Setelah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengumumkan tiga besar Capres hasil pemilu internal, Indosiar mengundang ketiga Capres tersebut (...
Setelah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengumumkan tiga besar Capres hasil pemilu internal, Indosiar mengundang ketiga Capres tersebut (Hidayat Nur Wahid, Anis Matta dan Ahmad Heryawan) dalam program Interupsi. Berikut ini transkrip diaog Tina Talisa bersama ketiga kandidat Capres dari PKS tersebut:
Tina Talisa : Siapkah kita (rakyat Indonesia) dengan capres yang terbuka bahwa ia memiliki istri lebih dari satu?
Anis Matta : Pertama, kita harus menempatkan isu poligami ini pada hukum agama yang tidak bisa ditolak (nafikan) atau dinegasikan dengan hukum apapun. Kedua, isu poligami ini juga merupakan pilihan pribadi. Ketiga, masyarakat kita sekarang ini, bisa membedakan antara public life dan private life. Apa yang menjadi pilihan pribadi anda, sepanjang tidak mengganggu public life anda (pencapaian hidup anda sebagai pejabat publik), maka hal itu tidak akan menjadi masalah.
Waktu pilgub Jawa Tengah kemarin, kita menginsert satu pertanyaan dalam survey yang kita lakukan, Apa yang menurut anda merupakan diability (kelemahan) bagi seorang kandidat Gubernur? Ketika kami memasukkan poligami sebagai salah satu jenis diability, hasilnya ternyata 0,5%. Artinya, sekarang ini, masayarakat tidak menganggap poligami sebagai salah satu isu penting.
Saya mau cerita sedikit. Waktu Bung Karno pertama kali menjadi Presiden, beliau justru menikah-menikahnya lagi setelah menjadi Presiden. Tapi yang unik, Bung Hatta itu masih bujang waktu menjadi Wakil Presiden. Bung Hatta ini, kalau tidak salah, menikah bulan November 1945. Jadi, waktu beliau dilantik menjadi Wakil Presiden, beliau belum mempunyai istri. Artinya, varian-varian private life seperti ini, sudah banyak terjadi dalam kehidupan para pemimpin politik di negeri kita. Dan, sejauh ini, menurut saya, orang-orang tidak menganggap itu penting selama pencapaian dalam public lifenya itu bagus.
Ahmad Heryawan : Saya sepakat bahwa hukum agama di atas hukum-hukum yang lain. Pada saat yang bersamaan, ini juga pilihan pribadi. Namun, saya melihat, poligami ini ada pengaruhnya (bagi masyarakat dalam menilai calon pemimpinnya -red) sehingga banyak pihak yang meliput isu ini. Contohnya, waktu di pilgub Jawa Barat, salah satu isu yang digunakan oleh pembuat isu untuk menjatuhkan (black campaign) terhadap pasangan Ahmad Heryawan - Dedy Mizwar, adalah isu poligami. Dalam selebaran yang beredar itu, disebutkan bahwa saya (Ahmad Heryawan) memiliki istri 3, bahkan ada yang menyebutkan 4. Padahal hanya satu (tertawa -red). Dari sini, saya menyimpulkan, bahwa menurut pembuat isu, poligami ini memiliki pengaruh dalam menjatuhkan kredibilitas seseorang yang akan maju sebagai calon Gubernur (pemimpin-red). Terkait seberapa besar pengaruh isu tersebut, tentu survey yang bisa membuktikan. Dan faktanya, ketika itu, pasangan Ahmad Heryawan - Dedy Mizwar memenangkan pilgub Jawa Barat.
Hidayat Nur Wahid : Kita sekarang sedang bicara tentang PKS, dan mekanisme pemilihan pemimpin oleh rakyat. Publik, saat ini melihat kami bertiga (Anis Matta, Ahmad Heryawan dan Hidayat Nurwahid- red), sedangkan demokrasi biasanya menganut asas mayoritas, dan mayoritas dari kami bertiga ini adalah tidak berpoligami. (Anis Matta berpoligami, Aher dan HNW tidak berpoligami- red).
Menurut saya, publik jangan dibenturkan bahwa PKS itu seolah-olah identik dengan poligami. Karena, di PKS, tidak ada perintah atau larangan untuk berpoligami karena itu masuk ke dalam pilihan pribadi. Faktanya, mayoritas dari pengurus PKS itu tidak berpoligami.
Sementara itu, sebelum melakukan pilpres, kita akan melakukan pileg dulu. Dan, Pak Anis Matta ini tidak dicalonkan sebagai caleg di dapil manapun. Begitupun dengan Pak Ahmad Heryawan yang sedang menjabat Gubernur Jawa Barat. Jadi, mengapa harus melompat dulu ke pilpres dan seolah-olah membenturkan PKS dengan isu poligami? Padahal dalam pileg besok, saya (Hidayat Nur Wahid) yang maju sebagai caleg tidak melakukan poligami. (bertanya balik, moderator tertawa dan tidak memberikan jawaban -red).
Peggy Melati Sukma : Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh. Selamat malam Pak Anis, Pak Ahmad Heryawan dan Pak Hidayat. Pertama sekali, tentu mohon maaf lahir batin terlebih dahulu. Karena yang akan saya sampaikan mungkin dengan kelimuan agama saya yang rendah, atau mungkin sangat rendah sekali bahkan sangat tak berilmu tentang hal ini. Walaupun misalnya, saya mendudukan diri sebagai wanita dan perempuan biasa isu poligami ini selalu menjadi sulit. Persoalan poligami, selalu dipersepsi sebagai persoalan perempuan. Tadi saya tertarik dengan yang disampaikan oleh Pak Anis mengenai private life dan public life. Saya, sekali lagi, sangat mohon maaf karena ilmunya sangat terbatas. Tapi, kalau tidak salah, seringkali ayat dalam al-Qur’an itu, surah an-Nisaa ayat 3 yang dikutip sebagai ‘izin’ tentang poligami, saya juga mencermati dalam ayat tersebut selalu ada kata adil. Jika dirasa bimbang atau khawatir tidak bisa berlaku adil, maka cukuplah dengan satu. Kepada Pak Anis terutama, karena di sini ada kata bimbang dan kata adil. Kita tentu mengharapkan pemimpin yang tidak bimbang-bimbang terus dalam segala sesuatu. Sehingga keputusan Pak Anis memiliki istri lebih dari satu, ‘mudah-mudahan’ dalam keadaan Pak Anis tak merasa bimbang untuk berlaku adil. Tapi Pak, kata adil sendiri itu termaktub dalam pancasila sila ke lima yaitu keadilan yang ditambahkan dengan kata sosial. Sehingga, saya, sebagai calon rakyat yang akan dipimpin oleh Bapak menjadikan adil sebagai salah satu karakter yang saya lihat pada diri pemimpin saya. Lalu, bagaimana kita bisa meyakini Bapak sebagai pemimpin kami, lalu kami bisa belajar dari implementasi kata adil dari Bapak-bapak sekalian yang kami ambil dari pelajaran private life bapak, karena (maaf) terkait pemimpin ini merupakan bagian dari public life?
Anis Matta : Dalam perspektif fiqh Islam, standar adil itu ada dua. Pertama yang terkait dengan pembagian nafkah. Kedua, yang terkait dengan pembagian hari. Di luar dari itu, misalnya yang menyangkut perasaan, itu tidak ada standarnya. Makanya, al-Qur’an juga menstatement bahwa wa lan tastathi’u wa lan ta’diluu walau haroshtum, kalian tidak bisa berlaku adil walaupun kalian berusaha dalam hal perasaan. Falaa tamiiluu kullal mail, makanya jangan condong ke salah satunya terlalu berat. Fatazaruha kal mu’allaqoh, kalau kamu meninggalkan yang lainnya, maka kamu terombang ambing (an-Nisa 129). Itu kriteria adil. Jadi, kalau keadilan emosional tidak ada standarnya dalam agama.
Tina Talisa : Itu kalau soal poligami, kalau soal keadilan bagi masyarakat, apakah menurut bapak seseorang pemimpin tidak akan bisa membuat semua orang merasa senang?
Anis Matta : Saya kira begini, dalam satu keluarga, besar atau kecil, tidak akan pernah ada keputusan yang bisa menyenangkan semua pihak. Tetapi, anda mesti melihat bahwa di dalam Islam itu ada penghargaan yang tinggi pada kebebasan setiap individu. Makanya di dalam Islam juga, ada hak bagi perempuan. Misalnya, untuk menuntut perceraian jika memang dia merasa tidak puas dengan kehidupan di dalam satu rumah tangga itu, termasuk jika alasannya dia tidak mencintai suaminya. Itu prinsip dasarnya.
