda akan menjadi pengantin baru…”
Ustadz Fauzil Adhim menjelaskan, langkah pertama merawat cinta agar bersemi indah adalah menerima pendamping kita ada adanya. Dengan tidak berharap terlalu banyak. Dalam bahasa hadits, ini disebut dengan ridha.
Ridha adalah pekerjaan pertama dalam mencintai dan merawat cinta suami istri. Sebaliknya, saling menuntut tanpa memperhatikan kondisi adalah awal dari keretakan hubungan. Seorang suami yang ridha dengan istrinya, ia memberikan perhatian kepadanya. Pun istri yang ridha pada suaminya, ia pun akan memberikan perhatian pada sang imam dalam rumah tangganya itu.
Namun untuk merawat dan menyirami cinta, suami istri tidak boleh berhenti di sini. Ia harus melanjutkan dengan tahap berikutnya: penumbuhan. Pada mulanya ia menerima segala kondisi pendampingnya. Namun dalam cinta, ia memberikan sentuhan edukasi pada hubungan keduanya. Jadilah istrinya lebih shalihah, lebih cerdas, lebih dewasa, dan seterusnya.
Jika kita lihat keluarga Nabi, sungguh beliau menerima setiap istrinya apa adanya. Meski, tentu, setiap istri memiliki kelebihan dan kekurangannya. Baik dalam aspek fisik maupun karakter dan sifatnya. Namun kemudian, beliau memperbaiki mereka ketika ada kesalahan. Seperti saat mereka menuntut nafkah yang lebih, atau dibakar oleh api cemburu hingga memecahkan nampan. Di saat-saat seperti itu, Nabi tampil melakukan edukasi; menumbuhkan pribadi, merawat cinta.
Dari kehidupan Rasulullah, kita juga mendapati petunjuk merawat cinta dengan menyeimbangkan pemenuhan fisik-biologis dan ruhiyah-spiritual. Dalam aspek pertama kita dapati contoh beliau bercanda mesra, berlomba lari dengan istrinya, hingga acara mandi berdua. Sedangkan dalam aspek kedua, beliau membangunkan istrinya untuk qiyamul lail, mengajak mereka i’tikaf, bersama-sama berpuasa, dan seterusnya.
“Allah merahmati laki-laki yang bangun di tengah malam, ia shalat lalu membangunkan istrinya. Jika istrinya enggan bangun, ia meneteskan air ke wajahnya. Allah juga merahmati wanita yang bangun di tengah malam, ia shalat lalu membangunkan suaminya. Jika suaminya enggan bangun, ia meneteskan air ke wajahnya.” (HR. Abu Daud)
Apa yang beliau contohkan dan kemudian beliau ajarkan kepada umatnya ini adalah salah satu kunci turunnya rahmat Allah. Dan bukankah rahmat adalah kasih sayang? Bukankah rahmat adalah cinta? Jika Allah yang memberikan rahmat kepada suami istri, subhanallah… cinta keduanya akan bersemi, terawat dan tersirami. Jika demikian, tidak masalah telah berapa lama ia berumah tangga, kehidupan suami istri insya Allah bahagia dan penuh cinta. [Abu Nida]
Istri : “Apakah kau rela kalau aku pergi meninggalkanmu?”
Suami : “Tentu tidak! Jangan pernah kau berpikiran seperti itu.”
Istri : “Apakah kau benar-benar mencintaiku?”
Suami : “Tentu! Selamanya akan tetap begitu.”
Istri : “Apakah kau akan selingkuh?”
Suami : “Tidak! Aku tak akan pernah melakukan hal buruk itu.”
Istri : “Maukah kau menciumku?”
Suami : “Ya.”
Istri : “Hmmmmm… Sayangku…”
Dialog yang ditulis Ustadz Cahyadi Takariawan dalam buku Wonderful Husband ini sungguh menggelitik. Jika dibaca dari atas ke bawah, dialog ini adalah dialog pengantin baru. Romantis, mesra.
Tetapi, dialog ini juga dapat menggambarkan ‘prahara’ rumah tangga pengantin lama. Jika, dialognya dibaca dari bawah ke atas.
Lalu bagaimana agar dialog keluarga kita selalu ‘dari atas ke bawah’? “Maka selalu rawat dan sirami cinta kasih dalam keluarga Anda,” nasehat Ustadz Cahyadi usai mengetengahkan dialog tersebut, “selamanya Anda akan menjadi pengantin baru…”
Ustadz Fauzil Adhim menjelaskan, langkah pertama merawat cinta agar bersemi indah adalah menerima pendamping kita ada adanya. Dengan tidak berharap terlalu banyak. Dalam bahasa hadits, ini disebut dengan ridha.
Ridha adalah pekerjaan pertama dalam mencintai dan merawat cinta suami istri. Sebaliknya, saling menuntut tanpa memperhatikan kondisi adalah awal dari keretakan hubungan. Seorang suami yang ridha dengan istrinya, ia memberikan perhatian kepadanya. Pun istri yang ridha pada suaminya, ia pun akan memberikan perhatian pada sang imam dalam rumah tangganya itu.
Namun untuk merawat dan menyirami cinta, suami istri tidak boleh berhenti di sini. Ia harus melanjutkan dengan tahap berikutnya: penumbuhan. Pada mulanya ia menerima segala kondisi pendampingnya. Namun dalam cinta, ia memberikan sentuhan edukasi pada hubungan keduanya. Jadilah istrinya lebih shalihah, lebih cerdas, lebih dewasa, dan seterusnya.
Jika kita lihat keluarga Nabi, sungguh beliau menerima setiap istrinya apa adanya. Meski, tentu, setiap istri memiliki kelebihan dan kekurangannya. Baik dalam aspek fisik maupun karakter dan sifatnya. Namun kemudian, beliau memperbaiki mereka ketika ada kesalahan. Seperti saat mereka menuntut nafkah yang lebih, atau dibakar oleh api cemburu hingga memecahkan nampan. Di saat-saat seperti itu, Nabi tampil melakukan edukasi; menumbuhkan pribadi, merawat cinta.
Dari kehidupan Rasulullah, kita juga mendapati petunjuk merawat cinta dengan menyeimbangkan pemenuhan fisik-biologis dan ruhiyah-spiritual. Dalam aspek pertama kita dapati contoh beliau bercanda mesra, berlomba lari dengan istrinya, hingga acara mandi berdua. Sedangkan dalam aspek kedua, beliau membangunkan istrinya untuk qiyamul lail, mengajak mereka i’tikaf, bersama-sama berpuasa, dan seterusnya.
“Allah merahmati laki-laki yang bangun di tengah malam, ia shalat lalu membangunkan istrinya. Jika istrinya enggan bangun, ia meneteskan air ke wajahnya. Allah juga merahmati wanita yang bangun di tengah malam, ia shalat lalu membangunkan suaminya. Jika suaminya enggan bangun, ia meneteskan air ke wajahnya.” (HR. Abu Daud)
Apa yang beliau contohkan dan kemudian beliau ajarkan kepada umatnya ini adalah salah satu kunci turunnya rahmat Allah. Dan bukankah rahmat adalah kasih sayang? Bukankah rahmat adalah cinta? Jika Allah yang memberikan rahmat kepada suami istri, subhanallah… cinta keduanya akan bersemi, terawat dan tersirami. Jika demikian, tidak masalah telah berapa lama ia berumah tangga, kehidupan suami istri insya Allah bahagia dan penuh cinta. [Abu Nida]