Kondisi di Makkah dan di Madinah sungguh berbeda. 12 tahun di Makkah, Islam hanya dipenuhi dengan orang-orang yang benar-benar beriman. M...
Kondisi di Makkah dan di Madinah sungguh berbeda. 12 tahun di Makkah, Islam hanya dipenuhi dengan orang-orang yang benar-benar beriman. Menjadi muslim di saat itu sama sekali tidak menguntungkan secara materi. Yang ada justru pengorbanan demi pengorbanan. Cacian, hinaan, intimidasi hingga siksaan dan bahkan pembunuhan.
Di Madinah, muslim adalah pemegang kekuasaan. Pundi-pundi kemelimpahan mulai terbuka. Kemenangan demi kemenangan didapatkan. Maka, beragam corak manusia menyatakan masuk Islam. Tidak mudah bagi sahabat sekalipun untuk memastikan siapa yang jujur dan siapa yang berdusta dalam keislamannya. Namun Allah memiliki banyak cara untuk menyingkap mana yang emas dan mana yang loyang.
Syawal 5 Hijriyah. Sepuluh ribu pasukan mengepung Madinah. Ini adalah pasukan koalisi terbesar yang pernah dihimpun bangsa Arab saat itu. Terdiri dari suku Quraisy, Kinanah, sekutu-sekutu dari Tihamah, Bani Sulaim, serta kabilah-kabilah Ghathafan. Pendek kata, seluruh suku memerangi Madinah. Jika hizb diartikan partai, maka perang ahzab ini maknanya adalah seluruh partai memusuhi Madinah.
Ini ujian berat. Tapi melalui ujian inilah Allah memisahkan mana yang emas dan mana yang loyang. Al Qur’an menjelaskan, ada empat golongan orang-orang Madinah menyikapi perang ahzab ini. Pertama, orang-orang munafik. Melihat pasukan ahzab datang, tampaklah kemunafikannya. Karena sesungguhnya mereka tidak pernah mempercayai janji Allah. “Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berkata, ‘Allah dan RasulNya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya.’” (QS. Al Ahzab : 12).
Kedua, golongan yang ketika menghadapi ujian peperangan, mereka meminta ijin untuk pulang. Mereka mencari alasan agar tidak ikut berperang. Ayat 13 mengutip alasan mereka, “sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka, tidak ada yang menjaga.” Yang lebih parah, mereka juga memprovokasi orang lain untuk lari dari medan juang.
Ketiga, Al Qur’an menyebut mereka sebagai mu’awwiqiin, sukanya merecoki perjuangan. Di samping itu mereka malas berjuang di medan yang sulit dan beresiko tinggi. Mereka juga memiliki kecenderungan untuk memisahkan diri, membuat kelompok sendiri.
Keempat, golongan orang-orang yang beriman. Melihat seluruh hizb datang untuk mengeroyok Madinah, mereka justru semakin beriman, yakin akan janji kemenangan, dan meningkatkan ketaatannya. “Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata, ‘Inilah yang dijanjikan Allah dan RasulNya kepada kita.’ Dan benarlah Allah dan RasulNya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali keimanan dan ketundukan.” (QS. Al Ahzab : 22)
Jika perang Ahzab menjadi ujian yang dengannya terlihatlah orang-orang yang beriman dari kelompok lainnya, demikian pula ujian-ujian berat yang menimpa harakah islamiyah. Pada saat hari-hari biasa, masa-masa menguntungkan, akan sangat mudah bagi banyak orang membersamainya. Namun di saat sulit, di saat ujian datang, saat itulah nyata siapa yang benar-benar berjuang dan siapa yang hanya berpangku tangan, atau bahkan sekedar mencari keuntungan.
“Sungguh, tidaklah setiap ujian itu dimaksudkan untuk melemahkan,” kata Ani Matta, “Namun justru ujian itu hadir sebagai sebuah keniscayaan untuk benar-benar memisahkan mana yang emas dan mana yang loyang” [Abu Nida]
Di Madinah, muslim adalah pemegang kekuasaan. Pundi-pundi kemelimpahan mulai terbuka. Kemenangan demi kemenangan didapatkan. Maka, beragam corak manusia menyatakan masuk Islam. Tidak mudah bagi sahabat sekalipun untuk memastikan siapa yang jujur dan siapa yang berdusta dalam keislamannya. Namun Allah memiliki banyak cara untuk menyingkap mana yang emas dan mana yang loyang.
Syawal 5 Hijriyah. Sepuluh ribu pasukan mengepung Madinah. Ini adalah pasukan koalisi terbesar yang pernah dihimpun bangsa Arab saat itu. Terdiri dari suku Quraisy, Kinanah, sekutu-sekutu dari Tihamah, Bani Sulaim, serta kabilah-kabilah Ghathafan. Pendek kata, seluruh suku memerangi Madinah. Jika hizb diartikan partai, maka perang ahzab ini maknanya adalah seluruh partai memusuhi Madinah.
Ini ujian berat. Tapi melalui ujian inilah Allah memisahkan mana yang emas dan mana yang loyang. Al Qur’an menjelaskan, ada empat golongan orang-orang Madinah menyikapi perang ahzab ini. Pertama, orang-orang munafik. Melihat pasukan ahzab datang, tampaklah kemunafikannya. Karena sesungguhnya mereka tidak pernah mempercayai janji Allah. “Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berkata, ‘Allah dan RasulNya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya.’” (QS. Al Ahzab : 12).
Kedua, golongan yang ketika menghadapi ujian peperangan, mereka meminta ijin untuk pulang. Mereka mencari alasan agar tidak ikut berperang. Ayat 13 mengutip alasan mereka, “sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka, tidak ada yang menjaga.” Yang lebih parah, mereka juga memprovokasi orang lain untuk lari dari medan juang.
Ketiga, Al Qur’an menyebut mereka sebagai mu’awwiqiin, sukanya merecoki perjuangan. Di samping itu mereka malas berjuang di medan yang sulit dan beresiko tinggi. Mereka juga memiliki kecenderungan untuk memisahkan diri, membuat kelompok sendiri.
Keempat, golongan orang-orang yang beriman. Melihat seluruh hizb datang untuk mengeroyok Madinah, mereka justru semakin beriman, yakin akan janji kemenangan, dan meningkatkan ketaatannya. “Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata, ‘Inilah yang dijanjikan Allah dan RasulNya kepada kita.’ Dan benarlah Allah dan RasulNya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali keimanan dan ketundukan.” (QS. Al Ahzab : 22)
Jika perang Ahzab menjadi ujian yang dengannya terlihatlah orang-orang yang beriman dari kelompok lainnya, demikian pula ujian-ujian berat yang menimpa harakah islamiyah. Pada saat hari-hari biasa, masa-masa menguntungkan, akan sangat mudah bagi banyak orang membersamainya. Namun di saat sulit, di saat ujian datang, saat itulah nyata siapa yang benar-benar berjuang dan siapa yang hanya berpangku tangan, atau bahkan sekedar mencari keuntungan.
“Sungguh, tidaklah setiap ujian itu dimaksudkan untuk melemahkan,” kata Ani Matta, “Namun justru ujian itu hadir sebagai sebuah keniscayaan untuk benar-benar memisahkan mana yang emas dan mana yang loyang” [Abu Nida]