Jadi, kita harus bisa membedakan keadilan dalam perspektif legal dan perspektif emosional. Saya sendiri, dulu waktu mau menikah saya berdiskusi dengan istri dan anak-anak saya selama empat tahun. Artinya, saya memberi hak kepada semua anggota keluarga saya yang akan mendapatkan dampak dari keputusan saya ini. Pertama istri, kedua anak-anak, ketiga orang tua saya, dan saudara-saudara saya semuanya. Dan, saya juga melakukan istikharoh, kemudian setelah itu saya bermusyawarah di lingkungan partai.
Hidayat Nur Wahid : Jadi, saya harap, pilihan itu bukan karena poligami atau tidak poligami. Tetapi, pilihan-pilihan itu ada di dalam bentuk jawaban atas pertanyaan : Apakah seseorang itu memenuhi harapan publik terkait dengan kualitas, track record? Pasalnya, sekarang ini banyak yang mendeclare tentang apa yang diharapkan oleh publik terhadap calon Presiden Indonesia mendatang? Baik dari kecerdasan, ketegasan, kejujuran, keberanian, track record yang bersih, dan lain sebagainya. Hal itulah yang seharusnya dijadikan sebagai rujukan dalam menentukan pilihan terhadap calon pemimpin.
Burhanudin Muhtadi : Kita punya dua tokoh referensi, keduanya adalah tokoh nasional. Pertama Soekarno, dua M Natsir. Soekarno adalah figur yang sangat rasional, cenderung liberal dalam menafsirkan agama. Dan, dia pada suatu masa, pernah ‘mengharamkan’ poligami. Tapi secara faktual, justru dia melakukan poligami. Sementara M. Natsir, adalah figur yang dari awal tidak pernah menolak poligami sebagai bagian dari hukum Allah, tapi di sepanjang hidupnya tidak pernah menjalankan poligami.
Nah, yang ingin saya katakan adalah, soal tokoh politik, masing-masing punya public life dan private life. Tetapi sebagai tokoh politik, kadang-kadang, keduanya tidak bisa dipisahkan. Jadi sebagai tokoh politik, seolah-olah tidak memiliki private life. Karena yang private itu, biasanya dikategorikan juga dalam public life. Yang ingin saya katakan, isu poligami, suka atau tidak suka, memiliki pengaruh dalam soal elektoral terutama di kalangan pemilih perempuan. Itu data empiriknya seperti itu.
Contoh misalnya, mungkin untuk seorang tokoh, ketika dia berpoligami tetapi tidak terlalu soft, mungkin implikasinya tidak terlalu kelihatan.
Contoh lain, misalnya ada seorang pengusaha yang membuat poligami award, maka dalam waktu yang tidak lama, usaha makanannya akan bangkrut. Jadi memang, ada hal dimana masyarakat tidak bisa membedakan secara substantif, ini isu dasar terkait dengan pemilu atau tidak. Tapi untuk isu lain yang kadang kita anggap sebagai isu yang tidak substantif, tetapi ikut mempengaruhi pilihan elektoral.
Tina Talisa :Mari kita bersikap adil terhadap PKS, bukan tetang soal pologami atau tidak. Karena faktanya, Pak Anis Matta (yang berpoligami – red) itu minoritas dalam PKS. Saya ingin bertanya, benar atau tidak sih yang selalu disebut oleh publik bahwa di PKS itu ada faksi Keadilan, ada faksi Kesejahteraan, Pak Aher sepakat atau tidak dengan isu ini?
Ahmad Heryawan : Tidak seperti itu. Meskipun publik mengisukan seperti itu, tapi faktanya tidak demikian. Tentu, saya adalah bagian dari pendiri partai ini, semenjak bernama Partai Keadilan, saya tidak menemukan faksi-faksi itu.
Tina Talisa : Apakah karena Pak Aher tidak masuk dalam dua faksi tersebut?
Ahmad Heryawan : Saya punya keakraban tersendiri dengan teman-teman di PKS, dan memang tidak ada masalah apa-apa. Kecuali yang memang ada rumor dan dibesar-besarkan oleh orang lain di luar partai.
Tina Talisa : Bagaimana menurut Pak Hidayat tentang Faksi-faksi ini?
HNW : Seperti Pak Heryawan ya, saya merupakan salah satu pendiri partai. Kemudian menjadi Presiden Partai Keadilan sampai Presiden Partai Keadilan Sejahtera. Jadi, saya mengerti persis karakter partai ini dengan segala suka-duka dan lika-likunya. Bahwa kemudian dalam partai ada beragam kondisi, ya begitulah realita demokrasi bahkan merupakan realita dalam berislam. Dalam berislam saja, kalau kita merujuk pada fiqih, ada empat madhzhab, misalnya.
Tadi terkait poligami, ada yang ‘ya’ ada pula yang ‘tidak’. Yang penting adalah, kita adalah tetap satu. Saya sering mengatakan bahwa partai ini adalah Partai Keadilan Sejahtera. Bukan Partai Keadilan Dan Kesejahteraan. Jadi, hanya satu. Sehingga, jangan kemudian diisukan bahwa kami ada dua kubu. Jika kemudian ada yang berpendapat boleh menggunakan mobil, kemudian yang lain pakai sepeda, lalu yang lain menggunakan sepeda motor, yang satu tinggal di kota, kemudian lainnya memilih untuk tidak tinggal di kota, saya kira itu merupakan pilihan-pilihan. Yang terpenting adalah, keragaman yang dimiliki oleh PKS, masih merupakan dalam koridor partai. Yang terpenting, apa yang boleh dilakukan, apa yang dilarang, dan seterusnya, masih dalam satu komando yang sama.
Tina Talisa : Pak Anis ini sering disebut sebagai Faksi Sejahtera-nya, sedangkan Pak Hidayat adalah Faksi Keadilan-nya. Ada komentar dari Pak Anis?
Anis Matta: Saya sudah lama memimpin Tim Pemenangan Pemilu di PKS, dan saya mencatat, apa yang sering dipakai oleh kompetitor dalam menyerang (menggembosi) PKS. Salah satunya adalah isu faksi-faksi ini, termasuk juga isu poligami. Terutama ketika Presidennya Pak Tifatul Sembiring, karena beliau juga poligami. Kalau di NU ada isu Wahabi, di Muhammadiyah ada isu pencaplokan asset, dan lain lain. Yang saya catat, dengan ragam serangan-serangan ini, suara kami naik terus, kok. (tersenyum)
Tina Talisa : Tapi, sekarang turun lho pak? Dan, survei terakhir, jangan-jangan PKS tidak lolos Parlementery Treshould?
Anis Matta : Jadi, yang sekarang ini kan survei. Yang saya maksud adalah hasil pemilu. Survei dan hasil pemilu itu dua hal yang berbeda.
Tina Talisa : Jadi, masih percaya diri akan 3 besar?
Anis Matta : Insya Allah. (tertawa kecil dan disambut tepuk tangan hadirin)
Tina Talisa : Ada isu yang beredar, jika PKS yang memimpin, baik kepala daerah, DPR, dan seterusnya, maka semuanya akan di-PKS-kan. Proyek-proyeklah, kepala dinaslah, dan lain-lain. Mungkin Pak Aher dulu, karena bapak adalah Gubernur Jabar?
Aher : Jabar adalah bukti bahwa pemerintahan dilakukan secara profesional. Yang kita angkat sebagai pejabat, baik eselon dua, eselon tiga, dan seterusnya, adalah mereka yang paling profesional. Dan dulu ada isu jika mau menjadi eselon dua harus membayar sekian ratus juta, sekarang semuanya nol rupiah. Bahkan kalau ada berita, dan berita itu benar tentang adanya bayaran (sogokan), saya akan langsung panggil orangnya dan saya pecat hari itu juga. Itulah yang kami lakukan.
Tidak ada seni budaya dilarang, ketika diisukan nanti Maulid Nabi dilarang, justru yang paling banyak membaca al-Barzanji adalah saya, dan yang lain jarang bisa membacanya.
Waktu itu, antara cagub-cagub ini ditanya : Bapak ini katanya anti maulid nabi? Maka, saya jawab : Kalau semua cagub dijejerkan dan siapa yang paling bisa membaca al-Barzanji, dan ternyata hanya saya yang bisa membaca al-Barzanji diantara cagub-cagub yang lain.
Kalau urusan kesejahteraan, boleh dikatakan, PNS yang paling sejahtera adalah PNS Jabar. Mungkin, saingannya DKI Jakarta-lah. Jadi, kalau ada isu, jika PKS berkuasa maka kita tidak akan bisa makan, maka itu bohong besar. Justru, kita ingin menyejahterakan siapapun. Termasuk para PNS dan seluruh masyarakat Jabar. Kalau ada keraguan-raguan, terkait seni budaya dan lain-lain, justru kita ini yang paling sering menghidupkan seni budaya. Itu yang kemudian menjadi bukti. PKS adalah kumpulan masyarakat yang paling nasionalis karena ingin memajukan semua pihak.
