Berkah adalah bertambahnya kebaikan. Berkah, tidak selalu identik dengan jumlah. Ia lebih pada adanya ketenangan hati, kejernihan fikir d...
Berkah adalah bertambahnya kebaikan. Berkah, tidak selalu identik dengan jumlah. Ia lebih pada adanya ketenangan hati, kejernihan fikir dan kebahagiaan lain yang tidak bisa dikonversikan dengan angka atau jumlah. Oleh karena itu, berkah tidak selalu milik orang kaya. Miskin yang bersyukur, bisa jadi adalah bentuk lain dari keberkahan. Karena bisa jadi, dan memang terbukti dalam banyak kasus, kekayaan justru bisa membuat seseorang sombong dan kemudian mengundang murka Allah Subhanahu wa Ta’alaa.
Sebagai seorang muslim yang mukmin, keberkahan sudah digariskan oleh Allah dan dijelaskan dengan panjang lebar dalam al-Qur’an juga Sunnah Nabi. Sehingga, hanya mereka yang rajin mempelajari keduanyalah yang mengerti persis makna keberkahan dan tidak salah alamat dalam mendapatkannya.
Karena sejatinya, kunci-kunci keberkahan sudah Allah berikan dalam aturan-aturan yang kita lakukan dalam ibadah sehari-hari. Maka, mereka yang bisa meraup keberkahan dalam makna sebenarnya dan sesering mungkin, adalah mereka yang berhasil menjalankan aturan-aturan itu dalam keseharian mereka.
Pertama, mendirikan shalat dan membayar zakat. Sekilas, dua amal shalih ini hanya berdampak pada pribadi. Padahal, jika kita mendalami lebih jauh, kedua ibadah ini, muara sejatinya adalah keshalihan sosial.
Sholat, disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’alaa sebagai salah satu bentuk komunikasi aktif antara kita denganNya. Bahkan, ketika kita mendirikan shalat, Allah langsung membalas bacaan-bacaan shalat kita. Ini maknanya, kita sedang mengambil kekuatan dari langit. Untuk apa? Agar kita kuat ketika menjalankan amanah di muka bumi sebagai khalifah, untuk menebarkan rahmat Islam bagi semesta. Hal ini pula yang menjadi alasan diwajibkannya qiyamullail kepada Rasulullah. Karena dakwah adalah tugas berat yang hanya bisa dipanggul oleh mereka yang baik kualitas hubungannya dengan Allah.
Lebih lanjut, shalat merupakan pencegah dari perbutan keji dan munkar. Kedua faktor ini merupakan efek mujarab shalat yang dimensinya ada pada kehidupan kita dalam bermasyarakat. Dengan semakin banyaknya mushollin yang benar shalatnya, insya Allah kemunkaran dan kekejian yang kerap kali terjadi akan bisa diminimalisir bahkan dihilangkan sama sekali. Tentu, ini jalan panjang yang terjal. Tapi dengan ijin Allah, semuanya mungkin untuk terjadi.
Selanjutnya, zakat. Dimensi sosial dari ibadah ini sangatlah luas. Apalagi, zakat terkait erat dengan aspek ekonomi yang tdak lepas dari sandang, pangan dan papan. Jika zakat sudah dikelola secara pofesional sesuai dengan apa yang terjadi di zaman nabi, maka kemiskinan sepertinya mustahil ada. Bukankah, Umar bin Abdul Aziz sudah membuktikan? Hanya dengan menjadi "Presiden" selama 2,5 tahun, beliau berhasil menghilangkan mustahik (penerima zakat) di wilayah pemerintahannya kala itu.
Kedua, berbakti kepada orang tua. Perintah berbakti kepada orang tua, dalam banyak ayat disandingkan dengan larangan untuk berlaku syirik kepada Allah Subhanahu wa Ta’alaa. Hal ini merupakan bukti bahwa berbakti kepada kedua orang tua menduduki peringkat yang tinggi dalam proses penghambaan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’alaa. Bahkan, dalam sebuah hadits disebutkan bahwa ridho orang tua menjadi salah satu sebab ridho Allah Subhanahu wa Ta’alaa kepada kita, dan murkanya orang tua merupakan sebab murkanya Allah Subhanahu wa Ta’alaa.
Berbakti kepada orang tua juga bisa menjadi indikasi keberkahan seseorang ataupun masyarakat secara umum. Karena mustahi jika seseorang bisa menghormati orang lain ketika terhadap orang tuanya sendiri saja tidak berbakti. Kemudian, dalam banyak ajaran, Rasulullah melalui sunnah memotivasi kita untuk menjadikan amal ini sebagai salah satu kunci sukses dunia dan tiket untuk masuk ke dalam surga. Misalnya, melalui hadits bahwa surga ada di telapak kaki ibu, ataupun kisah-kisah lain yang menginspirasi agar umatnya semakin berbakti kepada ibu bapaknya.
