Hidup, keseluruhannya adalah ujian. Semua aspek dan kejadiannya, disukai ataupun tidak, adalah ragkaian ujian yang Allah bentangkan sedar...
Hidup, keseluruhannya adalah ujian. Semua aspek dan kejadiannya, disukai ataupun tidak, adalah ragkaian ujian yang Allah bentangkan sedari lahir hingga kelak beristirahat sementara di liang lahat. Selepas itu, ketika seluruh pengantar jenazah pulang ke kediamannya masing-masing, ketika kita kembali dihidupkan di alam yang berbeda, hidup selepas mati merupakan rangkaian pembalasan atas aneka amalan kehidupan kita ketika di dunia. Semunya. Besar kecil, sedikit banyak, baik buruk, akan dimintai pertanggungjawaban. Di sinilah, keadilan Allah ditunjukkan.
Begitupun, dalam setiap fase dalam kehidupan kita, tak terkecuali dengan menikah. Menikah, adalah ujian besar yang Allah berikan kepada siapa saja yang hidup, terlebih lagi bagi mereka yang muslim, dan lebih-lebih lagi bagi mereka yang mukmin. Keseluruhan rangkaian itu, mulai dari penantian, ketika memilih, memulai kehidupan baru, memiliki anak, dan hingga usia senja menyapa, dalam bingkai pernikahan, semua itu adalah ujian.
Ujian ketika menunggu jodoh menyapa, adalah berat. Apalagi, bagi mereka yang tidak berpegangan pada tali agama Allah. Bisa jadi, dalam masa penantian itu, banyak yang terjerumus dalam kubangan maksiat dan dosa. Baik hubungan tanpa status, pacaran jahiliyah, ataupun zina yang secara terang-terangan sudah mulai menjadi kebiasaan di negeri ini.
Bagi mereka yang berhasil menjaga kesucian pun, ketika masa menunggunya teramat lama, tentu ini bukan hal yang mudah. Apalagi, bagi saudara-saudara perempuan kita. Ia harus sabar di atas sabar. Bukan hanya ketika melihat teman sebayanya atau adik tingkatnya yang sudah menikah mempunyai suami dan momongan, tetapi juga dalam menjawab kegalauan orang tua dan keluarga mereka, juga sahabat-sahabat lain yang kadang, bahkan seringkali bertanya dengan bahasa penghakiman. Sehingga, saudara kita ini terbayangi dengan identitas buruk macam perawan tak laku, perawan tua, dan seterusnya.
Mereka lupa, bahwa Allah sudah berkali-kali mengingatkan, kemuliaan tidak terletak pada status menikah atau perawan tetapi ada pada taqwa. Mereka juga lupa, bahwa tak ada jaminan yang sudah menikah pasti lebih baik dari yang diuji dengan belum bertemunya jodoh. Apalagi, para pendahulu umat ini, ada juga yang mati dalam keadaan belum menikah. Tapi mereka berhasil meledakkan potensi sehingga bermanfaat untuk umat masanya, hingga masa kita saat ini. Bukankah Sayyid Quthb, Ibnu Taimiyah dan ulama’-ulama’ lain dalam keadaan belum menikah ketika ajal menjemputnya?
Ketika misalnya, masa menanti itu berakhir dan masing-masing kita bertemu dengan jodoh idaman, apakah ujian serta merta berakhir? Apakah ketika diri mengazamkan untuk menikah, ujian kehidupan akan ditarik dari proses kehidupan kita setelahnya? Justru, setelah mengucap ijab qobul pernikahan, ujian kehidupan yang sesungguhnya baru dimulai. Keberhasilannya ditentukan oleh seberapa lurusnya niat dalam menikah dan bagaimana komitmen keduanya dalam menjalani kehidupan rumah tangga sesuai dengan ajaran Allah dan RasulNya.
Setelah menikah, ujian semakin berat. Bukan hanya dari orang luar, tapi juga dari orang-orang terdekat yang kita cintai. Dari suami yang kurang amanah, misalnya. Atau, istri yang kurang sabar dan kurang qona’ah dalam menerima nafkah dari suami. Atau misalnya, dari mertua yang sejatinya kurang tertarik dengan pernikahan kita, lantaran berbagai alasan. Atau, bisa jadi, dari keluarga kita yang mungkin sudah memiliki calon yang hendak dijodohkan dengan kita.
Ujian-ujian itu, bisa juga berasal dari kecemburuan masing-masing. Baik terhadap teman kita semasa sekolah atau kuliah dulu, teman kerja yang mungkin saja memang hendak memancing di air keruh, atau bisa jadi dari tetangga-tetangga kita yang berdekatan secara fisik dan tiap hari berhubungan.