Tina Talisa : Kalau melihat bertiga begini, sebenarnya kan kompetitor di dalam. Tapi, kok tidak terlihat ada kompetisi antara bapak-bapak bertiga ini?
Aher : Justru itu uniknya PKS. Adanya silent competition.
Burhanudin Muhtadi : Kalau istilah faksi dalam studi ilmu politik, sebenarnya bermakna netral. Bahkan, di Italia dan Jepang, faksi itu positif. Jadi, dikelola sebagai bagian kelembagaan politik untuk meningkatkan kinerja partai. Dalam istilah agamanya (Islam-red) adalah fastabiqul khoirot (berlomba dalam kebaikan-red). Jadi antara satu faksi dengan faksi yang lain diupayakan untuk saling meningkatkan.
Nah, dalam konteks PKS, sebenarnya dari sisi substansi tidak ada persoalan. Yang berbeda itu pendekatan. Pendekatan, terutama kalau kita kaitkan, PKS ini kan partai yang muncul dari gerakan sosial –tarbiyah namanya- yang ketika bermutasi menjadi partai politik itu ada semacam upaya untuk mensinergikan antara kinerja tarbiyah sebagai gerakan sosial dan partai sebagai hizb (golongan politik). Makanya, pendekatan hizb (partai) yang membutuhkan dinamika elektoral tinggi, butuh negosiasi, kompromi, kadang-kadang tidak difahami oleh kinerja gerakan sosial harokah (pergerakan) ini.
Tina Talisa : Jadi, sebetulnya, menurut mas Burhan, ada faksi atau tidak di tubuh PKS?
Burhanudi Muhtadi : Lho, kalau saya melihat ada faksi, yakni faksi dalam pengertian netral. Jangan dilihat bahwa faksi itu harus negatif. Faksi itu, sesuatu hal yang niscaya dalam politik.
Tina Talisa : Pak Hidayat, tadi dikatakan oleh Pak Aher sebagai silent competition, jadi apa yang bapak-bapak lakukan untuk meyakinkan pemilih di pemira kemarin untuk kemudian mengatakan, ‘Pilihlah saya!’, atau sebetulnya apakah tidak ada ajang semacam kampanyelah untuk akhirnya terpilih sebagai top three ini?
HNW : Sedikit kembali ke Bang Burhanudin sendiri, istri beliau ini orang PKS (disambut tawa hadirin). Saya tadi dikatakan sebagai Faksi Keadilan, Pak Anis Faksi Kesejahteraan, dan jika dikaitkan dengan pencapaian tertinggi, itu kita capai di tahun 2004, berarti Keadilan (karena waktu itu namanya Partai Keadilan). Sejatinya, kami mengerti bahwa ada ragam cara dalam hal pendekatan. Tapi hal itu tidak bisa dijadikan faktor untuk fastabiqul munkarot (berlomba dalam kemunkaran).
Jadi, kami tetap dalam satu koridor. Karena setiap keputusan kami dapatkan dari mekanisme musyawarah. Di mana dalam musywarah itu, banyak pendapat yang disampaikan sebelum diputuskan satu pendapat yang menjadi kesepakatan bersama.
Terkait PKS-isasi, saya sendiri pernah menjadi pejabat publik, yakni ketua MPR. MPR adalah lembaga yang disebut oleh BPK sebagai lembaga yang setara dengan lembaga kepresidenan, DPR dan Mahkamah Agung yang mendapatkan predikat wajar tanpa pengecualian, juga dibangun di atas kualitas kinerja kita. Karenanya, sangat wajar bila teman-teman kami pun sangat nyaman ketika bekerja dengan kami. Ketika kami membuat satu tim sosialisai keputusan MPR yang belakangan disebut sebagai Empat Pilar sama sekali tidak menghadirkan anggota MPR dari PKS yang mendominasi dalam tim itu. Semuanya dilakukan secara adil, sesuai dengan aturan perundang-undangan yang ada. Itu artinya, bukan PKS-isasi. Dan, itu sudah kami buktikan selama lima tahun masa jabatan.
Terkait kompetisi, sebetulnya kami (Anis Matta, HNW dan Aher) kaget ketika dimunculkan sebagai kandidat yang akan dipilih dalam pemira. Karena, sebelumnya tidak pernah ditanya, apakah kami bersedia diikutkan dalam kandidat pemira atau tidak? Lalu, DPP membuat keputusan bahwa nama kami masuk dalam kandidat, kemudian disebutkan bahwa kami tidak boleh melakukan kampanye, tidak boleh membentuk tim sukses. Biarkanlah masyarakat PKS menghadirkan pilihan mereka apa adanya.
Saya sendiri menyakini bahwa pemira ini melanjutkan tradisi positif dalam PKS. Bahwa di PKS, transisi kepemimpinan dilakukan dengan sangat mudah sesuai dengan keputusan partai. Ketika misalnya, Presiden PKS menjadi pejabat publik, maka dia langsung melepaskan jabatannya dan kemudian digantikan oleh Presiden berikutnya. Sehingga, di PKS tidak ada yang namanya rangkap jabatan ataupun sejenisnya.
Tina Talisa : Jika disandingkan dengan capres dari partai lain, misalnya Jokowi, Abu Rizal Bakrie, Pak Prabowo, Bu Mega, capres PKS ini kan nampaknya tertinggal jauh. Bagaimana menurut Pak Anis?
Anis Matta : Saya sudah bercanda di depan kader begini ; Kita ini orang yang percaya pada taqdir. Nama Presiden Indonesia tahun 2014 ini kan sudah ada di langit. Namanya sudah ada dalam catatan langit (lauhul mahfudz). Cuma, parpol tidak dapat bocoran, media gak dapat bocoran, lembaga survei (termasuk bang Burhan ini) tidak dapat bocoran. Jadi, boleh dong kita ngajuin nama? Siapa tahu nama yang kita ajukan ini sesuai dengan nama Presiden yang ada di lauhul mahfudz. (disambut tawa renyah hadirin dan tepuk tangan). Ya, namanya juga usaha. Kita kan belum tahu hasil akhirnya.
Hafidz Shodiqi (Kader PKS) : Yang ingin saya tanyakan tentang slogan PKS, yakni Cinta, Kerja dan Harmoni. Saya ingin menanyakan tentang Cinta kepada ustadz Anis Matta, tentang Kerja kepada ustadz Ahmad Heryawan dan tentang Harmoni kepada ustadz Hidayat Nur Wahid.
Anis Matta : Saya selalu membayangkan, bahwa politik itu mirip dengan permainan sepak bola. Harus ada tim yang kuat, tapi perlu juga ada pemain bintang. Bintang ini, kalau timnya tidak saling mencintai, maka permainan tim menjadi rusak. Jangan pernah mengubah permainan politik ini menjadi bulu tangkis, apalagi bermain single.
Nah, dalam mengelola negara juga berlaku permisalan demikian. Ini negara terlalu besar. Jadi tidak mungkin diatur oleh PKS sendiri. Atau, oleh Golkar, PDIP, atau siapapun kekuatan lainnya yang tidak mungkin sendiri. Tapi untuk bekerjasama dengan semua elemen, kita membutuhkan kedekatan emosional. Saya ingin membedakan motif kita dalam mengelola negara –motif kita adalah achievement- dan yang membuat kita bisa melakukan achievement besar adalah passion cinta bukan power. Karena power adalah tools of achievement. Power adalah alat untuk melakukan pencapaian. Dan untuk sekedar menjadikan power sebagai tools of achievement, anda harus belajar makna cinta yang dalam.
Aher : Kerja. Ketika kita ingin mencapai sebuah kesuksesan, bahwa kesuksesan bisa dicapai ketika apa yang tertulis di lauhul mahfudz bertemu dengan ikhtiar besar kita. Jadi, tidak pernah ada keberhasilan tanpa kerja keras. Oleh karenanya, untuk mencapai keberhasilan sangat diperlukan kerja keras. Sehingga, kami meyakini, bahwa kami akan mencapai keberhasilan, insya Allah, dengan kerja keras. Oleh karena itu, kami mengajak kepada semua kader, ‘Mari kerja keras!’