Hal ini semakin dilengkapi dengan banyak bukti bahwa mereka yang durhaka, akan disegerakan siksanya di dunia, sebelum siksa abadi di akhirat kelak. Bagi kita seorang anak, motivasi untuk berbakti, sejatinya adalah timbal balik, konsekuensi. Jika misalnya saat ini kita berbakti, maka kelak, anak-anak kita akan lebih menuruti perintah kita. Pun, jika saat ini, misalnya, seorang anak durhaka, maka sudah menjadi jaminan, bahwa kelak anak-anaknya, akan melakukan sikap serupa dengan sikapnya kepada orang tua.
Tentu, konsep berbakti hanya pada perintah ketaatan. Jika misalnya perintah orang tua berkebalikan dengan perintah Allah Subhanahu wa Ta’alaa dan RasulNya, maka sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk menolak perintah itu. Namun, harus tetap menggunakan sikap santun, dan tetap menghormati keduanya sebagai orang tua yang telah melahirkan dan merawat kita hingga dewasa.
Ketiga, tawadhu’. Sikap ini adalah antitesis dari sikap sombong. Di mana sombong merupakan sifat Allah Subhanahu wa Ta’alaa yang haram ditiru oleh manusia. Sombong bukan bermakna mengenakan pakaian bagus dan kendaraan yang nyaman. Karena Allah Subhanahu wa Ta’alaa juga mencintai keindahan. Sikap ini lebih pada adanya sikap menolak kebenaran dari orang lain dan merasa menjadi orang yang paling benar.
Sedangkan tawadhu’ yang merupakan kunci keberkahan merupakan sikap merasa rendah hati, bahwa kita tak selalu benar sementara orang lain bisa jadi lebih banyak baiknya dari diri kita. Sikap ini, memicu masing-masing kita untuk lebih menghormati yang lebih tua, menyayangi yang muda dan bersikap santun terhadap sebaya.
Ketiga kunci ini, sudah dijelaskan dengan detail dalam surah Maryam ayat 31-32. Bahwa Allah Subhanahu wa Ta’alaa menjadikan Nabi Isa sebagai pembawa keberkahan di manapun beliau berada, yakni orang yang selalu mendirikan shalat dan membayar zakat serta menasehatkan kepada orang lain untuk melakukan amalan itu, berbakti kepada orang tua, dan tidak berlaku sombong terhadap sesama.
Kunci-kunci ini, sudah terbukti mujarab lantaran sudah dipraktekan oleh Rasulullah dan sahabat-sahabatnya. Jika keberkahan yang kita kehendaki, maka tiga hal inilah kuncinya. Semoga Allah memudahkan kita untuk menjalankannya, dengan sepenuh cinta. Aamiin.[]
Penulis : Pirman
Redaksi Bersamadakwah.com
Sebagai seorang muslim yang mukmin, keberkahan sudah digariskan oleh Allah dan dijelaskan dengan panjang lebar dalam al-Qur’an juga Sunnah Nabi. Sehingga, hanya mereka yang rajin mempelajari keduanyalah yang mengerti persis makna keberkahan dan tidak salah alamat dalam mendapatkannya.
Karena sejatinya, kunci-kunci keberkahan sudah Allah berikan dalam aturan-aturan yang kita lakukan dalam ibadah sehari-hari. Maka, mereka yang bisa meraup keberkahan dalam makna sebenarnya dan sesering mungkin, adalah mereka yang berhasil menjalankan aturan-aturan itu dalam keseharian mereka.
Pertama, mendirikan shalat dan membayar zakat. Sekilas, dua amal shalih ini hanya berdampak pada pribadi. Padahal, jika kita mendalami lebih jauh, kedua ibadah ini, muara sejatinya adalah keshalihan sosial.
Sholat, disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’alaa sebagai salah satu bentuk komunikasi aktif antara kita denganNya. Bahkan, ketika kita mendirikan shalat, Allah langsung membalas bacaan-bacaan shalat kita. Ini maknanya, kita sedang mengambil kekuatan dari langit. Untuk apa? Agar kita kuat ketika menjalankan amanah di muka bumi sebagai khalifah, untuk menebarkan rahmat Islam bagi semesta. Hal ini pula yang menjadi alasan diwajibkannya qiyamullail kepada Rasulullah. Karena dakwah adalah tugas berat yang hanya bisa dipanggul oleh mereka yang baik kualitas hubungannya dengan Allah.
Lebih lanjut, shalat merupakan pencegah dari perbutan keji dan munkar. Kedua faktor ini merupakan efek mujarab shalat yang dimensinya ada pada kehidupan kita dalam bermasyarakat. Dengan semakin banyaknya mushollin yang benar shalatnya, insya Allah kemunkaran dan kekejian yang kerap kali terjadi akan bisa diminimalisir bahkan dihilangkan sama sekali. Tentu, ini jalan panjang yang terjal. Tapi dengan ijin Allah, semuanya mungkin untuk terjadi.
