Perubahan hanya bisa diraih jika seseorang berupaya dengan sungguh-sungguh untuk melakukannya. Perubahan tak semudah membalikan telapak t...
Perubahan hanya bisa diraih jika seseorang berupaya dengan sungguh-sungguh untuk melakukannya. Perubahan tak semudah membalikan telapak tangan atau sim salabim dalam sebuah pertunjukan sulap. Itulah mengapa, Allah mengingatkan bahwa Dia tidak akan mengubah nasib sebuah kaum hingga kaum tersebut berupaya untuk mengubah dirinya sendiri.
Untuk melakukan perubahan itu, seringkali dibutuhkan sikap berani dan keluar dari kaidah keumuman. Sikap berani inilah yang akan membuat seseorang melakukan sesuatu yang lebih dari selainnya. Mereka bukan tidak berpikir, tetapi menyederhanakan pikir, kemudian bergerak dan terus menerus berpikir untuk di sepanjang geraknya, untuk menyempurnakan perubahan yang telah menjadi mimpi di setiap jenak kehidupannya.
Tersebutlah tiga orang sufi yang tengah berkelana mencari dan mengumpulkan kebenaran. Hingga sampailah di ujung siang. Mereka memutuskan untuk beristirahat di sebuah gua yang mereka temukan. Tepat ketika istirahat di gua tersebut, roti yang mereka bawa sebagai bekal hanya tersisa satu potong.
Alhasil, sebelum menutup mata, mereka melakukan musyawarah. Dalam pembahasan itu, mereka mencari ide tentang siapakah yang paling berhak untuk memakan sisa satu potong roti tersebut.
Aneka usul disampaikan, banyak ide dibicarakan. Hingga akhirnya, ketiganya menemukan satu solusi yang mereka anggap paling jitu. Satu diantara mereka menyampaikan usul yang kemudian diamini oleh kedua sufi lainnya, “Bagaimana kalau kita tidur terlebih dahulu. Besok, kita tentukan siapa yang paling berhak memakan roti. Kriterianya, yang berhak memakan roti adalah orang yang berhasil mendapatkan mimpi paling bagus, dan disepakati oleh kita semua bahwa mimpi itu benar-benar bagus.”
Malam menjelang, ketiganya beranjak ke pembaringan yang telah mereka siapkan sebelumnya. Dalam jenak, lantaran lelah yang mendominasi, merekapun memejamkan mata dengan optimisme yang penuh bahwa dalam tidurnya, masing-masing mereka akan mendapatkan mimpi yang terbaik.
Hingga akhirnya, fajar menyingsing. Subuh tertunaikan dengan sempurna, dan pagi mulai menyapa. Dua dari sufi itu tersenyum sumringah lantaran malam tadi mendapatkan mimpi terbaik versi mereka. Dalam benak masing-masing, mereka meyakini bahwa merekalah yang kelak berhak untuk memakan satu potong roti tersisa.
Sufi pertama berujar, bangga, “Berdasarkan mimpi yang kuperoleh, sepertinya diriku yang paling berhak memakan roti tersebut.” Ucapnya gagah memulai bercerita. “Semalam, aku bermimpi menjadi Raja. Raja Adil yang dicintai rakyat. Banyak orang yang mendatangi kerajaanku guna meminta bantuan.” Ia melanjutkan dengan dada terbusung.
“Dari mimpi itu, aku menyimpulkan bahwa orang yang berhak memakan roti adalah aku. Karena kelak, aku akan ditakdirkan menjadi Raja. Sehingga, dengan memakan roti tersebut aku akan tetap hidup hingga mimpiku menjadi kenyataan.” Pungkasnya, satu sufi yang mendengarkan tetap dalam bingungnya, sedangkan sufi yang lain hanya tersenyum tipis, memicingkan mata.
Sufi yang memicingkan mata mengambil giliran cerita berikutnya, “Tunggu sebentar, Kawan! Jangan bahagia terlebih dahulu. Aku bermimpi lebih baik dari mimpi yang kau dapatkan semalam.” Sufi pertama sedikit melirik, seraya memperhatikan dalam penasaran. “Aku bermimpi, bahwa kelak aku akan menjadi seorang ‘Alim. Banyak orang yang datang kepadaku untuk meminta nasehat. Termasuk, para Raja-raja besar saling mendatangiku meminta pendapat, saran dan juga petuah.” Lanjutnya, semakin pongah. Dan sufi pertama semakin ciut nyalinya.