HNW : Harmoni. Harmoni tentu bukan sekedar kawasan yang ada di Jakarta (bercanda). Tapi itu adalah sebuah ungkapan yang dipilih PKS untuk menggambarkan bahwa kami mencintai Indonesia, bagian dari Indonesia, bersama Indonesia, dan kami menginginkan –bersama kami- Indonesia menjadi adil dan sejahtera. Dan itu akan bisa terjadi jika ada harmoni antara kami dengan kami, kami dengan rakyat, rakyat dengan kami. Dan inilah yang menjadi alasan mengapa kami memilih berjuang melalui partai politik. Karena kami punya pilihan untuk menjadi LSM, ormas, dan lain-lain. Tapi kami memilih politik karena melalui itu, kami bisa menghadirkan harmoni yang lebih maksimal untuk warga Indonesia dengan realisasi. Bahwa apa yang kami perjuangkan -insya Allah- merupakan kebaikan yang membawa kepada kemajuan.
Tina Talisa : Nah, dalam perjalanannya, parpol selalu tersandung dalam kasus korupsi. Termasuk juga PKS. Dan, saya yakin tidak satupun dari bapak yang tidak khawatir bahwa isu korupsi –yang terdekat dengan LHI sebagai tersangka- ini digulirkan kembali. Nah, sejauh mana rasa percaya dirinya? Kalau tahun 2009 mungkin bisa bilang : Silahkan survei bilang bahwa kami akan turun, tapi faktanya kami akan naik. Sementara dulu tidak ada badai-badai seperti ini, bagaimana Pak?
HNW : Satu hal yang harus diingatkan, KPK tidak pernah mengatakan PKS korupsi. Jaksa tidak akan pernah menuntut bahwa PKS melakukan korupsi. Hakim, tidak pernah memvonis PKS korupsi. Nah, kemudian mengapa dikembangkan bahwa seolah-olah PKS ini korupsi? Berarti ini kan melampaui kewenangan KPK, Jaksa dan Hakim?
Anis Matta : Saya tidak menafikan bahwa hal ini berpengaruh pada elektabilitas PKS. Bahwa itu pasti ada. Pertanyaan selanjutnya adalah, ‘Apakah kami mampu mengatasi pengaruhnya?’ Nah, saya ingin berbicara dengan fakta. Kasus ini terjadi pada tanggal 29 atau 30 Januari 2013. Kang Aher ini, menang di pilgub Jawa Barat pada tanggal 24 Februari 2013. Pada tanggal 5 Maret 2013 -5 minggu setelah kejadian LHI- kita menang lagi di Sumatera Utara. Dan perlu anda catat ya, Jawa Barat adalah provinsi terbesar di Indonesia, Sumatera Utara adalah provinsi terbesar di Sumatera. Dan total dari 3 gubernur yang kita punya ini, sebelum yang keempat ini bergabung, populasinya ada 60 juta jiwa atau 25% dari total populasi di Indonesia. Saya ingin mengatakan, bahwa pengaruhnya ada, tapi sejauh ini –insya Allah- kita bisa mengatasinya.
Tina Talisa : Dari sisi suara partai, tahun 1999 ke 2004 mengalami kenaikan. Tahun 2004 ke 2009 diprediksi turun, tapi mengalami kenaikan juga meski sedikit. Nah, sekarang diprediksi turun lagi. Kalau menurut bapak, kira-kira ujungnya mendapat suara di angka berapa?
Aher : Saya meyakini bahwa masih ada sisa waktu untuk bekerja keras, untuk menjemput taqdir Tuhan yang sudah tertulis di lauhul mahfudz. Jadi, kita akan kerja keras, kerja dan kerja untuk menjemput kemenangan tersebut. Insya Allah, 3 besar di tangan kami.
Tina Talisa : Nah, saya ingin masing-masing dari bapak untuk berkampanye. Karena di internal partai kan tidak boleh berkampanye. Yakinkan kepada kami, kenapa capresnya mesti Hidayat Nur Wahid?
HNW : Itu pertanyaan yang saya juga bertanya dengan pertanyaan itu, kenapa mesti Hidayat Nur Wahid? (retoris, bercanda dan disambut tawa).
Tina Talisa : Jadi, bapak tidak mau?
HNW : Semua yang terkait dengan pemira diputuskan oleh partai. Setelah itu akan melalui mekanisme di Majlis Syuro untuk memutuskan. Jadi, keputusan Majlis Syuro itulah yang nanti akan kami laksanakan.
Tina Talisa : Mohon maaf, apakah pernyataan bapak ini karena trauma sebab kalah dalam skala lokal Pilkada DKI?
HNW : Justru, pemira ini memberi sebuah koreksi terhadap cara pandang itu. Bahwa di lokal saja kalah, mana mungkin menang di tingkat nasional? Tapi, pemira justru terbalik. Di lokal (Jakarta) saya kalah, atau suara saya lebih sedikit dari suara kandidat lain. Tapi di tingkat nasional, suara saya diberikan oleh lebih banyak pemilih dibandingkan kandidat yang lain.
Tina Talisa : Yakinkan kepada kami mengapa capresnya harus seorang Anis Matta?
Anis Matta : Sama, sampai sekarang ini, saya belum boleh kampanye sampai sedetail itu. Sampai ada keputusan nanti di Majlis Syuro. Kalau saya ngomong begini, begini, bisa capek nanti karena ditanya di Majlis Syuro.
Tina Talisa : Ini menunjukkan bahwa PKS itu tunduk pada Majlis Syuro. Pak Aher, mengapa dari Jawa Barat, anda harus memimpin Indonesia?
Aher : Jadi begini, dalam kepemimpinan itu ada dua kaidah. Pertama, pemimpin itu tidak boleh diberikan kepada yang terlalu mau. Kedua, pemimpin tidak boleh diberikan kepada yang tidak terlalu mau. Karena bahaya. Jadi, biasa-biasa saja. Ketika saya dikasih tugas, urusan saya ya kerja keras.
Tina Talisa : Jadi, sebetulnya, bapak mau atau tidak jadi capres?
Aher : Antara dua itu. Kalau dikasih tugas, kita tinggal jalan.
Tina Talisa : Jadi, kalau gak dikasih tugas dari partai apakah tidak kecewa?
Aher : Tidak. Sebab sekarang ini, saya juga ditugaskan sebagai seorang Gubernur.
Tina Talisa : PKS ini adalah teman bagi partai lain yang menunjukkan kecintaannya dengan terus mengkritik, berisik di dalam, komentar sama teman koalisinya. Bagaimana cara meyakinkan partai lain agar tetap bersama PKS tapi siap dikritik seperti saat ini di Setgab?
Anis Matta : Saya kira, itu transformasi budaya. Kita waktu pindah ke demokrasi ini, yang terjadi adalah shifting pada sistem tapi belum terjadi peralihan pada budaya. Jadi, sistemnya demokrasi, budayanya masih feodal. Karena itu, kritik menjadi masalah dalam koalisi. Itu karena masalah budaya, bukan karena sistem.
Tina Talisa : Jadi, misalnya PKS berkuasa kemudian mempunyai koalisi seperti PKS sekarang –yang sering mengkritik- menurut bapak itu tidak menjadi masalah?
Anis Matta : Tidak masalah. Justru itu yang kita inginkan. Menurut saya, merupakan bahaya besar bagi seorang pemimpin kalau dia dikelilingi oleh orang loyalis tapi tidak kritis.
Tina Talisa : Jadi, menurut bapak akan tetap 3 besar? Saya membayangan ini, jika PKS kalah, apakah PKS sudah mempersiapkan pidato kekalahan yang akan disampaikan kepada kader?
Aher : Tentu, sebelum hari H dan sebelum mengetahui hasilnya, kita tidak boleh berpikir mundur. Tetapi, kita punya fikiran 3 besar. Perkara nanti kita kalah, kita cari nanti juga bahasa yang lain.
Tina Talisa : Soal 3 besar, karena ini soal Presidennya siapa, partainya di posisi berapa? Apa yang akan Pak Anis katakan jika PKS tidak masuk 3 besar? Apakah Pak Anis akan mundur dari Presiden PKS, misalnya?
Anis Matta : Gak gitu-gitu amatlah (tertawa). Jadi, saya sadar bahwa ini ada jeda, ada pukulan berat buat PKS yang tidak kita sadari sebelumnya. Saya harus sadari itu. Dan saya mengakui bahwa ini mempunyai pengaruh besar. Tapi, karena kita sudah punya pengalaman menang di medan tempur yang kecil -seperti Jawa Barat, Sumatera Utara dan sebagainya-. Saya percaya, bahwa insya Allah, kita akan menang di medan tempur yang lebih besar. Dan sampai sekarang, kita tidak menyiapkan pidato kekelahan. Yang kita siapkan adalah pidato kemenangan.