Selanjutnya, zakat. Dimensi sosial dari ibadah ini sangatlah luas. Apalagi, zakat terkait erat dengan aspek ekonomi yang tdak lepas dari sandang, pangan dan papan. Jika zakat sudah dikelola secara pofesional sesuai dengan apa yang terjadi di zaman nabi, maka kemiskinan sepertinya mustahil ada. Bukankah, Umar bin Abdul Aziz sudah membuktikan? Hanya dengan menjadi "Presiden" selama 2,5 tahun, beliau berhasil menghilangkan mustahik (penerima zakat) di wilayah pemerintahannya kala itu.
Kedua, berbakti kepada orang tua. Perintah berbakti kepada orang tua, dalam banyak ayat disandingkan dengan larangan untuk berlaku syirik kepada Allah Subhanahu wa Ta’alaa. Hal ini merupakan bukti bahwa berbakti kepada kedua orang tua menduduki peringkat yang tinggi dalam proses penghambaan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’alaa. Bahkan, dalam sebuah hadits disebutkan bahwa ridho orang tua menjadi salah satu sebab ridho Allah Subhanahu wa Ta’alaa kepada kita, dan murkanya orang tua merupakan sebab murkanya Allah Subhanahu wa Ta’alaa.
Berbakti kepada orang tua juga bisa menjadi indikasi keberkahan seseorang ataupun masyarakat secara umum. Karena mustahi jika seseorang bisa menghormati orang lain ketika terhadap orang tuanya sendiri saja tidak berbakti. Kemudian, dalam banyak ajaran, Rasulullah melalui sunnah memotivasi kita untuk menjadikan amal ini sebagai salah satu kunci sukses dunia dan tiket untuk masuk ke dalam surga. Misalnya, melalui hadits bahwa surga ada di telapak kaki ibu, ataupun kisah-kisah lain yang menginspirasi agar umatnya semakin berbakti kepada ibu bapaknya.
Hal ini semakin dilengkapi dengan banyak bukti bahwa mereka yang durhaka, akan disegerakan siksanya di dunia, sebelum siksa abadi di akhirat kelak. Bagi kita seorang anak, motivasi untuk berbakti, sejatinya adalah timbal balik, konsekuensi. Jika misalnya saat ini kita berbakti, maka kelak, anak-anak kita akan lebih menuruti perintah kita. Pun, jika saat ini, misalnya, seorang anak durhaka, maka sudah menjadi jaminan, bahwa kelak anak-anaknya, akan melakukan sikap serupa dengan sikapnya kepada orang tua.
Tentu, konsep berbakti hanya pada perintah ketaatan. Jika misalnya perintah orang tua berkebalikan dengan perintah Allah Subhanahu wa Ta’alaa dan RasulNya, maka sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk menolak perintah itu. Namun, harus tetap menggunakan sikap santun, dan tetap menghormati keduanya sebagai orang tua yang telah melahirkan dan merawat kita hingga dewasa.
Ketiga, tawadhu’. Sikap ini adalah antitesis dari sikap sombong. Di mana sombong merupakan sifat Allah Subhanahu wa Ta’alaa yang haram ditiru oleh manusia. Sombong bukan bermakna mengenakan pakaian bagus dan kendaraan yang nyaman. Karena Allah Subhanahu wa Ta’alaa juga mencintai keindahan. Sikap ini lebih pada adanya sikap menolak kebenaran dari orang lain dan merasa menjadi orang yang paling benar.
Sedangkan tawadhu’ yang merupakan kunci keberkahan merupakan sikap merasa rendah hati, bahwa kita tak selalu benar sementara orang lain bisa jadi lebih banyak baiknya dari diri kita. Sikap ini, memicu masing-masing kita untuk lebih menghormati yang lebih tua, menyayangi yang muda dan bersikap santun terhadap sebaya.
Ketiga kunci ini, sudah dijelaskan dengan detail dalam surah Maryam ayat 31-32. Bahwa Allah Subhanahu wa Ta’alaa menjadikan Nabi Isa sebagai pembawa keberkahan di manapun beliau berada, yakni orang yang selalu mendirikan shalat dan membayar zakat serta menasehatkan kepada orang lain untuk melakukan amalan itu, berbakti kepada orang tua, dan tidak berlaku sombong terhadap sesama.
Kunci-kunci ini, sudah terbukti mujarab lantaran sudah dipraktekan oleh Rasulullah dan sahabat-sahabatnya. Jika keberkahan yang kita kehendaki, maka tiga hal inilah kuncinya. Semoga Allah memudahkan kita untuk menjalankannya, dengan sepenuh cinta. Aamiin.[]
Penulis : Pirman
Redaksi Bersamadakwah.com