Ujian dalam pernikahan ini, datang tanpa diminta. Dan, kadang, bahkan seringkali, ujian ini datangnya berdekatan dengan kegembiraan yang baru saja kita alami. Anehnya, ujian ini, tak selalu bermula dari sesuatu yang besar. Bisa jadi, bentuknya sangat kecil, namun tidak disikapi dengan bijak, hingga menggelinding bak bola salju dan kemudian memicu perceraian di antara suami istri. Begitulah, pernikahan yang berisi bunga-bunga cinta, juga diiringi duri. Dan kita, harus melewati duri itu untuk bisa merasakan bunga cinta dengan sumringah.
Ujian ini bisa berlanjut jika dalam bilangan tahun, kedua pasangan belum juga dikaruniai anak. Lalu, timbulah spekulasi. Misalnya, suami menuduh bahwa istrilah yang mandul. Lantas, istri menimpali bahwa suamilah yang tak subur. Ujian ini, bisa juga berasal dari pihak ketiga. Yang kemudian meniup bara api, bahwa suami harus menikah lagi, demi melangsungkan keturunan, dan prasangka-prasangka sejenis lainnya.
Jika demikian, berarti ujian akan usai ketika dalam pernikahan telah hadir anak-anak penyejuk jiwa? Tidak! Sekali-kali tidak! Bahkan, banyak pasangan yang memilih jalan cerai ketika mereka sudah memiliki satu, dua, tiga, empat anak bahkan lebih. Bahkan, ketika anak hadir, namun tak bisa menyikapinya sebagai amanah, maka anak adalah ujian lain yang sama sekali di luar kehendak dan kemampuan kita.
Masih ingatkah kita dengan ujian yang dialami oleh Nabi Nuh? Anak kesayangannya, justru menjadi penentang dakwah. Bukankah itu adalah ujian yang sesungguhnya?
Maka, sampai kapanpun, kita akan terus diberikan ujian, hingga kemudian usia pernikahan kita menginjak masa 25 atau 50 tahun, misalnya. Karena ujian, adalah sebuah sarana yang Allah berikan untuk mengetahui kualitas hidup kita. Apakah kita benar-benar beriman atau hanya mengaku-ngaku beriman saja? Semoga, Allah kuatkan niat kita untuk terus berjalan di jalanNya. Semoga Allah kuatkan ikatan pernikahan kita hingga maut menjemput. Dan, semoga Allah segerakan jodoh bagi sahabat-sahabat kita yang tengah menanti dalam taat. Aamiin. []
Penulis : Pirman
Redaksi Bersamadakwah.com
Begitupun, dalam setiap fase dalam kehidupan kita, tak terkecuali dengan menikah. Menikah, adalah ujian besar yang Allah berikan kepada siapa saja yang hidup, terlebih lagi bagi mereka yang muslim, dan lebih-lebih lagi bagi mereka yang mukmin. Keseluruhan rangkaian itu, mulai dari penantian, ketika memilih, memulai kehidupan baru, memiliki anak, dan hingga usia senja menyapa, dalam bingkai pernikahan, semua itu adalah ujian.
Ujian ketika menunggu jodoh menyapa, adalah berat. Apalagi, bagi mereka yang tidak berpegangan pada tali agama Allah. Bisa jadi, dalam masa penantian itu, banyak yang terjerumus dalam kubangan maksiat dan dosa. Baik hubungan tanpa status, pacaran jahiliyah, ataupun zina yang secara terang-terangan sudah mulai menjadi kebiasaan di negeri ini.
Bagi mereka yang berhasil menjaga kesucian pun, ketika masa menunggunya teramat lama, tentu ini bukan hal yang mudah. Apalagi, bagi saudara-saudara perempuan kita. Ia harus sabar di atas sabar. Bukan hanya ketika melihat teman sebayanya atau adik tingkatnya yang sudah menikah mempunyai suami dan momongan, tetapi juga dalam menjawab kegalauan orang tua dan keluarga mereka, juga sahabat-sahabat lain yang kadang, bahkan seringkali bertanya dengan bahasa penghakiman. Sehingga, saudara kita ini terbayangi dengan identitas buruk macam perawan tak laku, perawan tua, dan seterusnya.