Tina Talisa : Terimakasih banyak Pak Anis, Pak Hidayat, Pak Aher, kita tunggu siapa nama capres yang akan dikeluarkan oleh Majlis Syuro. []
Ditranskrip oleh Pirman, Telah dimuat di Majalah Dakwah Islam Al-Intima’ edisi 48
Tina Talisa : Siapkah kita (rakyat Indonesia) dengan capres yang terbuka bahwa ia memiliki istri lebih dari satu?
Anis Matta : Pertama, kita harus menempatkan isu poligami ini pada hukum agama yang tidak bisa ditolak (nafikan) atau dinegasikan dengan hukum apapun. Kedua, isu poligami ini juga merupakan pilihan pribadi. Ketiga, masyarakat kita sekarang ini, bisa membedakan antara public life dan private life. Apa yang menjadi pilihan pribadi anda, sepanjang tidak mengganggu public life anda (pencapaian hidup anda sebagai pejabat publik), maka hal itu tidak akan menjadi masalah.
Waktu pilgub Jawa Tengah kemarin, kita menginsert satu pertanyaan dalam survey yang kita lakukan, Apa yang menurut anda merupakan diability (kelemahan) bagi seorang kandidat Gubernur? Ketika kami memasukkan poligami sebagai salah satu jenis diability, hasilnya ternyata 0,5%. Artinya, sekarang ini, masayarakat tidak menganggap poligami sebagai salah satu isu penting.
Saya mau cerita sedikit. Waktu Bung Karno pertama kali menjadi Presiden, beliau justru menikah-menikahnya lagi setelah menjadi Presiden. Tapi yang unik, Bung Hatta itu masih bujang waktu menjadi Wakil Presiden. Bung Hatta ini, kalau tidak salah, menikah bulan November 1945. Jadi, waktu beliau dilantik menjadi Wakil Presiden, beliau belum mempunyai istri. Artinya, varian-varian private life seperti ini, sudah banyak terjadi dalam kehidupan para pemimpin politik di negeri kita. Dan, sejauh ini, menurut saya, orang-orang tidak menganggap itu penting selama pencapaian dalam public lifenya itu bagus.
Ahmad Heryawan : Saya sepakat bahwa hukum agama di atas hukum-hukum yang lain. Pada saat yang bersamaan, ini juga pilihan pribadi. Namun, saya melihat, poligami ini ada pengaruhnya (bagi masyarakat dalam menilai calon pemimpinnya -red) sehingga banyak pihak yang meliput isu ini. Contohnya, waktu di pilgub Jawa Barat, salah satu isu yang digunakan oleh pembuat isu untuk menjatuhkan (black campaign) terhadap pasangan Ahmad Heryawan - Dedy Mizwar, adalah isu poligami. Dalam selebaran yang beredar itu, disebutkan bahwa saya (Ahmad Heryawan) memiliki istri 3, bahkan ada yang menyebutkan 4. Padahal hanya satu (tertawa -red). Dari sini, saya menyimpulkan, bahwa menurut pembuat isu, poligami ini memiliki pengaruh dalam menjatuhkan kredibilitas seseorang yang akan maju sebagai calon Gubernur (pemimpin-red). Terkait seberapa besar pengaruh isu tersebut, tentu survey yang bisa membuktikan. Dan faktanya, ketika itu, pasangan Ahmad Heryawan - Dedy Mizwar memenangkan pilgub Jawa Barat.
Hidayat Nur Wahid : Kita sekarang sedang bicara tentang PKS, dan mekanisme pemilihan pemimpin oleh rakyat. Publik, saat ini melihat kami bertiga (Anis Matta, Ahmad Heryawan dan Hidayat Nurwahid- red), sedangkan demokrasi biasanya menganut asas mayoritas, dan mayoritas dari kami bertiga ini adalah tidak berpoligami. (Anis Matta berpoligami, Aher dan HNW tidak berpoligami- red).
Menurut saya, publik jangan dibenturkan bahwa PKS itu seolah-olah identik dengan poligami. Karena, di PKS, tidak ada perintah atau larangan untuk berpoligami karena itu masuk ke dalam pilihan pribadi. Faktanya, mayoritas dari pengurus PKS itu tidak berpoligami.
Sementara itu, sebelum melakukan pilpres, kita akan melakukan pileg dulu. Dan, Pak Anis Matta ini tidak dicalonkan sebagai caleg di dapil manapun. Begitupun dengan Pak Ahmad Heryawan yang sedang menjabat Gubernur Jawa Barat. Jadi, mengapa harus melompat dulu ke pilpres dan seolah-olah membenturkan PKS dengan isu poligami? Padahal dalam pileg besok, saya (Hidayat Nur Wahid) yang maju sebagai caleg tidak melakukan poligami. (bertanya balik, moderator tertawa dan tidak memberikan jawaban -red).
Peggy Melati Sukma : Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh. Selamat malam Pak Anis, Pak Ahmad Heryawan dan Pak Hidayat. Pertama sekali, tentu mohon maaf lahir batin terlebih dahulu. Karena yang akan saya sampaikan mungkin dengan kelimuan agama saya yang rendah, atau mungkin sangat rendah sekali bahkan sangat tak berilmu tentang hal ini. Walaupun misalnya, saya mendudukan diri sebagai wanita dan perempuan biasa isu poligami ini selalu menjadi sulit. Persoalan poligami, selalu dipersepsi sebagai persoalan perempuan. Tadi saya tertarik dengan yang disampaikan oleh Pak Anis mengenai private life dan public life. Saya, sekali lagi, sangat mohon maaf karena ilmunya sangat terbatas. Tapi, kalau tidak salah, seringkali ayat dalam al-Qur’an itu, surah an-Nisaa ayat 3 yang dikutip sebagai ‘izin’ tentang poligami, saya juga mencermati dalam ayat tersebut selalu ada kata adil. Jika dirasa bimbang atau khawatir tidak bisa berlaku adil, maka cukuplah dengan satu. Kepada Pak Anis terutama, karena di sini ada kata bimbang dan kata adil. Kita tentu mengharapkan pemimpin yang tidak bimbang-bimbang terus dalam segala sesuatu. Sehingga keputusan Pak Anis memiliki istri lebih dari satu, ‘mudah-mudahan’ dalam keadaan Pak Anis tak merasa bimbang untuk berlaku adil. Tapi Pak, kata adil sendiri itu termaktub dalam pancasila sila ke lima yaitu keadilan yang ditambahkan dengan kata sosial. Sehingga, saya, sebagai calon rakyat yang akan dipimpin oleh Bapak menjadikan adil sebagai salah satu karakter yang saya lihat pada diri pemimpin saya. Lalu, bagaimana kita bisa meyakini Bapak sebagai pemimpin kami, lalu kami bisa belajar dari implementasi kata adil dari Bapak-bapak sekalian yang kami ambil dari pelajaran private life bapak, karena (maaf) terkait pemimpin ini merupakan bagian dari public life?
Anis Matta : Dalam perspektif fiqh Islam, standar adil itu ada dua. Pertama yang terkait dengan pembagian nafkah. Kedua, yang terkait dengan pembagian hari. Di luar dari itu, misalnya yang menyangkut perasaan, itu tidak ada standarnya. Makanya, al-Qur’an juga menstatement bahwa wa lan tastathi’u wa lan ta’diluu walau haroshtum, kalian tidak bisa berlaku adil walaupun kalian berusaha dalam hal perasaan. Falaa tamiiluu kullal mail, makanya jangan condong ke salah satunya terlalu berat. Fatazaruha kal mu’allaqoh, kalau kamu meninggalkan yang lainnya, maka kamu terombang ambing (an-Nisa 129). Itu kriteria adil. Jadi, kalau keadilan emosional tidak ada standarnya dalam agama.
Tina Talisa : Itu kalau soal poligami, kalau soal keadilan bagi masyarakat, apakah menurut bapak seseorang pemimpin tidak akan bisa membuat semua orang merasa senang?
Anis Matta : Saya kira begini, dalam satu keluarga, besar atau kecil, tidak akan pernah ada keputusan yang bisa menyenangkan semua pihak. Tetapi, anda mesti melihat bahwa di dalam Islam itu ada penghargaan yang tinggi pada kebebasan setiap individu. Makanya di dalam Islam juga, ada hak bagi perempuan. Misalnya, untuk menuntut perceraian jika memang dia merasa tidak puas dengan kehidupan di dalam satu rumah tangga itu, termasuk jika alasannya dia tidak mencintai suaminya. Itu prinsip dasarnya.
Jadi, kita harus bisa membedakan keadilan dalam perspektif legal dan perspektif emosional. Saya sendiri, dulu waktu mau menikah saya berdiskusi dengan istri dan anak-anak saya selama empat tahun. Artinya, saya memberi hak kepada semua anggota keluarga saya yang akan mendapatkan dampak dari keputusan saya ini. Pertama istri, kedua anak-anak, ketiga orang tua saya, dan saudara-saudara saya semuanya. Dan, saya juga melakukan istikharoh, kemudian setelah itu saya bermusyawarah di lingkungan partai.