“Oleh karena itu, akulah yang paling berhak untuk memakan roti tersebut. Agar aku tetap hidup, karena banyak orang yang menunggu nasehatku. Kelak, ketika aku telah menjadi seorang ‘Alim.” Pungkasnya.
Ketiganyapun saling memandang, dan kemudian memberikan isyarat kepada sufi ketiga yang masih merasa kebingungan. Mau tidak mau, ia pu angkat bicara, “Kawan, sejatinya aku merasa malu. Karena semalam, aku tidak bermimpi.” Kedua sufi pertama langsung tersenyum bangga. Karena, satu pesaing telah gugur dari medan laga lantaran tidak bermimpi.
“Karena lapar, aku tidak bisa tidur. Hingga akhirnya, terbetiklah sebuah ide. Ya, aku berfikir bahwa dengan memakan roti, akan hilanglah laparku. Dan, aku akan bisa tidur nyenyak malam itu.” Kedua sufi yang awalnya sumringah, kini menjadi panik.
“Maka, kudatangilah tempat penyimpanan roti. Ketika kulihat kalian berdua telah lelap dalam mimpi, aku bersegera memakan roti tersebut hingga habis. Selepas itu, aku menuju pembaringan. Lantaran terlalu kenyang, aku tidur sangat pulas sehingga tidak bermimpi apapun.” Lanjutnya datar, menyudahi kisah.
Sahabat, begitulah. Kisah ini memberikan pelajaran kepada kita. Bahwa seringkali, kita harus keluar dari kaidah keumuman jika keberhasilan yang kita harapkan. Tentu, keluar dari kaidah keumuman ini tidak lantas melanggar undang-undang Allah. Karena peraturanNya adalah yang terbaik.
Dibutuhkan sikap berani, agar kita bisa terus bertahan dan berubah menjadi lebih baik. Dari kisah ini, kita juga mengerti. Bahwa tindakan, lebih utama dari ucapan. Apalagi, dengan sekedar mimpi. Dua sufi yang memilih tidur, maka dia masih memelihara laparnya. Sedangkan sufi ketiga, yang berani menentang keumuman, maka dia berada dalam kenyang. Dan, tak perlu berbohong tentang mimpi-mimpinya itu. Karena, kita tidak bisa memastikan, apakah kedua sufi yang bermimpi itu, benar mimpinya atau hanya sekedar berbohong. [Pirman]
Untuk melakukan perubahan itu, seringkali dibutuhkan sikap berani dan keluar dari kaidah keumuman. Sikap berani inilah yang akan membuat seseorang melakukan sesuatu yang lebih dari selainnya. Mereka bukan tidak berpikir, tetapi menyederhanakan pikir, kemudian bergerak dan terus menerus berpikir untuk di sepanjang geraknya, untuk menyempurnakan perubahan yang telah menjadi mimpi di setiap jenak kehidupannya.
Tersebutlah tiga orang sufi yang tengah berkelana mencari dan mengumpulkan kebenaran. Hingga sampailah di ujung siang. Mereka memutuskan untuk beristirahat di sebuah gua yang mereka temukan. Tepat ketika istirahat di gua tersebut, roti yang mereka bawa sebagai bekal hanya tersisa satu potong.
Alhasil, sebelum menutup mata, mereka melakukan musyawarah. Dalam pembahasan itu, mereka mencari ide tentang siapakah yang paling berhak untuk memakan sisa satu potong roti tersebut.
Aneka usul disampaikan, banyak ide dibicarakan. Hingga akhirnya, ketiganya menemukan satu solusi yang mereka anggap paling jitu. Satu diantara mereka menyampaikan usul yang kemudian diamini oleh kedua sufi lainnya, “Bagaimana kalau kita tidur terlebih dahulu. Besok, kita tentukan siapa yang paling berhak memakan roti. Kriterianya, yang berhak memakan roti adalah orang yang berhasil mendapatkan mimpi paling bagus, dan disepakati oleh kita semua bahwa mimpi itu benar-benar bagus.”
Malam menjelang, ketiganya beranjak ke pembaringan yang telah mereka siapkan sebelumnya. Dalam jenak, lantaran lelah yang mendominasi, merekapun memejamkan mata dengan optimisme yang penuh bahwa dalam tidurnya, masing-masing mereka akan mendapatkan mimpi yang terbaik.