Mereka lupa, bahwa Allah sudah berkali-kali mengingatkan, kemuliaan tidak terletak pada status menikah atau perawan tetapi ada pada taqwa. Mereka juga lupa, bahwa tak ada jaminan yang sudah menikah pasti lebih baik dari yang diuji dengan belum bertemunya jodoh. Apalagi, para pendahulu umat ini, ada juga yang mati dalam keadaan belum menikah. Tapi mereka berhasil meledakkan potensi sehingga bermanfaat untuk umat masanya, hingga masa kita saat ini. Bukankah Sayyid Quthb, Ibnu Taimiyah dan ulama’-ulama’ lain dalam keadaan belum menikah ketika ajal menjemputnya?
Ketika misalnya, masa menanti itu berakhir dan masing-masing kita bertemu dengan jodoh idaman, apakah ujian serta merta berakhir? Apakah ketika diri mengazamkan untuk menikah, ujian kehidupan akan ditarik dari proses kehidupan kita setelahnya? Justru, setelah mengucap ijab qobul pernikahan, ujian kehidupan yang sesungguhnya baru dimulai. Keberhasilannya ditentukan oleh seberapa lurusnya niat dalam menikah dan bagaimana komitmen keduanya dalam menjalani kehidupan rumah tangga sesuai dengan ajaran Allah dan RasulNya.
Setelah menikah, ujian semakin berat. Bukan hanya dari orang luar, tapi juga dari orang-orang terdekat yang kita cintai. Dari suami yang kurang amanah, misalnya. Atau, istri yang kurang sabar dan kurang qona’ah dalam menerima nafkah dari suami. Atau misalnya, dari mertua yang sejatinya kurang tertarik dengan pernikahan kita, lantaran berbagai alasan. Atau, bisa jadi, dari keluarga kita yang mungkin sudah memiliki calon yang hendak dijodohkan dengan kita.
Ujian-ujian itu, bisa juga berasal dari kecemburuan masing-masing. Baik terhadap teman kita semasa sekolah atau kuliah dulu, teman kerja yang mungkin saja memang hendak memancing di air keruh, atau bisa jadi dari tetangga-tetangga kita yang berdekatan secara fisik dan tiap hari berhubungan.
Ujian dalam pernikahan ini, datang tanpa diminta. Dan, kadang, bahkan seringkali, ujian ini datangnya berdekatan dengan kegembiraan yang baru saja kita alami. Anehnya, ujian ini, tak selalu bermula dari sesuatu yang besar. Bisa jadi, bentuknya sangat kecil, namun tidak disikapi dengan bijak, hingga menggelinding bak bola salju dan kemudian memicu perceraian di antara suami istri. Begitulah, pernikahan yang berisi bunga-bunga cinta, juga diiringi duri. Dan kita, harus melewati duri itu untuk bisa merasakan bunga cinta dengan sumringah.
Ujian ini bisa berlanjut jika dalam bilangan tahun, kedua pasangan belum juga dikaruniai anak. Lalu, timbulah spekulasi. Misalnya, suami menuduh bahwa istrilah yang mandul. Lantas, istri menimpali bahwa suamilah yang tak subur. Ujian ini, bisa juga berasal dari pihak ketiga. Yang kemudian meniup bara api, bahwa suami harus menikah lagi, demi melangsungkan keturunan, dan prasangka-prasangka sejenis lainnya.
Jika demikian, berarti ujian akan usai ketika dalam pernikahan telah hadir anak-anak penyejuk jiwa? Tidak! Sekali-kali tidak! Bahkan, banyak pasangan yang memilih jalan cerai ketika mereka sudah memiliki satu, dua, tiga, empat anak bahkan lebih. Bahkan, ketika anak hadir, namun tak bisa menyikapinya sebagai amanah, maka anak adalah ujian lain yang sama sekali di luar kehendak dan kemampuan kita.
Masih ingatkah kita dengan ujian yang dialami oleh Nabi Nuh? Anak kesayangannya, justru menjadi penentang dakwah. Bukankah itu adalah ujian yang sesungguhnya?
Maka, sampai kapanpun, kita akan terus diberikan ujian, hingga kemudian usia pernikahan kita menginjak masa 25 atau 50 tahun, misalnya. Karena ujian, adalah sebuah sarana yang Allah berikan untuk mengetahui kualitas hidup kita. Apakah kita benar-benar beriman atau hanya mengaku-ngaku beriman saja? Semoga, Allah kuatkan niat kita untuk terus berjalan di jalanNya. Semoga Allah kuatkan ikatan pernikahan kita hingga maut menjemput. Dan, semoga Allah segerakan jodoh bagi sahabat-sahabat kita yang tengah menanti dalam taat. Aamiin. []
Penulis : Pirman
Redaksi Bersamadakwah.com