Hidayat Nur Wahid : Jadi, saya harap, pilihan itu bukan karena poligami atau tidak poligami. Tetapi, pilihan-pilihan itu ada di dalam bentuk jawaban atas pertanyaan : Apakah seseorang itu memenuhi harapan publik terkait dengan kualitas, track record? Pasalnya, sekarang ini banyak yang mendeclare tentang apa yang diharapkan oleh publik terhadap calon Presiden Indonesia mendatang? Baik dari kecerdasan, ketegasan, kejujuran, keberanian, track record yang bersih, dan lain sebagainya. Hal itulah yang seharusnya dijadikan sebagai rujukan dalam menentukan pilihan terhadap calon pemimpin.
Burhanudin Muhtadi : Kita punya dua tokoh referensi, keduanya adalah tokoh nasional. Pertama Soekarno, dua M Natsir. Soekarno adalah figur yang sangat rasional, cenderung liberal dalam menafsirkan agama. Dan, dia pada suatu masa, pernah ‘mengharamkan’ poligami. Tapi secara faktual, justru dia melakukan poligami. Sementara M. Natsir, adalah figur yang dari awal tidak pernah menolak poligami sebagai bagian dari hukum Allah, tapi di sepanjang hidupnya tidak pernah menjalankan poligami.
Nah, yang ingin saya katakan adalah, soal tokoh politik, masing-masing punya public life dan private life. Tetapi sebagai tokoh politik, kadang-kadang, keduanya tidak bisa dipisahkan. Jadi sebagai tokoh politik, seolah-olah tidak memiliki private life. Karena yang private itu, biasanya dikategorikan juga dalam public life. Yang ingin saya katakan, isu poligami, suka atau tidak suka, memiliki pengaruh dalam soal elektoral terutama di kalangan pemilih perempuan. Itu data empiriknya seperti itu.
Contoh misalnya, mungkin untuk seorang tokoh, ketika dia berpoligami tetapi tidak terlalu soft, mungkin implikasinya tidak terlalu kelihatan.
Contoh lain, misalnya ada seorang pengusaha yang membuat poligami award, maka dalam waktu yang tidak lama, usaha makanannya akan bangkrut. Jadi memang, ada hal dimana masyarakat tidak bisa membedakan secara substantif, ini isu dasar terkait dengan pemilu atau tidak. Tapi untuk isu lain yang kadang kita anggap sebagai isu yang tidak substantif, tetapi ikut mempengaruhi pilihan elektoral.
Tina Talisa :Mari kita bersikap adil terhadap PKS, bukan tetang soal pologami atau tidak. Karena faktanya, Pak Anis Matta (yang berpoligami – red) itu minoritas dalam PKS. Saya ingin bertanya, benar atau tidak sih yang selalu disebut oleh publik bahwa di PKS itu ada faksi Keadilan, ada faksi Kesejahteraan, Pak Aher sepakat atau tidak dengan isu ini?
Ahmad Heryawan : Tidak seperti itu. Meskipun publik mengisukan seperti itu, tapi faktanya tidak demikian. Tentu, saya adalah bagian dari pendiri partai ini, semenjak bernama Partai Keadilan, saya tidak menemukan faksi-faksi itu.
Tina Talisa : Apakah karena Pak Aher tidak masuk dalam dua faksi tersebut?
Ahmad Heryawan : Saya punya keakraban tersendiri dengan teman-teman di PKS, dan memang tidak ada masalah apa-apa. Kecuali yang memang ada rumor dan dibesar-besarkan oleh orang lain di luar partai.
Tina Talisa : Bagaimana menurut Pak Hidayat tentang Faksi-faksi ini?
HNW : Seperti Pak Heryawan ya, saya merupakan salah satu pendiri partai. Kemudian menjadi Presiden Partai Keadilan sampai Presiden Partai Keadilan Sejahtera. Jadi, saya mengerti persis karakter partai ini dengan segala suka-duka dan lika-likunya. Bahwa kemudian dalam partai ada beragam kondisi, ya begitulah realita demokrasi bahkan merupakan realita dalam berislam. Dalam berislam saja, kalau kita merujuk pada fiqih, ada empat madhzhab, misalnya.
Tadi terkait poligami, ada yang ‘ya’ ada pula yang ‘tidak’. Yang penting adalah, kita adalah tetap satu. Saya sering mengatakan bahwa partai ini adalah Partai Keadilan Sejahtera. Bukan Partai Keadilan Dan Kesejahteraan. Jadi, hanya satu. Sehingga, jangan kemudian diisukan bahwa kami ada dua kubu. Jika kemudian ada yang berpendapat boleh menggunakan mobil, kemudian yang lain pakai sepeda, lalu yang lain menggunakan sepeda motor, yang satu tinggal di kota, kemudian lainnya memilih untuk tidak tinggal di kota, saya kira itu merupakan pilihan-pilihan. Yang terpenting adalah, keragaman yang dimiliki oleh PKS, masih merupakan dalam koridor partai. Yang terpenting, apa yang boleh dilakukan, apa yang dilarang, dan seterusnya, masih dalam satu komando yang sama.
Tina Talisa : Pak Anis ini sering disebut sebagai Faksi Sejahtera-nya, sedangkan Pak Hidayat adalah Faksi Keadilan-nya. Ada komentar dari Pak Anis?
Anis Matta: Saya sudah lama memimpin Tim Pemenangan Pemilu di PKS, dan saya mencatat, apa yang sering dipakai oleh kompetitor dalam menyerang (menggembosi) PKS. Salah satunya adalah isu faksi-faksi ini, termasuk juga isu poligami. Terutama ketika Presidennya Pak Tifatul Sembiring, karena beliau juga poligami. Kalau di NU ada isu Wahabi, di Muhammadiyah ada isu pencaplokan asset, dan lain lain. Yang saya catat, dengan ragam serangan-serangan ini, suara kami naik terus, kok. (tersenyum)
Tina Talisa : Tapi, sekarang turun lho pak? Dan, survei terakhir, jangan-jangan PKS tidak lolos Parlementery Treshould?
Anis Matta : Jadi, yang sekarang ini kan survei. Yang saya maksud adalah hasil pemilu. Survei dan hasil pemilu itu dua hal yang berbeda.
Tina Talisa : Jadi, masih percaya diri akan 3 besar?
Anis Matta : Insya Allah. (tertawa kecil dan disambut tepuk tangan hadirin)
Tina Talisa : Ada isu yang beredar, jika PKS yang memimpin, baik kepala daerah, DPR, dan seterusnya, maka semuanya akan di-PKS-kan. Proyek-proyeklah, kepala dinaslah, dan lain-lain. Mungkin Pak Aher dulu, karena bapak adalah Gubernur Jabar?
Aher : Jabar adalah bukti bahwa pemerintahan dilakukan secara profesional. Yang kita angkat sebagai pejabat, baik eselon dua, eselon tiga, dan seterusnya, adalah mereka yang paling profesional. Dan dulu ada isu jika mau menjadi eselon dua harus membayar sekian ratus juta, sekarang semuanya nol rupiah. Bahkan kalau ada berita, dan berita itu benar tentang adanya bayaran (sogokan), saya akan langsung panggil orangnya dan saya pecat hari itu juga. Itulah yang kami lakukan.
Tidak ada seni budaya dilarang, ketika diisukan nanti Maulid Nabi dilarang, justru yang paling banyak membaca al-Barzanji adalah saya, dan yang lain jarang bisa membacanya.
Waktu itu, antara cagub-cagub ini ditanya : Bapak ini katanya anti maulid nabi? Maka, saya jawab : Kalau semua cagub dijejerkan dan siapa yang paling bisa membaca al-Barzanji, dan ternyata hanya saya yang bisa membaca al-Barzanji diantara cagub-cagub yang lain.
Kalau urusan kesejahteraan, boleh dikatakan, PNS yang paling sejahtera adalah PNS Jabar. Mungkin, saingannya DKI Jakarta-lah. Jadi, kalau ada isu, jika PKS berkuasa maka kita tidak akan bisa makan, maka itu bohong besar. Justru, kita ingin menyejahterakan siapapun. Termasuk para PNS dan seluruh masyarakat Jabar. Kalau ada keraguan-raguan, terkait seni budaya dan lain-lain, justru kita ini yang paling sering menghidupkan seni budaya. Itu yang kemudian menjadi bukti. PKS adalah kumpulan masyarakat yang paling nasionalis karena ingin memajukan semua pihak.