Hingga akhirnya, fajar menyingsing. Subuh tertunaikan dengan sempurna, dan pagi mulai menyapa. Dua dari sufi itu tersenyum sumringah lantaran malam tadi mendapatkan mimpi terbaik versi mereka. Dalam benak masing-masing, mereka meyakini bahwa merekalah yang kelak berhak untuk memakan satu potong roti tersisa.
Sufi pertama berujar, bangga, “Berdasarkan mimpi yang kuperoleh, sepertinya diriku yang paling berhak memakan roti tersebut.” Ucapnya gagah memulai bercerita. “Semalam, aku bermimpi menjadi Raja. Raja Adil yang dicintai rakyat. Banyak orang yang mendatangi kerajaanku guna meminta bantuan.” Ia melanjutkan dengan dada terbusung.
“Dari mimpi itu, aku menyimpulkan bahwa orang yang berhak memakan roti adalah aku. Karena kelak, aku akan ditakdirkan menjadi Raja. Sehingga, dengan memakan roti tersebut aku akan tetap hidup hingga mimpiku menjadi kenyataan.” Pungkasnya, satu sufi yang mendengarkan tetap dalam bingungnya, sedangkan sufi yang lain hanya tersenyum tipis, memicingkan mata.
Sufi yang memicingkan mata mengambil giliran cerita berikutnya, “Tunggu sebentar, Kawan! Jangan bahagia terlebih dahulu. Aku bermimpi lebih baik dari mimpi yang kau dapatkan semalam.” Sufi pertama sedikit melirik, seraya memperhatikan dalam penasaran. “Aku bermimpi, bahwa kelak aku akan menjadi seorang ‘Alim. Banyak orang yang datang kepadaku untuk meminta nasehat. Termasuk, para Raja-raja besar saling mendatangiku meminta pendapat, saran dan juga petuah.” Lanjutnya, semakin pongah. Dan sufi pertama semakin ciut nyalinya.
“Oleh karena itu, akulah yang paling berhak untuk memakan roti tersebut. Agar aku tetap hidup, karena banyak orang yang menunggu nasehatku. Kelak, ketika aku telah menjadi seorang ‘Alim.” Pungkasnya.
Ketiganyapun saling memandang, dan kemudian memberikan isyarat kepada sufi ketiga yang masih merasa kebingungan. Mau tidak mau, ia pu angkat bicara, “Kawan, sejatinya aku merasa malu. Karena semalam, aku tidak bermimpi.” Kedua sufi pertama langsung tersenyum bangga. Karena, satu pesaing telah gugur dari medan laga lantaran tidak bermimpi.
“Karena lapar, aku tidak bisa tidur. Hingga akhirnya, terbetiklah sebuah ide. Ya, aku berfikir bahwa dengan memakan roti, akan hilanglah laparku. Dan, aku akan bisa tidur nyenyak malam itu.” Kedua sufi yang awalnya sumringah, kini menjadi panik.
“Maka, kudatangilah tempat penyimpanan roti. Ketika kulihat kalian berdua telah lelap dalam mimpi, aku bersegera memakan roti tersebut hingga habis. Selepas itu, aku menuju pembaringan. Lantaran terlalu kenyang, aku tidur sangat pulas sehingga tidak bermimpi apapun.” Lanjutnya datar, menyudahi kisah.
Sahabat, begitulah. Kisah ini memberikan pelajaran kepada kita. Bahwa seringkali, kita harus keluar dari kaidah keumuman jika keberhasilan yang kita harapkan. Tentu, keluar dari kaidah keumuman ini tidak lantas melanggar undang-undang Allah. Karena peraturanNya adalah yang terbaik.
Dibutuhkan sikap berani, agar kita bisa terus bertahan dan berubah menjadi lebih baik. Dari kisah ini, kita juga mengerti. Bahwa tindakan, lebih utama dari ucapan. Apalagi, dengan sekedar mimpi. Dua sufi yang memilih tidur, maka dia masih memelihara laparnya. Sedangkan sufi ketiga, yang berani menentang keumuman, maka dia berada dalam kenyang. Dan, tak perlu berbohong tentang mimpi-mimpinya itu. Karena, kita tidak bisa memastikan, apakah kedua sufi yang bermimpi itu, benar mimpinya atau hanya sekedar berbohong. [Pirman]