Tina Talisa : Kalau melihat bertiga begini, sebenarnya kan kompetitor di dalam. Tapi, kok tidak terlihat ada kompetisi antara bapak-bapak bertiga ini?
Aher : Justru itu uniknya PKS. Adanya silent competition.
Burhanudin Muhtadi : Kalau istilah faksi dalam studi ilmu politik, sebenarnya bermakna netral. Bahkan, di Italia dan Jepang, faksi itu positif. Jadi, dikelola sebagai bagian kelembagaan politik untuk meningkatkan kinerja partai. Dalam istilah agamanya (Islam-red) adalah fastabiqul khoirot (berlomba dalam kebaikan-red). Jadi antara satu faksi dengan faksi yang lain diupayakan untuk saling meningkatkan.
Nah, dalam konteks PKS, sebenarnya dari sisi substansi tidak ada persoalan. Yang berbeda itu pendekatan. Pendekatan, terutama kalau kita kaitkan, PKS ini kan partai yang muncul dari gerakan sosial –tarbiyah namanya- yang ketika bermutasi menjadi partai politik itu ada semacam upaya untuk mensinergikan antara kinerja tarbiyah sebagai gerakan sosial dan partai sebagai hizb (golongan politik). Makanya, pendekatan hizb (partai) yang membutuhkan dinamika elektoral tinggi, butuh negosiasi, kompromi, kadang-kadang tidak difahami oleh kinerja gerakan sosial harokah (pergerakan) ini.
Tina Talisa : Jadi, sebetulnya, menurut mas Burhan, ada faksi atau tidak di tubuh PKS?
Burhanudi Muhtadi : Lho, kalau saya melihat ada faksi, yakni faksi dalam pengertian netral. Jangan dilihat bahwa faksi itu harus negatif. Faksi itu, sesuatu hal yang niscaya dalam politik.
Tina Talisa : Pak Hidayat, tadi dikatakan oleh Pak Aher sebagai silent competition, jadi apa yang bapak-bapak lakukan untuk meyakinkan pemilih di pemira kemarin untuk kemudian mengatakan, ‘Pilihlah saya!’, atau sebetulnya apakah tidak ada ajang semacam kampanyelah untuk akhirnya terpilih sebagai top three ini?
HNW : Sedikit kembali ke Bang Burhanudin sendiri, istri beliau ini orang PKS (disambut tawa hadirin). Saya tadi dikatakan sebagai Faksi Keadilan, Pak Anis Faksi Kesejahteraan, dan jika dikaitkan dengan pencapaian tertinggi, itu kita capai di tahun 2004, berarti Keadilan (karena waktu itu namanya Partai Keadilan). Sejatinya, kami mengerti bahwa ada ragam cara dalam hal pendekatan. Tapi hal itu tidak bisa dijadikan faktor untuk fastabiqul munkarot (berlomba dalam kemunkaran).
Jadi, kami tetap dalam satu koridor. Karena setiap keputusan kami dapatkan dari mekanisme musyawarah. Di mana dalam musywarah itu, banyak pendapat yang disampaikan sebelum diputuskan satu pendapat yang menjadi kesepakatan bersama.
Terkait PKS-isasi, saya sendiri pernah menjadi pejabat publik, yakni ketua MPR. MPR adalah lembaga yang disebut oleh BPK sebagai lembaga yang setara dengan lembaga kepresidenan, DPR dan Mahkamah Agung yang mendapatkan predikat wajar tanpa pengecualian, juga dibangun di atas kualitas kinerja kita. Karenanya, sangat wajar bila teman-teman kami pun sangat nyaman ketika bekerja dengan kami. Ketika kami membuat satu tim sosialisai keputusan MPR yang belakangan disebut sebagai Empat Pilar sama sekali tidak menghadirkan anggota MPR dari PKS yang mendominasi dalam tim itu. Semuanya dilakukan secara adil, sesuai dengan aturan perundang-undangan yang ada. Itu artinya, bukan PKS-isasi. Dan, itu sudah kami buktikan selama lima tahun masa jabatan.
Terkait kompetisi, sebetulnya kami (Anis Matta, HNW dan Aher) kaget ketika dimunculkan sebagai kandidat yang akan dipilih dalam pemira. Karena, sebelumnya tidak pernah ditanya, apakah kami bersedia diikutkan dalam kandidat pemira atau tidak? Lalu, DPP membuat keputusan bahwa nama kami masuk dalam kandidat, kemudian disebutkan bahwa kami tidak boleh melakukan kampanye, tidak boleh membentuk tim sukses. Biarkanlah masyarakat PKS menghadirkan pilihan mereka apa adanya.
Saya sendiri menyakini bahwa pemira ini melanjutkan tradisi positif dalam PKS. Bahwa di PKS, transisi kepemimpinan dilakukan dengan sangat mudah sesuai dengan keputusan partai. Ketika misalnya, Presiden PKS menjadi pejabat publik, maka dia langsung melepaskan jabatannya dan kemudian digantikan oleh Presiden berikutnya. Sehingga, di PKS tidak ada yang namanya rangkap jabatan ataupun sejenisnya.
Tina Talisa : Jika disandingkan dengan capres dari partai lain, misalnya Jokowi, Abu Rizal Bakrie, Pak Prabowo, Bu Mega, capres PKS ini kan nampaknya tertinggal jauh. Bagaimana menurut Pak Anis?
Anis Matta : Saya sudah bercanda di depan kader begini ; Kita ini orang yang percaya pada taqdir. Nama Presiden Indonesia tahun 2014 ini kan sudah ada di langit. Namanya sudah ada dalam catatan langit (lauhul mahfudz). Cuma, parpol tidak dapat bocoran, media gak dapat bocoran, lembaga survei (termasuk bang Burhan ini) tidak dapat bocoran. Jadi, boleh dong kita ngajuin nama? Siapa tahu nama yang kita ajukan ini sesuai dengan nama Presiden yang ada di lauhul mahfudz. (disambut tawa renyah hadirin dan tepuk tangan). Ya, namanya juga usaha. Kita kan belum tahu hasil akhirnya.
Hafidz Shodiqi (Kader PKS) : Yang ingin saya tanyakan tentang slogan PKS, yakni Cinta, Kerja dan Harmoni. Saya ingin menanyakan tentang Cinta kepada ustadz Anis Matta, tentang Kerja kepada ustadz Ahmad Heryawan dan tentang Harmoni kepada ustadz Hidayat Nur Wahid.
Anis Matta : Saya selalu membayangkan, bahwa politik itu mirip dengan permainan sepak bola. Harus ada tim yang kuat, tapi perlu juga ada pemain bintang. Bintang ini, kalau timnya tidak saling mencintai, maka permainan tim menjadi rusak. Jangan pernah mengubah permainan politik ini menjadi bulu tangkis, apalagi bermain single.
Nah, dalam mengelola negara juga berlaku permisalan demikian. Ini negara terlalu besar. Jadi tidak mungkin diatur oleh PKS sendiri. Atau, oleh Golkar, PDIP, atau siapapun kekuatan lainnya yang tidak mungkin sendiri. Tapi untuk bekerjasama dengan semua elemen, kita membutuhkan kedekatan emosional. Saya ingin membedakan motif kita dalam mengelola negara –motif kita adalah achievement- dan yang membuat kita bisa melakukan achievement besar adalah passion cinta bukan power. Karena power adalah tools of achievement. Power adalah alat untuk melakukan pencapaian. Dan untuk sekedar menjadikan power sebagai tools of achievement, anda harus belajar makna cinta yang dalam.
Aher : Kerja. Ketika kita ingin mencapai sebuah kesuksesan, bahwa kesuksesan bisa dicapai ketika apa yang tertulis di lauhul mahfudz bertemu dengan ikhtiar besar kita. Jadi, tidak pernah ada keberhasilan tanpa kerja keras. Oleh karenanya, untuk mencapai keberhasilan sangat diperlukan kerja keras. Sehingga, kami meyakini, bahwa kami akan mencapai keberhasilan, insya Allah, dengan kerja keras. Oleh karena itu, kami mengajak kepada semua kader, ‘Mari kerja keras!’
HNW : Harmoni. Harmoni tentu bukan sekedar kawasan yang ada di Jakarta (bercanda). Tapi itu adalah sebuah ungkapan yang dipilih PKS untuk menggambarkan bahwa kami mencintai Indonesia, bagian dari Indonesia, bersama Indonesia, dan kami menginginkan –bersama kami- Indonesia menjadi adil dan sejahtera. Dan itu akan bisa terjadi jika ada harmoni antara kami dengan kami, kami dengan rakyat, rakyat dengan kami. Dan inilah yang menjadi alasan mengapa kami memilih berjuang melalui partai politik. Karena kami punya pilihan untuk menjadi LSM, ormas, dan lain-lain. Tapi kami memilih politik karena melalui itu, kami bisa menghadirkan harmoni yang lebih maksimal untuk warga Indonesia dengan realisasi. Bahwa apa yang kami perjuangkan -insya Allah- merupakan kebaikan yang membawa kepada kemajuan.
Tina Talisa : Nah, dalam perjalanannya, parpol selalu tersandung dalam kasus korupsi. Termasuk juga PKS. Dan, saya yakin tidak satupun dari bapak yang tidak khawatir bahwa isu korupsi –yang terdekat dengan LHI sebagai tersangka- ini digulirkan kembali. Nah, sejauh mana rasa percaya dirinya? Kalau tahun 2009 mungkin bisa bilang : Silahkan survei bilang bahwa kami akan turun, tapi faktanya kami akan naik. Sementara dulu tidak ada badai-badai seperti ini, bagaimana Pak?
HNW : Satu hal yang harus diingatkan, KPK tidak pernah mengatakan PKS korupsi. Jaksa tidak akan pernah menuntut bahwa PKS melakukan korupsi. Hakim, tidak pernah memvonis PKS korupsi. Nah, kemudian mengapa dikembangkan bahwa seolah-olah PKS ini korupsi? Berarti ini kan melampaui kewenangan KPK, Jaksa dan Hakim?
Anis Matta : Saya tidak menafikan bahwa hal ini berpengaruh pada elektabilitas PKS. Bahwa itu pasti ada. Pertanyaan selanjutnya adalah, ‘Apakah kami mampu mengatasi pengaruhnya?’ Nah, saya ingin berbicara dengan fakta. Kasus ini terjadi pada tanggal 29 atau 30 Januari 2013. Kang Aher ini, menang di pilgub Jawa Barat pada tanggal 24 Februari 2013. Pada tanggal 5 Maret 2013 -5 minggu setelah kejadian LHI- kita menang lagi di Sumatera Utara. Dan perlu anda catat ya, Jawa Barat adalah provinsi terbesar di Indonesia, Sumatera Utara adalah provinsi terbesar di Sumatera. Dan total dari 3 gubernur yang kita punya ini, sebelum yang keempat ini bergabung, populasinya ada 60 juta jiwa atau 25% dari total populasi di Indonesia. Saya ingin mengatakan, bahwa pengaruhnya ada, tapi sejauh ini –insya Allah- kita bisa mengatasinya.
Tina Talisa : Dari sisi suara partai, tahun 1999 ke 2004 mengalami kenaikan. Tahun 2004 ke 2009 diprediksi turun, tapi mengalami kenaikan juga meski sedikit. Nah, sekarang diprediksi turun lagi. Kalau menurut bapak, kira-kira ujungnya mendapat suara di angka berapa?
Aher : Saya meyakini bahwa masih ada sisa waktu untuk bekerja keras, untuk menjemput taqdir Tuhan yang sudah tertulis di lauhul mahfudz. Jadi, kita akan kerja keras, kerja dan kerja untuk menjemput kemenangan tersebut. Insya Allah, 3 besar di tangan kami.
Tina Talisa : Nah, saya ingin masing-masing dari bapak untuk berkampanye. Karena di internal partai kan tidak boleh berkampanye. Yakinkan kepada kami, kenapa capresnya mesti Hidayat Nur Wahid?
HNW : Itu pertanyaan yang saya juga bertanya dengan pertanyaan itu, kenapa mesti Hidayat Nur Wahid? (retoris, bercanda dan disambut tawa).
Tina Talisa : Jadi, bapak tidak mau?
HNW : Semua yang terkait dengan pemira diputuskan oleh partai. Setelah itu akan melalui mekanisme di Majlis Syuro untuk memutuskan. Jadi, keputusan Majlis Syuro itulah yang nanti akan kami laksanakan.
Tina Talisa : Mohon maaf, apakah pernyataan bapak ini karena trauma sebab kalah dalam skala lokal Pilkada DKI?
HNW : Justru, pemira ini memberi sebuah koreksi terhadap cara pandang itu. Bahwa di lokal saja kalah, mana mungkin menang di tingkat nasional? Tapi, pemira justru terbalik. Di lokal (Jakarta) saya kalah, atau suara saya lebih sedikit dari suara kandidat lain. Tapi di tingkat nasional, suara saya diberikan oleh lebih banyak pemilih dibandingkan kandidat yang lain.
Tina Talisa : Yakinkan kepada kami mengapa capresnya harus seorang Anis Matta?
Anis Matta : Sama, sampai sekarang ini, saya belum boleh kampanye sampai sedetail itu. Sampai ada keputusan nanti di Majlis Syuro. Kalau saya ngomong begini, begini, bisa capek nanti karena ditanya di Majlis Syuro.
Tina Talisa : Ini menunjukkan bahwa PKS itu tunduk pada Majlis Syuro. Pak Aher, mengapa dari Jawa Barat, anda harus memimpin Indonesia?
Aher : Jadi begini, dalam kepemimpinan itu ada dua kaidah. Pertama, pemimpin itu tidak boleh diberikan kepada yang terlalu mau. Kedua, pemimpin tidak boleh diberikan kepada yang tidak terlalu mau. Karena bahaya. Jadi, biasa-biasa saja. Ketika saya dikasih tugas, urusan saya ya kerja keras.
Tina Talisa : Jadi, sebetulnya, bapak mau atau tidak jadi capres?
Aher : Antara dua itu. Kalau dikasih tugas, kita tinggal jalan.
Tina Talisa : Jadi, kalau gak dikasih tugas dari partai apakah tidak kecewa?
Aher : Tidak. Sebab sekarang ini, saya juga ditugaskan sebagai seorang Gubernur.
Tina Talisa : PKS ini adalah teman bagi partai lain yang menunjukkan kecintaannya dengan terus mengkritik, berisik di dalam, komentar sama teman koalisinya. Bagaimana cara meyakinkan partai lain agar tetap bersama PKS tapi siap dikritik seperti saat ini di Setgab?
Anis Matta : Saya kira, itu transformasi budaya. Kita waktu pindah ke demokrasi ini, yang terjadi adalah shifting pada sistem tapi belum terjadi peralihan pada budaya. Jadi, sistemnya demokrasi, budayanya masih feodal. Karena itu, kritik menjadi masalah dalam koalisi. Itu karena masalah budaya, bukan karena sistem.
Tina Talisa : Jadi, misalnya PKS berkuasa kemudian mempunyai koalisi seperti PKS sekarang –yang sering mengkritik- menurut bapak itu tidak menjadi masalah?
Anis Matta : Tidak masalah. Justru itu yang kita inginkan. Menurut saya, merupakan bahaya besar bagi seorang pemimpin kalau dia dikelilingi oleh orang loyalis tapi tidak kritis.
Tina Talisa : Jadi, menurut bapak akan tetap 3 besar? Saya membayangan ini, jika PKS kalah, apakah PKS sudah mempersiapkan pidato kekalahan yang akan disampaikan kepada kader?
Aher : Tentu, sebelum hari H dan sebelum mengetahui hasilnya, kita tidak boleh berpikir mundur. Tetapi, kita punya fikiran 3 besar. Perkara nanti kita kalah, kita cari nanti juga bahasa yang lain.
Tina Talisa : Soal 3 besar, karena ini soal Presidennya siapa, partainya di posisi berapa? Apa yang akan Pak Anis katakan jika PKS tidak masuk 3 besar? Apakah Pak Anis akan mundur dari Presiden PKS, misalnya?
Anis Matta : Gak gitu-gitu amatlah (tertawa). Jadi, saya sadar bahwa ini ada jeda, ada pukulan berat buat PKS yang tidak kita sadari sebelumnya. Saya harus sadari itu. Dan saya mengakui bahwa ini mempunyai pengaruh besar. Tapi, karena kita sudah punya pengalaman menang di medan tempur yang kecil -seperti Jawa Barat, Sumatera Utara dan sebagainya-. Saya percaya, bahwa insya Allah, kita akan menang di medan tempur yang lebih besar. Dan sampai sekarang, kita tidak menyiapkan pidato kekelahan. Yang kita siapkan adalah pidato kemenangan.
Tina Talisa : Terimakasih banyak Pak Anis, Pak Hidayat, Pak Aher, kita tunggu siapa nama capres yang akan dikeluarkan oleh Majlis Syuro. []
Ditranskrip oleh Pirman, Telah dimuat di Majalah Dakwah Islam Al-Intima’ edisi 48
Tertarik dengan Majalah Al Intima' edisi 48 yang membahas Cinta Anis, Kerja Aher, Harmoni Hidayat ini?
silahkan hubungi Toko Buku Bahagia
silahkan hubungi Toko Buku Bahagia